Seorang Muslim diwajibkan untuk hidup dengan Islam dan menerapkan syari’at di mana saja kita berada. Kita juga harus taat kepada Allah SWT, RasulNya dan kepada Amirul Mu’minin. Jika tidak ada pemimpin (Khalifah) untuk dibai’at (seperti saat sekarang ini), maka menjadi kewajiban untuk berjuang secara berjama’ah dengan Muslim lain dengan tujuan untuk membasmi syirik (kekafiran, tuhan-tuhan palsu, hukum yang tidak Islami dan sebagainya) kemudian menerapkan Syari’at.
Suatu hal yang tidak mungkin bagi seorang Muslim hidup diantarar kuffar kecuali dia membedakan dirinya dari mereka, memelihara dienNya, menolak kebiasaan, ideologi, jalan hidup mereka; menyerukan mereka pada Islam dan melaksanakan ibadah ritual serta melaksanakan kewajiban lainnya. Jarir bin Abdillah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda:
“Aku berlepas diri dari Muslim yang hidup di antara musyrikin.” (Sunan Abu Daud, Hadits no. 2645)
Pemisahan ini adalah untuk seorang Muslim yang hidup diantara Kuffar (yaitu di darul Harb) agar membedakan diri mereka dari orang-orang kafir dan memenuhi kewajiban mereka untuk mengajak mereka pada Islam (secara terbuka). Membedakan diri seseorang dari orang-orang kafir bisa dilakukan dengan banyak cara. Namun, hal utama yang harus dilakukan adalah memegang erat nilai-nilai Islami dan taat pada Syari’at (tanpa kompromi).
Jika seseorang tidak bisa memegang erat dienNya, menolak syirik dan kekufuran, menjauhkan dirinya dari orang-orang Kafir dan secara terbuka mengajak masyarakat pada Islam; itu menjadi penghalang baginya untuk hidup diantara mereka dan hijrah menjadi kewajiban atasnya.
Satu-satunya orang yang boleh untuk tidak membedakan dirinya dari Kuffar dan secara terbuka mengajak mereka pada Islam adalah Mujahid. Namun seseorang seharusnya tidak membiarkan syaitan membisikinya dan meyakinkannya bahwa dia adalah seorang Mujahid atau dia sedang mempersiapkan diri untuk ber-jihad. Sekarang ada banyak “mujahid” palsu yang tidak melakukan apapun kecuali duduk di depan komputer sepanjang hari, mengolok-olok Muslim yang ikhlas, menonton beberapa video klip dan khalwat dalam forum “Islami”. Yang lebih buruk adalah bahwa mereka mempunyai keberanian untuk mengklaim bahwa mereka bekerja keras di jalan Allah dan melayani Ummat Muslim.
Dakwah Atau Hijrah
Salah satu karakteristik seorang Munafiq adalah bahwa dia hidup diantara Kuffar (di darul harb) tanpa memerangi mereka atau membedakan dirinya dari mereka (dengan menyerukan Islam pada mereka). Lebih lanjut, dia juga menolak untuk melakukan Hijrah ketika itu menjadi kewajiban atasnya. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS An Nisa’, 4: 97-99)
Al Bukhari meriwayatkan bahwa Muhammad Bin Abdir Rahman (Abul Aswad) berkata, “Orang-orang Madinah yang dipaksa untuk mempersiapkan tentara [berperang melawan kaum Asy Syam pada saat Khilafah Abdullah bin Az Zubair di Mekkah], dan termasuk juga aku. Kemudian aku menemui ‘Ikrimah, budak yang telah dibebaskan oleh ‘Abbas, dan memberitahukannya, dan dia menolakku dengan tegas untuk melakukannya [yaitu untuk masuk dalam pasukan itu], dan kemudian dia berkata kepadaku, Ibnu Abbas mengatakan kepadaku bahwa sebagian Muslim dulu pergi dengan penyembah berhala menambahkan jumlah pasukan mereka melawan Rasulullah SAW. Kemudian, sebuah panah akan mengenai salah satu dari mereka dan membunuh mereka, atau dia akan : pada lehernya [dengan sebuah pedang] dan terbunuh, dan Allah menurunkan ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”
Ad Dahhak menetapkan bahwa ayat ini diturunkan tentang sebagian munafik yang tidak bergabung dengan Rasulullah SAW tetapi tetap di Mekkah dan pergi bersama musyrikin dalam perang Badar. Mereka terbunuh diantara orang-orang yang telah dibunuh. Selanjutnya, ayat yang mulia ini diturunkan tentang mereka yang bertempat tinggal diantara musyrikin, disaat bisa melaksanakan hijrah dan tidak bisa melaksanakan Dien mereka. Orang-orang demikian akan menganiaya diri mereka sendiri dan jatuh ke dalam sebuah larangan berdasarkan kesepakatan dan juga berdasarkan ayat ini.
