(Arrahmah.com) – Berikut keterangan yang didapat redaksi arrahmah.com terkait investigasi yang dilakukan The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA) pada 7-10 Maret 2013 melalui wawancara dengan Direktur CIIA Harits Abu Ulya.
Bersama: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
1. Apa pandangan Anda terkait konflik Poso?
Konflik Poso yang meletup sekitar 13 tahunan lalu berbeda dengan kasus sekarang. Dulu diawali dari perkelahian anak-anak mabok (Kristen) dan membacok seorang ramaja masjid kemudian menjadi konflik yang eskalasinya meluas menjadi perang Muslim Vs Kristen.
Sekarang beda, yang terjadi hanya “perang” antara beberapa kelompok orang Vs aparat keamanan (Polri). Tapi kasus sekarang juga masih ada benang merahnya dengan konflik masa lalu, teror yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang itu adalah wujud residu ketidakadilan dari penanganan konflik masa lalu yang tidak tuntas.
Ditambah akumulasi perlawanan dari kelompok tertentu yang selama ini jadi buron dengan tuduhan terorisme. Kemudian Poso di jadikan basis perlawanan tehadap perkara yang menurut mereka adalah kedzaliman. Jadi terlalu didramatisir kalau kasus sekarang dikatakan konflik.
Kalau tindakan yang bisa memicu konflik benar adanya, baik dari tindakan apara kepolisian yang tidak proporsional dan over acting maupun teror yang dilakukan orang-orang tertentu terhadap aparat kepolisian. Di sisi lain memang ada indikasi faktor kepentingan ekonomi dan politik regional opuntunir berkontribusi menjadikan konflik makin komplikasi dan “terpelihara”.
2. Pendekatan keamanan selalu dikedepankan untuk merespon kekerasan yang terus berlangsung di Poso, menurut Anda?
Ini kebijakan “militeristik” yang tidak proporsional, terlalu eksesif (berlebihan). Bahkan membuat kondisi psikologis masyarakat yang belum sembuh benar dari konflik masa lalu makin terluka. Kehadiran personil Polri dan TNI dalam jumlah yang berlebihan hanya untuk mengejar sekelompok orang justru menjadi pemicu sikon sosial politik keamanan tidak nyaman bagi masyarakat. Masyarakat dalam suasana tertekan dan terteror, dalam bahasa mereka: “Poso kapan saja bisa meledak peristiwa teror dan berdampak kepada kehidupan keseharian mereka”.
Contoh, begitu aparat kepolisian tertembak di Kalora kemudian mereka tidak mengejar ke gunung tapi malah balik ke masyarakat. Hasil buruan nihil, malah justru obrak-abrik kota Poso dan menangkap orang-orang yang tidak bersalah dengan interogasi yang keji kemudian dilepas begitu saja. Jelas ini menyulut kebencian masyarakat Poso. Keamanan dan kenyamanan masyarakat jadi terganggu.
Ini indikasi operasi intelijen belum maksimal untuk memetakan ancaman di teritorial tertentu dan belum bisa membuat rekomendasi yang tepat dan proporsional. Malah yang terjadi show of force mengerahkan pasukan, terkesan kebijakan dibuat dengan emosional, paranoid dan tidak memahami realitas di lapangan.
3. Apakah Anda yakin teroris itu ada di Poso?
Tergantung sudut pandang, kalau pakai kaca mata Barat yang diaminkan pemerintah Indonesia dalam hal ini oleh BNPT dan Densus 88 maka “teroris” versi mereka ya ada. Tapi kalau kita tidak apologis dengan barang dagangan Barat tersebut, maka kita tidak menemukan kelompok “teroris”, yang ada adalah mereka yang membela dan menuntut hak-haknya.. Dan berusaha untuk mengais keadilan di tengah kedzaliman global yang episentrum kedzaliman tersebut adalah Barat (Amerika cs). Dan terror yang terjadi itu puncak gunung es-nya.
Saya melihat Teroris dalam tanda kutip menjadi kedok sebuah proposal proyek oleh tangan-tangan tersembunyi di Poso dan luar Poso. Ada yang berperan sebagai sutradara, produser, pemain, pengembira yang mereka semua mendapatkan keuntungan dan Poso menjadi panggungnya.
4. Fokus terkait video kekerasan aparat polisi di Poso yang beredar, berdasarkan investigasi CIIA bagaimana?
Setelah kita elaborasi dari saksi-saksi yang ada di dalam video dan saksi lainnya serta olah TKP, kesimpulannya benar adanya isi video itu bukan rekayasa. Artinya kita temukan ada dua fakta paling krusial, yaitu soal kebenaran peristiwa. Dan kedua, tempat lokasi peristiwa penyiksaan oleh aparat yang diduga keras adalah Densus 88 dan kesatuan lainnya. Video itu sangat sulit jika dikatakan rekayasa atau bahkan editan (gabungan) dari peristiwa tahun 2007 dan tahun 2012, semua bisa dibuktikan secara teknologi audio visual dan dikonfirmasi dengan fakta lapangan.
