Kata Hijrah berasal dari istilah hajara, yang berarti berpindahdari satu tempat atau keadaan ke tempat atau keadaan yang lain. Namun, juga banyak lagi pengertian dari istilah hijrah, tetapi kita akan membicarakandalam empat hal:
– Berpindah, atau tidak tinggal di satu tempat
Jika seseorang terkesan dengan apa yang dia dengar atau pelajari (dari ilmu) tetapi tidak melakukannya, dia tidak berhijrah pada yang baru saja dia pelajari. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (QS Al Ma’idah, 5: 68)
Yahudi dan Nasrani telah gagal untuk berhijrah dari situasi kufur mereka ke Tauhid, dan akibatnya Allah SWT menyatakan mereka tidak mempunyai apa-apa sampai mereka menerapkan dan melakukan apa yang telah Dia turunkan.
Sama halnya, Muslim juga tidak mempunyai apapun kecuali mereka menerapkan Al-Qur’an (secara politik) dan Islam menjadi jalan hidup mereka.
Ketika Islam dimulai di Mekkah yang sampai akhirnya menyebar ke Madinah pada saat iteraksi (dakwah) Nabi SAW dan Shahabat-shahabatnya RA. (Islam adalah sebuah Dien yang tidak memaksa untuk tinggal di satu tempat, dan juga Dien perbuatan).
Allah menetapkan bagi penduduk Mekkah untuk menolak dakwah dan memerangi RasulNya SAW. Namun, setelah serangan ini, hijrah telah ditentukan dan mereka selanjutnya diwajibkan untuk berpindah.
Masalah yang ada pada Ummat Islam hari ini adalah mereka tidak melakukan apapun untuk merubah kondisi mereka sekarang, walaupun mereka mempelajari Dien setiap hari. Mereka mengetahui apa yang halal dan haram tetapi mereka tidak ingin bergerak dan melakukan atas apa yang mereka pelajari.
Maka salah satu pengertian hijrah adalah berpindah atau bergerak; Muslim selalu berubah (untuk lebih baik) dan bergerak, juga tidak stagnan.
Meninggalkan dosa atau haram
Pengerian ini diambil dari sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Abu Daud. Rasulullah SAW bersabda:
“Muslim adalah seseorang yang menghindari menyakiti Muslim dengan lidah dan tangannya. Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan semua apa yang Allah telah larang.” (Shahih Al Bukhari, Kitabul Iman, Bab 4 Hadits No 10)
Maka jika seseorang meninggalkan apa yang Allah telah larang, dia adalah seorang Muhajir. Dan Hijrah masih terbuka (walaupun Rasulullah SAW bersabda setelah menaklukan Mekkah bagi orang-orang untuk tinggal dan meninggalkan apa yang Allah SWT telah larang.
Beribadah kepada Allah pada saat sulit dan fitan
Rasulullah SAW bersabda: “Beribadah pada saat masa harj adalah seperti hijrah kepadaku.” (Shahih Muslim, Hadits No 2948)
Pada saat fitan seperti saat ini, ketika orang-orang bercampur baur; wanita tidak menutupi auratnya; kejahatan disiarkan di internet, televisi dan Radio; musik, alkohol dan hukum kufur yang tersebar luas; orang baik dikatakan jahat, dan orang-orang yang rusak (seperti penyanyi, aktor dan selebriti) dipuji dan membuat aturan model: beribadah kepada Allah pada saat ini seperti hijrah kepada Nabi Muhammad SAW. Pada masa ketika begitu sedikit orang yang jujur; hati orang-orang beriman akan sakit karena dia akan melihat kejahatan dan tidak bisa merubahnya; Muslim yang berbicara akan dibunuh atau ditangkap, dan kesucian mereka yang tetap diam akan terhina; orang-orang akan menangkap yang membuat website, atau mereka akan ditangkap karena membawa uang di kantong mereka atau memelihara jenggot; Muslim yang terpercaya dilabeli sebagai fanatik dan teroris; dan Muslim yang berangkat dari satu negeri ke negeri yang lain dicurigai sebagai teroris: tidak diragukan lagi, ini adalah masa fitnah besar.