Lebih lanjut, dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” (QS An Nisaa’, 4: 88-89)
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Zaid Bin Tsabit r.a berkata bahwa Rasulullah SAW berbaris ke arah Uhud. Namun, sebagian orang kembali ke Madinah, dan Shahabat Rasulullah SAW terbagi menjadi dua kelompok berkaitan dengan mereka, seorang berkata mereka seharusnya dibunuh dan yang lain menolaknya. Allah SWT kemudian menurunkan :
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ?”
Haatib Bin Abi Balta’ah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al Mumtahanah, 60:1)
Kisah Hatib bin Abi Balta’ah adalah alasan dibalik pernyataan awal surah yang mulia ini. Hatib adalah salah seorang diantara Muhajirin dan ikut serta dalam perang Badar. Haatib mampunyai anak dan kekayaan di Mekkah, tetapi dia bukan dari suku Quraisy. Melainkan, dia adalah sekutu Utsman. Ketika Rasulullah SAW menetapkan untuk menaklukkan Mekkah, setelah orang-orangnya membatalkan perjanjian damai diantara mereka, dia menyuruh kaum Muslimin untuk memobilisasi kekuatan mereka untuk memerangi Mekkah, dan kemudian berkata, “Yaa Allah! Jagalah berita rahasia kami dari mereka.”
Haatib menuliskan sebuah surat dan mengirimkannya kepada penduduk Mekkah, melalui seorang wanita dari suku Quraisy, menginformasikan mereka tentang intensitas Rasulullah memerangi mereka. Dia ingin mereka menjadi berhutang padanya (dengan harapan bahwa mereka memberikan keamanan kepada keluarganya di Mekkah). Allah SWT menyampaikan masalah ini kepada RasulNya SAW, karena Dia menerima Do’a Nabi (agar Dia merahasiakan kabar tentang penyerangan). Rasulullah mengutus seseorang kepada wanita tersebut dan mengambil surat itu.
Surat ini dari Haatib Bin Abi Balta’ah kepada seseorang di Mekkah, mengatakan kepada mereka tentang apa yang telah Rasulullah SAW lakukan. Rasulullah SAW kemudian berkata, “Yaa Hatib! Apa ini? Hatib menjawab, “Yaa Rasulullah! Jangan membuat sebuah keputusan terburu-buru tentangku. Aku bukanlah dari Quraisy, tetapi aku adalah sekutu mereka. Semua orang-orang yang berhijrah denganmu mempunyai keluarga (di Mekkah) yang bisa melindungi keluarga mereka. Maka aku ingin melakukan kebaikan untuk mereka, kemudian mereka mungkin melindungi keluargaku, sebagaimana aku tidak mempunyai hubungan darah dengan mereka. Aku tidak melakukan kekufuran di luar ini atau mengkhianati agamaku, tidak juga aku melakukannya untuk memilih kufur setelah Islam.”
Rasulullah SAW berkata kepada Shahabatnya, “Berkaitan dengannya, dia telah mengatakan kepada kalian kebenaran.” ‘Umar ra kemudian berkata:
“Yaa Rasulullah! Izinkan aku untuk memenggal kepala munafik ini [kafir]!”
Nabi SAW bersabda: “Dia telah hadir di medan Badar. Apa yang bisa aku katakan kepadamu, mungkin Allah melihat mereka yang hadir di medan Badar dan berkata, ‘Wahai orang-orang yang ada di medan Badar, lakukan apa yang kamu suka, Aku telah mengampunimu.’” Allah SWT kemudian menurunkan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad).”
Kita bisa belajar dari kejadian ini bahwa Nabi SAW membolehkan takfir (memutuskan status seseorang menjadi kafir) Umar r.a atas Haatib, dan harus menunggu wahyu dari Allah untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadapnya. Selanjutnya, menjadi hal yang tidak mungkin (dilarang) bagi seorang Muslim memberikan informasi kepada Kuffar walaupun itu untuk menyelamatkan keluarga seseorang.
Kesimpulan
Jika Muslim terus hidup diantara Kuffar dan menjadi sibuk dengan dunia, tanpa mengajak mereka kepada Islam (secara terbuka), menyerukan kebaikan, mencegah kemungkaran dan tidak membedakan diri mereka dari non-Muslim; ada sebuah kesempatan besar dimana mereka menjadi munafiqin; dan selanjutnya, mereka harus berhijrah dan pergi ke tempat dimana mereka bisa melakukan semua kewajiban mereka.
Dakwah dengan menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran adalah kewajiban atas Muslim; selanjutnya, kita seharusnya tidak menjadi seperti mereka yang dilaknat oleh Allah SWT dan mengikuti sebagian hukum tetapi mengabaikan sebagian lainnya. Allah SWT berfirman:
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al Baqarah, 2: 85)