Video itu adalah terjadi pada hari Sabtu, 22 Januari 2007 sekitar jam 12.00 wita (selepas waktu dzuhur). Dan tempat kejadian di wilayah Tanah Runtuh, tepatnya di kawasan Gunung Jati eks Lorong pembantu Gubernur Kelurahan Gebang Rejo Poso Kota di depan halaman rumah salah satu warga.
Dan lima orang korban penyiksaan dalam video itu adalah;
- Wiwin alias Tomo alias Rahman Kalahe yang saat ini masih menjalani hukuman 17 tahun di penjara Lapas Petobo Palu Sulteng.
- Tugiran dan masih menjalani hukuman di Lapas Petobo Palu Sulteng sama dengan Wiwin.
- Rasiman (32) yang baru bebas tahun 2010 setelah 3 tahun jalani hukuman di LP Petoba Palu sejak tahun 2007.
- Fachrudin alias Udin (24) statusnya meninggal (ia adek dari Basri yang saat ini menjalani hukuman di LP Ampana Tojo Unauna 18 tahun).
- Ridwan alias Dwan yang saat ini bebas setelah menjalani hukuman 3 tahun di LP Petobo Palu dan bebas ditahun 2010 seperti halnya Rasiman.
6. Apakah di temukan fakta-fakta baru yang tidak terungkap di publik?
Dari pengakuan saksi yang ada di dalam LP (Wiwin dan Tugiran) mereka membenarkan semua isi video terebut. Sekalipun mereka merasa kecewa kenapa baru saat ini terungkap ramai, mengingat video tersebut udah lama dan beredar dibeberapa kalangan. Dan bahkan keduanya sempat membantu Komnas HAM memberikan sketsa peta tempat persisnya kejadian perkara, yang kemudian Komnas HAM melakukan olah TKP. Bahkan kesaksian ini di perkuat lagi oleh Rasiman (yang sudah bebas dari hukuman) saat di lapangan.
Ada kronologi dan fakta penting, sebelum mereka di tangkap dan dikumpulkan di halaman rumah seorang warga (seperti yang terlihat dalam video), terjadi baku tembak dari pagi antara DPO dengan aparat gabungan Polri. Dan baru kemudian 5 orang ini menyerah, dan dari penuturan Rasiman terungkap tindakan aparat yang sangat tidak manusiawi.
Saat ia bersama 3 rekan lainya sudah menyerah tidak berdaya dan menuruti semua apa yang dikatakan aparat saat itu. Tapi tetap saja mereka disiksa bahkan Rasiman sendiri kaki kanannya ditembak. Dalam kondisi tangan terikat dan ada yang ditelanjangi mereka di siksa dengan popor senjata, pukulan dan tendangan hingga babak belur dan berdarah-darah. Dan Wiwin yang belakang menyerah juga ditembak bagian dadanya (seperti dalam video), padahal ia sudah menuruti semua permintaan aparat untuk melepas baju dan celana (tertinggal celana dalam saja) dengan alasan diduga melilitkan bom di badannya. Akhirnya ditembak juga hanya karena tidak menuruti untuk jalan sambil merayap seperti perintah aparat.
Penyiksaan terus berlanjut karena pasukan gabungan Polri saat itu menanyakan keberadaan Basri, salah seorang yang dianggap panglima dan paling dicari (menjadi DPO utama diantaranya karena kasus mutilasi tiga siswa di Bukit Bambu). Saat itu, Basri juga diduga sebagai salah seorang pemimpin dari kelompok bersenjata di Poso. Mereka menjawab tidak tahu keberadaan Basri, karena memang tidak mengetahui hingga karena itu mereka disiksa terus menerus.
Dari kesaksian Rasiman juga, sekalipun mereka semua mengalami penyiksaan dengan kondisi tangan terikat dan mata tertutup, semua masih dalam keadaan hidup (bernyawa). Bahkan saat mereka diangkut ke Polres Poso dengan mobil Baracuda, keempat rekannya juga masih hidup. Dan sebelum dibawa ke Mapolda, di Polres Poso juga mengalami penyiksaan di ruang yang berbeda. Rasiman menuturkan saat di Polres Poso mengalami siksaan dengan diinjak-injak dan dipukul.