Bergerak atau menjauhi orang tertentu
Aturan yang mendasar berkaitan dengan Kufar adalah sebuah kewajiban untuk menjauh dari mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah. Allah SWT memerintahkan kita untuk membenci mereka dan menjauh dari mereka, tetapi pada saat yang sama memelihara hubungan dengan kita untuk transaksi dan interaksi dengan mereka (mengajak mereka pada Islam). Allah SWT berfirman:“
Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (QS Al Muzammil, 73: 10) Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.” (QS Az Zumar, 39, 17)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS An Nahl, 16: 36) Ayat-ayat ini mengkonfirmasi aturan yang sebenarnya berkaitan dengan Kuffar dan Tawaghit; itulah untuk mengatakan, mereka menjadi mengelak. Ini lebih jauh di jelaskan dengan sikap Nabi Ibrahim AS kepada kaumnya dan bapaknya (yang telah kafir). Allah SWT berfirman:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah.” (QS Az Zukruf, 43: 26)
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS Al Mumtahanah, 60: 4)
“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.” (QS Maryam, 19: 48)
Diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud, bersumber dari Samurah bin Jundub RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang berkumpul dengan seorang Musyrik dan bertempat tinggal dengannya, maka dia seperti mereka (musyrik).” (Sunan Abu Daud, kitabul jihad no. 2787)
Setelah seseorang meninggalkan kufur dan syirik kemudian memeluk Islam, mereka harus menghindari orang-orang kafir (dan apa yang mereka sembah selain Allah) dan hidup diantara Muslim, atau tidak ada dari perbuatan mereka yang akan diterima oleh Allah. Satu-satunya pengecualian untuk aturan ini adalah istri seseorang dari Ahli Kitab atau orang tua seseorang yang Kafir – memberikan mereka tidak menunjukkan kebencian kepada Islam.
Diriwayatkan dalam Sunan An Nasaa’i bahwa Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah RA berkata bahwa kakeknya (Mu’awiyah) meriwayatkan Nabi bersabda:
“Allah tidak menerima semua perbuatan dari seorang Musyrik setelah dia memeluk Islam kecuali dia menjauhi Musyrikin.” (Fathul Bari, Kitabul Jihad)
Salah satu bentuk hijrah adalah berpindah dari daerah kufur (darul kufur) ke daerah Islam (darul Islam). Namun, masalahnya belum ada Darul Islam saat ini bagi semua Muslim yang ingin berhijrah. Saat ini kita mempunyai darul kufur Asiyyah (negeri yang telah ditaklukan oleh Muslim), seperti Eropa; Darul Riddah (Darul murtad, dimana Muslim tidak menerapkan Syari’ah); dan Darul Kufur Taari’ah (negeri Muslim dalam pendudukan), seperti Israel, Spanyol, Iraq dan Afghanistan. Maka dimana kita bisa berhijrah bila semua negeri sama?
Namun, jika sebuah negara Islam diterapkan, Allah akan menghukum mereka yang tidak meninggalkan kuffar dan hijrah kecuali mereka mempunyai alasan yang syar’i. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS An Nisaa, 4: 97)
Sebagaimana mereka tidak bisa berhijrah ke Darul Islam karena itu tidak ada, mereka akan melakukan hijrah ke tempat lain dimana mereka secara umum bisa memenuhi kewajiban mereka. Jika seseorang tidak bisa menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran, mereka harus berhijrah. Jika ketentuan hanya membolehkan seseorang untuk makan, minum dan berjalan, tetapi tidak memberikan dakwah, menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka mereka harus hijrah ke sebuah tempat dimana mereka bisa memenuhi kewajiban mereka – ini adalah apa yang Shahabat lakukan ketika Hijrah ke Abyssinia.
Buah dari Hijrah (ke Abyssinia) adalah raja kedua memeluk Islam. Telah diriwayatkan oleh Ummu Salamah RAH bahwa ketika Mekkah menjadi begitu sulit bagi Shahabat, Rasulullah SAW menyarankan bagi mereka untuk pergi ke negeri Habashah (Abyssinia) dimana disana ada seorang raja yang tidak zalim. Nabih SAW memerintahkan mereka untuk tinggal disana “sampai Allah memberikan jalan keluar untukmu”. Pada waktu itu, Raja (tidak seperti penguasa saat ini) tidak melarang mereka untuk berdakwah dan mencegah kemungkaran. Shahabat yang dijelaskan suatu hari bahwa mereka memerintahkan untuk beribadah kepada Allah dan menyempaikan kebenaran dimana saja mereka berada.
Namun, hijrah bukan berarti memerlukan berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan hijrah dari satu kota ke kota lain, atau satu desa ke desa lain – dengan tujuan untuk menjauhi orang-orang yang berbuat dosa. Karena bagi mereka yang lemah, wanita, anak-anak atau mereka yang tidak mempunyai uang atau dokumen perjalanan (seperti passport), mereka harus tinggal sebisa mereka untuk berdakwah dan menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, walaupun dengan cara do’a.
Allah SWT berfirman: “kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS An Nisaa’, 4: 98-99)
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari bahwa Ibnu Abbas RA berkata: “Aku dan ibuku adalah dari Mustad’afin (orang yang lemah). Aku berada diantara anak-anak dan ibuku berada diantara nisaa’ (wanita).”
