Perubahan UU Migas No. 22/2001 oleh DPR merupakan upaya mengembalikan salah satu pilar kedaulatan ekonomi bangsa, yaitu kedaulatan energi, di mana sejak penandatanganan Letter of Intent (LoI) 1998 tersebut berimplikasi terhadap kepentingan asing yang bermain dalam setiap kebijakan ekonomi dalam negeri.
“Melalui Letter of Intent (loI) pada 1998 sebagai implikasi dari kita menerima bantuan IMF dengan pakai 20 USD saat itu, mau tidak mau ada reformasi struktural, liberalisasi yang harus diikuti dalam LoI itu. Salah satunya adalah kontrak politik pembuatan UU Migas, ” kata Hasto Kristiyanto, salah satu Pengusul Perubahan UU Migas dari FPDIP, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (9/9).
Momentum yang tepat ini, menurutnya, dalam rangka menghilangkan berbagai bentuk campur tangan asing dalam kebijakan energi nasional, sekaligus mengoreksi liberalisasi di sektor migas.
“Substansi yang kita angkat selain meluruskan dari campur tangan asing, tema besar kita juga ingin kita luruskan karena UU yang muncul atas kesepakatan dengan IMF, yang syarat dengan liberalisasi mindset-nya mengamankan penerimaan negara, dannya semua diukur berapa cash inflow yang masuk di negara, ” jelasnya.
Padahal, lanjutnya, UU Migas seharusnya berbicara bagaimana negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, sehingga cerminkan dari kedaulatan rakyat. Akan tetapi dengan UU yang ada saat ini, kemudian pemikiran tersebut berubah menjadi bagaimana segala sesuatunya bisa dikapitalisasi dan juga dikomersialkan, yang secara jelas telah mencederai prinsip kedaulatan negara.
Hasto mengakui, meski perubahan ini belum sempurna, akan tetapi perubahan yang UU memberikan dasar kepada politik energi yang menjamin ketersedianya, kecukupan energi dalam negeri.
“Dengan demikian nantinya BP Migas bertanggung jawab penuh di dalam pemenuhan domestik market obligation ini. Jatah minyak kita tidak bisa lagi ditukar dengan uang. Juga kapsitas stok minimal yang diperlukan untuk mengamankan energi kita, ” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan mengatakan, bahwa keterlibatan asing antaranya, USAID, ADB, dan Bank Dunia dalam pembuatan draft UU sudah berlangsung lama.
“Ketika SBY menaikkan harga BBM tahun 2004, motivasi kenaikan BBM tahun 2004, utamanya bukan karena kenaikan harga minyak dunia. Karena lebih amanat UU Migas No 22/2001 untuk meliberalisasi sektor migas di Indonesia, membuka sektor hilir migas untuk masuknya pemain-pemain asing, swasta-swasta internasional dengan cara menaikkan harga jual migas di Indonesia, ” ungkapnya.
Setelah pemerintah menaikkan BBM yang luar biasa itu, lanjutnya, tidak lama kemudian itu pemain asing disektor hilir, itu mulai masuk mendirikan SPBU. Bahkan yang lebih parah lagi, saat ini Shell sudah mulai tertarik untuk masuk industri hilir migas dengan menyediakan tabung-tabung gas di Indonesia.
“Jadi bukan hanya membangun SPBU asing di Indonesia, tapi juga mulai merambah sektor-sektor hilir migas yang lain, untuk kepentingan korporasi internasional, ” imbuhnya.
Ia menilai, UU Migas dan UU ketenagalistrikan merupakan satu paket dari proyek liberalisasi yang didorong oleh IMF. (Hanin Mazaya/Eramuslim)