BOGOR (Arrahmah.com) – Pengajaran di pondok-pondok pesantren tidak mengajari santrinya merakit bom atau pun aksi terorisme, demikian yang diungkapkan Tokoh Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi.
“Pesantren merupakan institusi Islam yang selalu mengajarkan kedamaian. Dalam sejarahnya, pesantren tidak pernah mengajarkan kekerasan. Apalagi sampai mengajari santri merakit bom,” kata Hasyim Muzadi di Bogor, Jawa Barat, Kamis (28/7/2011).
Pernyataan Hasyim Muzadi tersebut disampaikan dalam “stadium general” dengan tema “Peran Islam Moderat Bagi Ketahanan Bangsa dan NKRI.”
Kegiatan tersebut dihelat secara bersama oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Bogor, Pesantren Al-Ghazaly, dan Pemkot Bogor, yang dipusatkan di kompleks Al-Ghazaly, Kotaparis, Kota Bogor.
Hasyim mengungkapkan bahwa pesantren berdiri dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Sejak berdiri, sekitar enam abad silam, tidak pernah mengajarkan apalagi melakukan kekerasan.
“Pesantren tidak pernah melakukan perlawanan apalagi tindak kekerasan. Kecuali pada zaman penjajahan, pesantren terlibat dalam gerakan mengusir penjajah. Sedangkan pada era sebelumnya dan sesudahnya, pesantren tidak pernah terlibat kekerasan fisik,” kata Hasyim Muzadi.
Menurut Hasyim, pesantren telah menjadi ciri khas budaya Islam Nusantara. Pesantren mewarisi cara-cara berdakwah yang dicontohkan para Wali Songo, dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
“Pesantren pewaris perjuangan Wali Songo dalam menyebarkan Islam secara damai. Pesantren tidak mengenal kekerasan, terorisme, apalagi perakitan bom,” ujar Hasyim.
Terkait hal tersebut Hasyim mengaku kaget dan heran dengan fenomena dalam beberapa tahun terakhir, dimana sejumlah pesantren terlibat aksi terorisme dan kekerasan.
“Baru tahun-tahun sekarang ini ada pesantren yang terlibat aksi terorisme, ada pesantren yang merakit bom dan menyerang aparat kepolisian dengan celurit. Dulu, fenomena ini tidak pernah ada,” papar Hasyim.
Hasyim mengklaim adanya fenomena beberapa pesantren yang terlibat dalam aksi atau jaringan “terorisme”, tetapi ia menolak jika digeneralisasikan bahwa semua pesantren pun demikian.
Klaim terkait pesantren mengajarkan membuat bom adalah wacana sepihak yang diklaim oleh aparat, padahal wacana tersebut tidak dikonfirmasi oleh pesantren bersangkutan.
Sayangnya Hasyim tidak membahas pula terkait banyak pesantren yang diliberalisasi. Mendapatkan dana dari negara barat dengan kurikulum disesuaikan sesuai permintaan penyumbang dana tersebut.
Banyak siswa-siswa pesantren yang tidak memahami tentang kewajiban memakai jilbab, tentang pentingnya konstitusi negara yang menerapkan syariah, dan tentang makna jihad yang ditauladankan oleh Rasulullah. Kebanyakan pesantren yang berkembang saat ini adalah pesantren tradisional. Yang mengkaji permasalahan cabang ilmu keislaman, tetapi melupakan pemikiran dasar terkait Islam itu sendiri.
Hingga dampaknya bisa dilihat, banyak lulusan-lulusan pesantren dan kiai-kiainya yang masih “suka” melakukan ritual bid’ah. Yang jika keluar dari lingkungan pesantren dengan mudahnya tergerus oleh pemikiran liberal. Wallohua’lam. (ans/arrahmah.com)