Oleh: Ustadz Budi Ashari, Lc.
(Arrahmah.com) – Suatu saat seorang ibu bertanya kepada saya tentang pesantren untuk anak laki-lakinya. Saya berikan beberapa rekomendasi yang saya tahu. Di antaranya pesantren khusus laki-laki. Di pesantren tersebut tidak ada murid perempuan dan hanya menerima murid laki-laki.
Ibu itu serta merta menjawab: Saya takut kalau anak saya tidak pernah melihat dan berinteraksi dengan perempuan selama di pesantrennya, akan jadi ‘buas’ saat keluar pesantren.
Ada lagi seorang ayah yang mengajari kesia-siaan (menurut syariat Islam). Dia berdalih: Daripada belajarnya di luar dan tidak terkontrol, lebih baik dengan saya dan bisa saya kontrol. Biarkan dia mengenal dunia itu, agar nanti mereka bisa merasakan saat usianya telah tiba dan bisa menjauhinya.
Ini hanya sebagian dialog yang saya temukan di keluarga-keluarga muslim. Ada banyak dialog berbeda tetapi dengan makna sama. Intinya: kalau anak ‘dikurung’ dengan ajaran keislaman dan tidak pernah mencoba dunia jahiliyah, maka dikhawatirkan mereka justru akan sangat penasaran dan lebih ‘buas’ terhadap dosa itu.
Ini kesimpulan mereka. Dan luar biasanya, kesimpulan ini otomatis hadir di otak tanpa difikirkan. Menunjukkan sudah begitu lekat dan mendarah daging dalam diri orangtua. Terbukti ia tak perlu berpikir lama untuk mengeluarkan kesimpulan itu.
Sebuah kesimpulan hadir dari sebuah teori. Teori yang terus disuntikkan, hingga mendarah daging. Silakan anda cari, teori apa yang melandasi kesimpulan ini dan dari mana datangnya.
Dan kini bandingkan dengan pembahasan ini.
Allah subhanahu wata’ala memuji Nabi Yahya dalam Surat Maryam. Dari ayat,
يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا
“Wahai Yahya! Ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” Dan Kami Berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak.” (Qs. Maryam: 12)
Hingga ayat,
وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (Qs. Maryam: 15)
Dalam tulisan yang lalu, saya pernah menulis (bukan untuk bermain aku diciptakan) mengambil pelajaran dari ayat ini. Kini saya nukilkan lanjutan dari penjelasan Ibnu Katsir –rahimahullah– dalam tafsirnya,
Abdurrazzaq berkata: kami dikabari Ma’mar dari Qotadah pada firmanNya: {جَبَّارًا عَصِيًّا} ia berkata: Ibnu Musayyab pernah menyebutkan: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang pun berjumpa Allah kelak pada hari kiamat kecuali pasti punya dosa kecuali Yahya bin Zakariya.”
Qotadah berkata: Dia tidak punya dosa, tidak pernah berminat (dosa) dengan wanita.
Mursal
Begitulah penjelasan Ibnu Musayyab dan Qotadah –rahimahumallah-.
Adapun hadits yang diriwayatkan Ibnu Musayyab mursal dhoif.
Tapi berikut ini ada riwayat lain yang serupa,
ما من أحد من ولد آدم إلا قد أخطأ، أو هم بخطيئة، ليس يحيى بن زكريا
“Tidak ada seorang pun dari anak Adam kecuali pasti pernah bersalah atau berniat berbuat salah, kecuali Yahya bin Zakariya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Ahmad, Abu Ya’la, Ath Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir.
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang keshahihan hadits ini. Sebagian mengatakan bahwa hadits tersebut mursal dhoif. Seperti yang dikatakan oleh An Nawawi, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar. Dan sebagian lain mengatakan shahih. Seperti yang pendapat Al Hakim, Adz Dzahabi dan Al Albani.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli hadits, Allah berfirman di ayat lain tentang Yahya,
فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ
“Kemudian para malaikat memanggil-nya, ketika dia berdiri melaksanakan shalat di mihrab, “Allah Menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) Yahya, yang membenarkan sebuah kalimat (firman) dari Allah, panutan, berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi di antara orang-orang saleh.”
Tidakkah ini layak menjadi renungan kembali bagi para orangtua yang ragu ‘mengurung’ anaknya dengan Islam sejak kecil.
Tidakkah ini bisa menjadi upaya perbaikan arah pendidikan keluarga, bagi yang masih berpendapat bahwa anak harus dikenalkan dengan dosa dan kesia-siaan terlebih dahulu.
Bukankah Yahya yang telah belajar Al Kitab dengan sungguh-sungguh sejak kecil, menjadi orang luar biasa;
Membenarkan sebuah kalimat (firman) dari Allah
Panutan
Berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu), dan
Seorang nabi di antara orang-orang saleh
So, masih ada yang ragu…?
(Arrahmah.com)