Tidak ada orang yang berani keluar rumah, kata seorang ibu yang menjadi korban kekejaman Israel.
Kehidupan Abu Anas Al-Banna, Istrinya dan kesepuluh anaknya, tersekat sebuah dinding di rumah kecilnya di kota Gaza.
Mereka seperti dipenjara di rumah mereka sendiri, seperti halnya keluarga-keluarga lainnya di Gaza.
Anak-anak tidak lagi pergi ke sekolah, ayah-ayah mereka tidak lagi keluar rumah untuk bekerja atau sholat berjamaah di Mesjid.
Mereka dibayang-bayangi kematian oleh roket-roket Israel yang siap menghantam kapan saja, dimana saja. Sejak Sabtu (27/12) hingga saat ini, korban gugur di Gaza mencapai 414 orang.
Para orangtua didera rasa takut bila melihat anak-anak mereka membuka jendela atau pintu untuk keluar rumah.
“Ya, kami merasakan takut berlebih,” kata seorang istri, sambil megendong anak ketiganya, Sam, yang tidak berhenti menangis.
“Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, tetapi aku tidak bisa. Aku harus kuat demi anak-anakku,” lanjutnya.
“Do’a, do’a dan do’a satu-satunya sandaranku kini.”
Malam-malam yang Mencekam
Jika matahari terbenam, keluarga Al-Banna berada dalam ketakutan.
“Aku benar-benar merasakan takut di malam hari,” bisik Lina, 14, dari sudut sebuah ruangan.
Saudaranya, Anas, masih berada dalam trauma sejak Israel melancarkan serangan masiv Sabtu lalu, dia terus menggigil di sisi Lina.
“Aku tidak bisa lagi merasakan apapun. Aku seperti kehilangan akal sehat.”
Anak-anak, dahulu terbiasa tidur di ruangan terpisah. Tetapi kini, mereka tidur bersama di satu ruangan.
Anak-anak menutup wajah mereka dengan kain dan menaruh tangan-tangan mereka di telinga untuk menghindari mendengar bom-bom Israel yang mencekam.
“Setiap kali kami mengucapkan selamat malam sebelum tidur, kami tidak pernah tahu apakah besok kami masih bernyawa.” Ujar Al-Banna. (Hanin Mazaya/arrahmah.com)