SURABAYA (Arrahmah.com) – Viral di media sosial sebuah video yang menunjukkan sejumlah “santri” berbusana Muslim putih dengan kopyah berlogo NU sedang membacakan puisi bertajuk ‘Jumat Agung’, karya Ulil Abshar Abdalla.
Jumat Agung adalah hari peringatan Penyaliban Yesus Kristus yang wafat di Bukit Golgota, dikenal sebagai bukit Calvary, tempat Yesus disalibkan, yang bertepatan pada hari Jumat, tiga hari menjelang Paskah yang jatuh pada hari Minggu.
“Ya, Yesusmu adalah juga Yesusku. Ia telah menebusku dari iman, yang jumawa dan tinggi hati. Ia membuatku cinta pada yang dinista!,” demikian penggalan akhir puisi tersebut.
Prof Dr H Rochmat Wahab, mantan Ketua PWNU DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), mengaku prihatin dengan kelompok liberal yang begitu massif merusak generasi nahdliyin.
“Kasihan anak-anak kita. Puisi itu sangat terkait dengan Hari Wafat Yesus Kristus. Isinya sangat kental dengan urusan aqidah. Siapa pun boleh membuat puisi. Silakan. Sah-sah saja, baik orang yang beragama Kristen, Katolik, Islam atau lainnya. Tetapi, setiap penulis mesti bertanggungjawab dengan apa yang tulisannya,” tegas Guru Besar Ilmu Pendidikan Anak Berbakat Universitas Negeri Yogyakarta, Ahad (12/4/2020), lansir duta.co.
Menurut Prof Rochmat, yang menjadi masalah dari puisi ‘Jumat Agung’ itu, adalah diviralkan dengan menggunakan sejumlah remaja perempuan dan laki-laki yang mengenakan kopyah berlogo NU.
Penampilan ini secara langsung atau tidak langsung, melibatkan NU, seakan-akan secara institusional, NU ikut memback-up.
“Dan secara aqidah, jelas sekali materi dalam puisi yang dibaca itu, tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh NU dan para masyayikh,” tegas Prof Rochmat.
Prof Rochmat berharap agar generasi santri tidak dirusak dengan pikiran-pikiran liberal. NU jangan dipermainkan seperti itu.
Ia mengatakan, para muassis NU bisa menangis ketika menyaksikan semua ini, betapa kita membiarkan liberalisasi memporak-porandakan NU.
“Silakan (kalau) di luar, jangan pakai institusi NU. Mengapa harus memakai baju muslim dan perkopyah berlogo NU? Ini sama saja menginjak-injak Islam dan NU. Mestinya ini tidak harus terjadi. Silakan bepuisi, lebih liberal lagi tidak masalah. Tetapi, jangan dan tidak boleh menggunakan simbol NU,” tegas Prof Rochmat.
Prof Rochmat menambahkan, jika yang membacakan itu (benar) santri dan santriwati maka sangat disesalkan terhadap orang atau institusi yang harus bertanggung jawab karena mengkoordinasikan pembacaan puisi ini dan pembuatan videonya. Karena kegiatan ini secara langsung atau tidak langsung melakukan pemurtadan para santri. Yang sebenarnya harus dihindari.
Prof Rochmat juga sangat menyayangkan, belakangan ini dalam menafsirkan toleransi sejumlah ummat nahdliyin aktivitasnya sudah merusak aqidah. Kegiatan-kegiatannya sangat meresahkan warga NU khususnya dan ummat Islam pada umumnya.
(ameera/arrahmah.com)