Di sisi lain, seseorang mungkin menemukannya perlu untuk hidup diantara Kuffar dengan tujuan untuk mengajak mereka pada Islam. Ini adalah situasi yang ditemukan Nabi SAW di Mekkah. Beliau hidup diantara mereka tetapi berinteraksi dan mengajak mereka pada Islam. Pada saat yang sama, beliau akan melakukan hijrah dari mereka bilamana mereka mengejek atau menghina Kitab Allah. Allah SWT berfirman:
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (QS An Nisaa’, 4: 140)
Maka ketika Musyrikun mengabaikan atau mengejek ayat Allah, Nabi SAW akan menjauhi mereka. Sama halnya dengan Ashabul Kahfi menjauhi kaum mereka dan melarikan diri ke gua ketika mereka diminta untuk bergabung dan ambil bagian dalam perayaan pagan mereka.
Diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad bahwa Khabbaab Bin Al Arat RA berkata: “Aku dulu hidup di Mekkah dan bekerja untuk Al Aas bin Waa’il. Suatu hari, ketika aku mendatanginya dan mengambil upahku, dia berkata kepadaku, ‘Aku tidak akan memberikan upahmu kecuali jika kamu mengingkari Muhammad.’ Aku berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akn mengingkari Muhammad SAW sampai aku mati dan bahkan bangkit kembali. Dan jika aku bangkit kembali, aku akan mempunyai (cukup) kekayaan dan anak.”
Selanjutnya, seorang beriman mungkin menemukan dirinya pada sebuah situasi dimana Kuffar menginginkanya untuk bergabung, meninggalkan Diennya, mencela Syari’ah atau meninggalkan negeri mereka, dan jika dia tidak melakukan yang demikian mereka tidak akan bekerja padanya, atau mereka akan mencabut kepentingannya (kesejahteraan). Pada situasi seperti ini, dia harus meninggalkan dan tidak berkompromi atas Diennya. Memboikot Muslim Hukum asal, hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah bukan persaudaraan; kami tidak bercampur dengan mereka, menikah dari mereka atau berdagang dengan mereka – kecuali ada kebolehan. Namun, ini berlawanan dengan Muslim, dimana hukum asalnya adalah bersaudara. Tetapi dari waktu ke waktu, ada kemungkinan menjadi boleh untuk menjauhi seorang Muslim, karena ada dua alasan di bawah ini:|
1. Karena urusan dunia 2. Karena Dien
Berkaitan dengan urusan dunia, seseorang bisa memboikot Muslim jika dia mempunyai sebuah perselisihan (tentang makanan, pakaian atau uang), tetapi boikot ini tidak bisa lebih dari tiga hari. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak mungkin bagi seorang Muslim untuk menjauhi saudaranya lebih dari 3 malam, berpaling satu sama lain dimana saja mereka bertemu. Yang lebih baik adalah salah satu yang berinisiatif untuk Salaam.” (Shahih Muslim Hadits no 2560)
Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Pintu surga terbuka setiap hari senin dan kamis. Allah akan mengampuni setiap hamba yang tidak melakukan syirik, kecuali seseorang setelah berselisih dengan saudaranya, menjaga dendam. Itu akan menjadi perkataan baginya (tiga kali): ‘lihatlah kedua orang itu, (jangan buka pintu jannah) sampai mereka damai.’” (Shahih muslim Hadits No. 2565)
Berikatan denga dien, sebagai seorang Muslim bisa diboikot lebih dari 3 hari, atau mungkin kurang, tergantung kondisinya.
Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari bahwa Rasulullah SAW memboikot 3 orang (termasuk Ka’ab Bin Malik) untuk lima puluh malam karena mereka tidak merespon seruan jihad untuk perang Tabuk. Rasulullah SAW juga menginstruksikan Shahabatnya untuk melakukan hal yang sama dan tidak ada seorangpun yang berbicara dengan mereka selama periode ini, termasuk istri-istri mereka. Ini berdasarkan wahyu (Allah mengatakan kepada RasulNya untuk memboikot mereka).
Umar Bin Al Khattab juga meminta Muslim untuk memboikot orang yang disebut Sabigh At Tamimi, yang secara rutin salah menanggapi ayat-ayat mutasyabihat dari Kitab Allah. Tidak seorangpun berbicara kepadanya selama hampir satu tahun, sampai dia berubah dan bertobat.
Maka ada insiden di masa lalu ketika Muslim diboikot lebih dari 3 hari, sebagai sebuah bentuk hukuman; tetapi ini hanya terjadi pada individu yang melakukan dosa besar atau bid’ah, atau mempunyai tanda-tanda nifaq.
Jika seseorang melakukan dosa besar dan kemudian bertobat, kita tidak bisa menolak untuk memaafkannya, dengan kata lain kita akan menjatuhkan diri kita ke dalam kemunafikan.
Terakhir, tujuan utama hijrah adalah meninggalkan tempat ketidaktaatan menuju tempat ketaatan, dimana seseorang bisa berlaku atau menjalankan diennya.
Wallahu’alam bis showab!