(Arrahmah.com) – Jika berbicara soal kiblat, maka yang akan kita bayangankan pertama kali adalah Ka’bah di Masjidil Haram. Sebab, seluruh muslimin di mana pun berada akan menghadap Ka’bah khususnya ketika melaksanakan ibadah shalat. Namun, tahukah anda sebelum Ka’bah, Rasulullah sempat menjadikan Baitul Maqdis sebagai arah kiblat.
Sebelumnya, berdasarkan keterangan Ibnu Hajar al-‘Asqalani dari riwayat Ibnu Juraij, Rasulullah salat untuk pertama kalinya menghadap Ka’bah kemudian beralih ke Baitul Maqdis. Fenomena Rasulullah menghadap Baitul Maqdis ini terjadi tatkala beliau menetap di Mekkah dan satu tahun lebih di Madinah.
Rasulullah begitu menyukai Ka’bah, sehingga ketika salat, beliau mencari sebuah sisi di sekitar Ka’bah yang satu arah dengan Baitul Maqdis. Menurut suatu keterangan beliau salat menghadap ke Ka’bah di antara rukun Yamani dan Hajar Aswad. Dari sudut ini memungkinkan Rasul menghadap Ka’bah sekaligus Baitul Maqdis. Hal ini bisa dilakukan Rasul, karena Ka’bah berada satu jalur di depan Al Aqsa.
Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau tidak bisa lagi berkiblat ke arah Ka’bah. Sebab, saat beliau menghadap Baitul Maqdis dari Madinah, maka posisi Ka’bah berada di belakang punggung beliau. Sehingga tidak lagi memungkinkan untuk menghadap Ka’bah sekaligus Baitul Maqdis secara bersamaan seperti yang biasa beliau lakukan di Makkah.
Kemudian Rasulullah berdoa agar Ka’bah dijadikan arah kiblat muslimin. Doa Rasulullah diijabah oleh Allah Swt dengan turunnya surat Al Baqarah ayat 144. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya”. Kisah perpindahan arah kiblat ini termaktub dalam kitab Sahih Bukhari melaui riwayat Al Bara bin Azib.
Al Barra bin Azib berkata, “Rasulullah Saw shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan dan Rasulullah sangat menginginkan Ka’bah menjadi arah kiblat. Maka Allah menurunkan ayat : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. Maka kemudian Nabi Muhammad Saw menghadap ke Ka’bah.
Lalu berkatalah orang – orang yang kurang akal, yaitu orang – orang Yahudi: ”Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya ?”. Katakanlah : “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”.
Kemudian ada seseorang yang ikut shalat bersama Nabi Saw, orang itu kemudian keluar setelah menyelesaikan shalatnya. Kemudian orang itu melewati kaum Anshar yang sedang melaksanakan shalat Ashar dengan menghadap Baitul Maqdis. Lalu orang itu bersaksi bahwa dia telah sholat bersama Rasulullah Saw menghadap Ka’bah. Maka orang – orang itu pun berputar dan menghadap Ka’bah.”
Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari dengan mengutip riwayat dari Ibnu Abbas, pada saat Nabi hijrah, mayoritas penduduk Madinah dihuni oleh umat Yahudi. Mereka menghadap ke Baitul Maqdis dan Allah memerintahkan Rasul untuk menghadap ke arah yang sama.
Hal tersebut membuat umat Yahudi senang dan bangga. Pada dasarnya, Rasulullah amat menyukai Ka’bah sebab inilah kiblat leluhur beliau, Nabi Ibrahim. Rasulullah pun menengadah ke langit seraya berdoa. Lalu turunlah ayat pengalihan Ka’bah tersebut.
Sementara dari riwayat Mujahid, keinginan Rasul untuk memindahkan kiblat, didasari oleh perkataan Yahudi, mereka mengatakan “Muhammad berpaling dari ajaran kita tetapi mengikuti kiblat kita”. Setelah itu, turunlah perintah pengalihan kiblat.
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-wasith menyebutkan ada tiga hikmah dialihkannya kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram.
Pertama, ahlul kitab mengetahui kebenaran bahwa kiblat Nabi mereka berada di Ka’bah. Atas landasan ini, Nabi Muhammad yang menghadap Baitul Maqdis menjadi bahan cercaan dan hujatan. Di sisi lain, kaum musyrik berpandangan bahwa seorang utusan dari keturunan Nabi Ibrahim diutus untuk menyempurnakan ajaran Nabi Ibrahim.
Mereka pun mengolok, bahwa tidak masuk akal rasanya, jika keturunan Nabi Ibrahim tidak menghadap ke arah kiblat Ibrahim. Dengan berpindahnya arah kiblat, Allah telah mematahkan argumen – argumen kelompok penentang Rasulullah ini.
Kedua, kesempurnaan nikmat Allah terhadap bangsa Arab dan umat Islam. Sesungguhnya Nabi Muhammad berasal dari bangsa Arab, Al Qur’an pun diturunkan dalam bahasa Arab. Bangsa Arab akan senang tatkala Ka’bah dijadikan kiblat, sebab di sanalah tanah air serta kebanggaan mereka berada.
Ketiga, mempersiapkan umat Islam yang lebih kokoh. Seorang muslim sejati tentunya akan taat terhadap segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Kendati hinaan dan ejekan deras dialamatkan kepada umat Islam, namun mereka tidak terpengaruh dan tetap taat kepada perintah Rasul. Hal ini menjadi bukti bahwa keimanan mereka terhadap Allah dan utusannya hari demi hari kian bertambah kokoh.
(*/Arrahmah.com)