JAKARTA (Arrahmah.id) – Film dokumenter tentang kecurangan pemilu Dirty Vote tayang pada Ahad (11/2) ini. Film ini dapat diakses di akun YouTube Dirty Vote.
Dirty Vote merupakan dokumenter eksplanatori yang disampaikan tiga orang ahli hukum tata negara yaitu Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar.
“Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi,” demikian siaran pers, lansir CNNIndonesia.com.
Dalam film tersebut, Bivitri dkk menjelaskan penggunaan kekuasaan dikerahkan untuk mempertahankan status quo. Adapun penjelasan dimaksud berpijak pada sejumlah fakta dan data.
Bivitri mengatakan secara sederhana Dirty Vote merupakan sebuah rekaman sejarah perihal rusaknya demokrasi di Indonesia.
“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi,” jelas Bivitri.
“Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” lanjutnya.
Ia mengingatkan, sikap publik saat ini menjadi sangat penting untuk merespons praktik lancung dalam pelaksanaan pemilu. Ia berharap publik dapat bersuara lantang dan bertindak supaya cita-cita negara dapat terus hidup dan bertumbuh.
Pesan yang sama disampaikan oleh Feri Amsari. Menurut Feri, esensi pemilu adalah rasa cinta tanah air. Membiarkan kecurangan pemilu, terang dia, sama saja dengan merusak bangsa Indonesia.
“Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” tutur dia.
Dokumenter Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono. Ini merupakan film keempat yang disutradarainya mengambil momentum pemilu.
Pada 2014, Dandhy lewat rumah produksi WatchDoc meluncurkan film Ketujuh. Saat itu, Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden dielu-elukan sebagai sosok pembawa harapan baru.
Pada 2017, menjelang Pilkada DKI Jakarta, Dandhy menyutradarai Jakarta Unfair.
Dua tahun kemudian, film Sexy Killers tembus 20 juta penonton di masa tenang Pemilu 2019. Sexy Killers membongkar jaringan oligarki bercokol pada kedua pasangan calon yang berlaga saat itu, Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dandhy mengatakan Dirty Vote menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu. Ia berharap film tersebut akan mengedukasi publik.
“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tapi, hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” ucap dia.
Berbeda dengan film-film dokumenter sebelumnya di bawah bendera WatchDoc dan Ekspedisi Indonesia Baru, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas CSO.
Ketua Umum SIEJ sekaligus produser, Joni Aswira, mengatakan dokumenter Dirty Vote sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil. Biaya produksi dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.
“Biayanya patungan. Selain itu, Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan, lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” kata Joni.
Sebanyak 20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film tersebut adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
(ameera/arrahmah.id)