FaJAKARTA (Arrahmah.id) – Terdakwa kasus pemerkosaan 13 santriwati Herry Wirawan dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar) dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Bandung (11/1).
Tuntutan jaksa ini dinilai sangat tepat karena memenuhi kategori kejahatan luar biasa seperti yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Anggota DPD RI yang juga aktivis perlindungan anak Fahira Idris mengungkapkan kekerasan seksual terhadap anak sudah masuk dalam kategori kejahatan luar biasa setara dengan tindak pidana korupsi, narkoba dan terorisme dimana opsi hukuman mati bisa dijatuhkan.
Apa yang dilakukan predator Herry Wirawan sudah memenuhi unsur kejahatan luar biasa sesuai UU Perlindungan Anak karena korban lebih dari satu orang dan dilakukan berulang-ulang sehingga pantas tuntutan hukuman mati dijatuhkan.
“Saya apresiasi tuntutan yang diajukan Kejati Jabar. Sudah sepantasnya predator anak dihukum mati. Semoga hakim kabulkan,” kata Fahira Idris dalam keterangan persnya, di Jakarta, Rabu (12/1/2022).
Fahiran menambahkan, negara harus tegas terhadap predator anak seperti ini. Predator anak tidak layak ada dalam komunitas masyarakat.
“Ini adalah upaya pencegahan paling efektif untuk mencegah dan mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Ini jadi peringatan keras kepada siapa saja di negeri ini agar jangan berani-berani melakukan kekerasan kepada anak dalam bentuk apapun baik fisik, psikis apalagi seksual karena hukuman mati bisa menanti Anda,” paparnya.
Fahira menilai, opsi pidana mati dalam UU Perlindungan Anak yang mengategorikan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa adalah kemajuan dalam upaya perlindungan anak di Indonesia.
Undang-undang ini, lanjutnya, mampu memberi efek jera dan mengedepankan hak-hak korban akan efektif mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap anak.
Terlebih, ujar Fahira, selain menambah pidana pokok berupa pidana mati dan pidana seumur hidup, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, UU Perlindungan Anak yang baru ini, menambahkan ketentuan mengenai tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
“Saya yakin, upaya kita mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap anak bisa efektif jika penegak hukum konsisten berpegang penuh kepada UU Perlindungan Anak,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)