(Arrahmah.com) – Kerusakan sistematis di masyarakat, tidak saja disebabkan pengalihan orientasi berfikir keagamaan. Tapi yang lebih serius dan berbahaya adalah merubah konsep beragama di kalangan umat Islam.
Pangkal kekacauan yang terjadi di masyarakat, terutama dalam pemerintah negara disebabkan pembelokan fungsi dan orientasi beragama. Hal ini dapat melemahkan umat Islam dan mengerdilkan peran Islam dalam membangun masyarakat yang beradab, adil dan makmur. Pertikaian internal di kalangan umat Islam, juga disebabkan oleh musykilah ini.
Termaktub dalam Al-Qur’an: “Wahai Muhammad, jauhkanlah dirimu dari orang-orang kafir yang menjadikan agama mereka hanya untuk bersenang-senang dan hiburan. Orang-orang itu terpedaya oleh kesenangan hidup di dunia. Berilah peringatan kepada mereka agar mereka tidak binasa disebabkan dosa-dosa mereka. Mereka kelak tidak akan mempunyai pelindung dan pembela selain Allah dari adzab-Nya. Wahai Muhammad, sekalipun engkau berlaku adil kepada orang-orang kafir, mereka tetap tidak mau menerima peringatan yang kamu sampaikan kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang binasa karena dosa-dosa mereka sendiri. Orang-orang kafir di neraka mendapatkan minuman air panas yang mendidih. Mereka mendapatkan adzab yang sangat pedih karena kekafiran mereka.” (QS. Al-An’aam (6) : 70)
Konsep beragama menurut Islam, adalah kepatuhan pada Allah dan Rasul-Nya dalam melaksanakan syari’atNya. Namun, konsep beragama seperti direduksi oleh sebagian ulama dan tokoh Islam, sehingga beragama tidak lagi menurut Allah dan RasulNya, melainkan mengadopsi konsep beragama orang kafir. Konsep beragama menurut orang kafir, yang dipersonifikasikan Fir’aun dalam ayat diatas, hanyalah sebagai hiburan, bersenang-senang, hura-hura menikmati kesenangan hidup di dunia. Bahkan mereka rela mengorbankan bangsanya, merusak generasi muda demi memenuhi kesenangan hawa nafsunya. Untuk tujuan hiburan, mereka menyeret masyarakat menjadi pemabuk, penzina, penjudi, pemerkosa, narkoba, dengan membangun fasilitas hiburan yang merusak itu. Alasannya, kadang-kadang dungu dan tidak logis. Misalnya, untuk menambah devisa negara, menyemarakkan pariwisata dll. Akibatnya bisa kita saksikan sekarang, korupsi merajalela, kejahatan seksual jadi problema sosial yang akut, mabuk atau teler disebut sebagai pemicunya. Sebagai solusinya, daripada taat pada Syariat Islam, pezina dicemeti dan dirajam hingga mati, malah penguasa mencari hukum ke Cina kuno, yaitu hukum kebiri.
Agama harus tunduk pada kemauan budaya. Tapi anehnya, mereka tidak mau disebut manusia tidak beragama. Manusia komunis, yang anti Tuhan pun, menolak disebut tidak beragama. Karena itu tradisi budaya dipersepsikan sebagai agama, lalu mereka mengatakan, “agama merupakan hasil pergumulan budaya”.
Konsep beragama orang kafir ini sudah menjalar ke negeri-negeri muslim. Perhatikan opini yang dikembangkan kaum intelektual muslim dan tokoh-tokoh ormas Islam. “Kita mengembangkan dakwah kultural”. Ada lagi, “agama harus mengikuti kearifan budaya lokal”. “Misi agama adalah membawa perdamaian, toleransi tanpa diskriminasi, kerukunan antar umat beragama. Agama tidak boleh berbenturan dengan budaya dan keinginan masyarakat. Karena itu radikalisme dan segala bentuk kekerasan atas nama agama harus diberantas”. Inilah pola penghancuran agama secara sistematis.
