TEL AVIV (Arrahmah.id) – Presiden “Israel” Isaac Herzog, pada Kamis malam, mengkritik pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dengan menegaskan bahwa perang di Gaza tidak bisa dilanjutkan sementara penderitaan keluarga tawanan di sana diabaikan.
Dalam pernyataannya yang dikutip oleh surat kabar Yedioth Ahronoth, Herzog mengatakan, “Tidak bisa kita melanjutkan perang dengan alasan komitmen suci untuk mengembalikan para tawanan, tetapi pada saat yang sama mengabaikan penderitaan keluarga mereka yang hidup dalam mimpi buruk yang tak tertahankan.”
Dalam sindiran halus terhadap pernyataan Netanyahu tentang apa yang disebutnya sebagai “negara dalam negara,” Herzog menambahkan, “Pegawai negeri menjadi sasaran kampanye pencemaran nama baik, padahal mereka bekerja dengan penuh dedikasi.”
Ia juga menekankan, “Di antara mereka ada tentara cadangan, keluarga korban, dan tetangga kita semua. Mereka seharusnya didukung, bukan diserang.”
Pihak “Israel” memperkirakan ada 59 tawanan di Gaza, 24 di antaranya masih hidup. Sementara itu, lebih dari 9.500 warga Palestina ditahan di penjara-penjara “Israel,” dengan laporan tentang penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis yang telah menyebabkan kematian sejumlah tahanan, menurut laporan media dan hak asasi manusia Palestina maupun “Israel.”
Herzog melanjutkan, “Kita tidak bisa tidak merasa sangat prihatin dengan realitas pahit yang kita saksikan. Ribuan surat panggilan wajib militer telah diterbitkan baru-baru ini.”
Ia juga menegaskan, “Tidak masuk akal untuk mengirim anak-anak kita ke garis depan, sementara pada saat yang sama kita menerapkan kebijakan yang semakin memperdalam perpecahan dalam masyarakat,” merujuk pada pengecualian komunitas ultra-Ortodoks (Haredi) dari wajib militer.
Krisis ini bermula ketika Mahkamah Agung “Israel” pada 25 Juni 2024 mewajibkan komunitas Haredi untuk mengikuti wajib militer serta menghentikan bantuan keuangan bagi institusi keagamaan yang menolak aturan ini.
Kaum Haredi, yang merupakan sekitar 13 persen dari total 10 juta penduduk “Israel,” menolak dinas militer dengan alasan bahwa hidup mereka dikhususkan untuk studi Taurat. Mereka mengklaim bahwa integrasi dalam masyarakat sekuler akan mengancam identitas agama dan kelangsungan komunitas mereka.
Seorang pejabat pemerintah menanggapi kritik Herzog dengan mengatakan, “Tidak mengherankan bahwa Herzog kembali sepenuhnya bergabung dengan negara dalam negara.”
Ia menambahkan, “Sebelum 7 Oktober 2023, Herzog sudah menunjukkan kelemahan dalam menangani fenomena penolakan wajib militer. Kini, dia kembali bersekutu dengan para aktivis oposisi pemerintah. Dia adalah aktor politik sejati, dan tidak ada yang percaya dengan netralitas palsunya.”
Pernyataan Herzog muncul hanya beberapa jam sebelum pertemuan kabinet yang akan membahas pemecatan Kepala Badan Keamanan Dalam Negeri (“Shin Bet”) Ronen Bar. Selain itu, ada rencana untuk mengadakan sidang pada Minggu mendatang guna membahas pemecatan Penasihat Hukum Pemerintah Gali Baharav-Miara, menurut Yedioth Ahronoth.
Akun-akun resmi pemerintah sebelumnya memicu kontroversi dengan unggahan yang menyerang “negara dalam negara” yang disebut sebagai alat kelompok kiri untuk menggagalkan kehendak rakyat. Unggahan ini awalnya muncul dalam bahasa Inggris di akun resmi kantor Netanyahu di platform X, sebelum akhirnya dihapus dan diposting ulang dalam bahasa Ibrani di akun pribadi Netanyahu.
Netanyahu juga mengunggah video di TikTok yang menjelaskan tentang “negara dalam negara” menggunakan kecerdasan buatan.
Pada Selasa pagi, “Israel” kembali melanjutkan perang genosida di Gaza, mengingkari perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tawanan dengan Hamas yang telah berlangsung selama 58 hari sejak 19 Januari 2025, yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan didukung oleh Amerika Serikat.
Militer “Israel” secara mendadak meningkatkan serangan genosidanya dengan melancarkan serangan udara besar-besaran yang menargetkan warga sipil, yang menyebabkan 591 syahid dan 1.042 luka-luka, 70 persen di antaranya adalah anak-anak, wanita, dan lansia, menurut pernyataan Kantor Media Pemerintah di Gaza.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Khalil Degran, dalam wawancaranya dengan Anadolu Agency pada Kamis pagi, melaporkan bahwa sejak Selasa, jumlah syahid mencapai 710 orang, dengan lebih dari 900 korban luka akibat serangan genosida dan pembersihan etnis oleh “Israel” yang didukung oleh Amerika Serikat.
Sementara “Israel” mengaitkan kelanjutan perang dengan upayanya membebaskan tawanan dari Gaza dan menghilangkan apa yang mereka anggap sebagai ancaman dari wilayah tersebut, para analis “Israel” menilai bahwa langkah ini bertujuan untuk memastikan Netanyahu bisa meloloskan anggaran negara, yang jika gagal akan menyebabkan pemerintahannya otomatis runtuh pada akhir Maret ini.
Dengan melanjutkan perang genosida, Netanyahu berhasil mengembalikan Menteri Keamanan Nasional yang sebelumnya mengundurkan diri, Itamar Ben Gvir, ke dalam koalisi pemerintah pada Selasa, memastikan dukungan dari anggota parlemen sayap kanan ekstrem dari partai “Jewish Power” untuk menyetujui anggaran negara.
Eskalasi ini, yang menurut “Israel” dilakukan dengan koordinasi penuh bersama Washington, merupakan pelanggaran terbesar terhadap perjanjian gencatan senjata di Gaza. Sebelumnya, “Israel” telah menolak melanjutkan fase kedua perjanjian tersebut setelah fase pertama berakhir pada awal Maret 2025.
Meskipun Hamas telah mematuhi semua ketentuan perjanjian, Netanyahu menolak untuk melanjutkan ke tahap kedua akibat tekanan dari kelompok ekstremis dalam pemerintahannya.
Netanyahu hanya ingin memperpanjang tahap pertama perjanjian demi membebaskan sebanyak mungkin tawanan “Israel” di Gaza, tanpa harus menjalankan tahap kedua yang mencakup penghentian total perang dan penarikan pasukan dari Gaza.
Sejak 7 Oktober 2023, dengan dukungan penuh Amerika Serikat, “Israel” telah melakukan genosida di Gaza yang telah merenggut lebih dari 162.000 korban syahid dan luka-luka, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak dan wanita, serta lebih dari 14.000 orang masih hilang.
(Samirmusa/arrahmah.id)