Setelah itu, masyarakat disibukkan dengan acara perayaan hari besar agama: cap gomeh, barongsai menjadi tradisi. Orang Islam juga ikut sibuk dengan perayaan hari ulang tahun nabi yang disebut maulid nabi. Mengadakan zikir berjamaah yang memenuhi jalan-jalan umum, atau takbir keliling dengan membunyikan klakson motor yang memekakan telinga. Tapi diajak meninggalkan perbuatan dosa, bid’ah, dan memberantas kebathilan tidak mau. Diajak menegakkan syariat Islam malah distigma sebagai wahabi. Ada urusan apa Islam di Indonesia dengan wahabi di Arab Saudi?
“Seorang laki-laki mukmin dari golongan Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Wahai pengikut Fir’aun, apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki hanya karena ia berkata: ‘Tuhanku adalah Allah’. Padahal dia datang kepada kalian membawa bukti-bukti kebenaran dari Tuhan kalian? Jika dia berbohong, kebohongannya itu menjadi tanggung jawabnya sendiri. Akan tetapi jika ia benar, sungguh sebagian adzab yang ia ancamkan kepada kalian akan menimpa kalian. Sungguh Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang menentang agama Allah lagi berbohong.” (QS Al-Mu’min (40) : 28)
Kesibukan dengan tradisi perayaan hari besar agama, tidak ada korelasinya dengan perbaikan akhlak, pemantapan aqidah. Tidak mengundang ridha Allah, tidak juga menyiapkan generasi yang selamat dunia dan akhirat. Ramainya perayaan Isra’ Mi’raj misalnya, tidak berkolerasi dengan peningkatan jumlah umat Islam yang shalat berjamaah, tidak juga membawa kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik. Yang tercipta hanyalah angan-angan, ilusi, halusinasi, darpada tidak berbuat sama sekali.
Padahal Islam melarang umatnya agar tidak mengikuti tradisi orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala menasihatkan para rasulNya agar tidak beragama mengikuti konsep orang kafir, tidak mengikuti tradisi budaya mereka seperti peringatan nyepi, membuat sesaji, ibadah dengan cara menyanyi, menari-nari, perayaan tahun baru, care free day dll. Sebab orang kafir menciptakan hari besar agama berupa karnaval, festifal dimalam peringatan hari besarnya sebagai sarana bersenang-senang, bukan ketaatan pada Allah yang Maha Pencipta.
Kehadiran agama di dunia ini adalah untuk mengoreksi kesesatan masyarakat, bila perlu konfrontasi dengan kebathilan, bukan kompromi dengan alasan toleransi maupun hak asasi. Berkompromi dengan kebathilan demi untuk kesenanfan dunia adalah beragama gaya Fir’aun, bukan menurut Allah dan RasulNya.
Apabila gerakan Islam terjebak dengan konsep beragama ala Fir’aun, maka semangat dan tekad perjuangan dakwah akan melemah. Orientasi memberantas kebathilan akan terpasung oleh rekayasa toleransi ala FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama), tunduk pada kemauan orang banyak, toleran terhadap kesesatan atas nama kerukunan beragama. Akhirnya umat Islam akan kehilangan semangat amar ma’ruf nahy munkar, perkawanan terhadap jebathilan dan kezaliman akan meredup.
Khalifah Ustman bin Affan ra mengingatkan, “Jangan tinggalkan amar na’ruf dan nahy munkar. Jika kalian tinggalkan niscaya Allah akan membiarkan orang-orang jahat sebagai pemimpin kalian.”
Serial Kajian Malam Jum’at, 19 Mei 2016, di Masjid Raya Ar Rasul, Jogjakarta.
Narsum, Amir Majelis Mujahidin, Al Ustadz M. Thalib.
Notuken: Irfan S Awwas
(*/arrahmah.com)