Yang mengenaskan adalah nasib Fachrudin alias Udin saat itu usianya sekitar 24 tahun (adek Basri), waktu dibawa ke Palu dari Poso dalam kondisi masih hidup. Tapi saat setibanya di Polda Palu kondisinya sudah dalam keadaan meninggal dengan kondisi yang sangat mengerikan. Wajah Udin hancur hampir tidak bisa dikenali oleh rekannya kecuali dari bagian tubuh yang lain.
Rasiman dan rekan lainya saat dibawa untuk mengenali korban tahu bahwa jazad yang terbujur kaku di RS Bhayangkara Palu adalah Fachrudin dari bentuk fisiknya saja. Dan kuburan almarhum Udin saat ini berada di Poso dan bisa dibuktikan keberadaannya. Ini indikasi dan bukti kuat ada kebiadaban sistemik yang dilakukan oleh aparat di lapangan.
Dan model-model penindakan yang sangat biadab ini juga tidak hanya menimpa kepada 5 orang yang di video. Tapi masih banyak fakta dan data terkait orang-orang yang tertuduh teroris, TKP nya juga ada di wilayah Poso dan sekitarnya dan ada data serta dokumentasinya.
7. Soal korban salah tembak atau salah tangkap, bagaimana kalau diteruskan ke ranah hukum: mereka trauma dan nama mereka rusak?
Sekalipun tidak boleh berharap banyak namun ikhtiar untuk mencari keadilan perlu dilakukan. Negeri ini katanya negeri hukum, di tengah bopengnya penegakkan hukum. Ya tidak ada salahnya kalau mencoba. Karena yang saya tau, pembunuhan di luar jalur pengadilan (extra judicial killing) atau Summary Executions adalah pelanggaran HAM berat, sekalipun dalam rangka law enforcement. Melanggar UU Nomer 39 tahun 1999. Dan hal ini dijelaskan dalam Pasal 104 juncto UU nomer 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM pasal 7 sub B dan pada Pasal 9.
Begitu juga korban tembak yang masih hidup atau tidak di”hadiahi” pelor oleh Densus, perlu advokasi. Karena dalam UU Nomer 5 tahun 1998 tentang ratifikasi konvensi PBB diatur tentang anti penyiksaan dan perendahan martabat manusia dan penghukuman yang merendahkan martabat manusia.
Nah, di lapangan aparat Densus sering mengabaikan kaidah-kaidah hukum ini. Contoh dari kasus Kalora-Poso, 14 warga sipil babak belur selama 7×24 jam diinterogasi di mapolres Poso dan setelah tidak terbukti, dilepas begitu saja tanpa ada rehabilitasi nama atau bahkan meminta maaf. Ini perbuatan yang sangat tidak manusiawi.
Apakah hanya karena label “teroris” bagi seseorang kemudian itu menjadi “sertifikat halal” bagi Densus88 untuk membunuh orang atau boleh melanggar hukum seenaknya? Jika aparat penegak hukum seperti itu, ya tidak ada bedanya dengan gerombolan penjahat berkedok hukum. Aparat itu penegak hukum, bukan “hukum” itu sendiri.
Orang-orang yang diduga atau tertuduh teroris tidak seberuntung seperti seorang Benget Situmorang (BS) pelaku mutilasi sadis terhadap istrinya (Darna), yang potongan-potongan jasadnya diecer di ruas tol Cikampek, Jakarta Timur. Si BS masih bisa menghisap rokok di depan penyidik.
Mutilasi apapun motifnya dan pelakunya tetap saja adalah tindakan kriminal berat. Tapi hari ini umat Islam menyaksikan penegakkan hukum yang sangat timpang.
Densus 88 dan BNPT selalu berlindung pada alasan terorisme adalah kejahatan extra ordinary jadi perlu penanganan yang juga extra ordinary. Seperti halnya law enforcement oleh Densus sudah banyak menabrak criminal juctice system hanya karena alasan ini extra ordinary crime. Misalkan asas praduga tak bersalah diabaikan begitu saja (presumption of innocence ).
8. Soal desakan pembubaran Densus 88, bagaimana peluangnya menurut Anda?
Peluangnya besar sekalipun ada pihak yang pasang badan. Saat ini adalah momentum untuk mewujudkan itu. Ormas Islam mayoritas sudah bersuara, LSM moderat liberal pun angkat bicara. Ini sudah menjadi keprihatinan mayoritas masyarakat Indonesia. Kita yang punya kepedulian perlu terus mengawal bersama. MUI juga sudah sempat terjun kelapangan untuk mengawal investigasi Komnas HAM.
Jadi sekarang perlu umat dan tokohnya konsolidasi merapatkan barisan untuk merumuskan langkah strategis berikutnya. Ini kedzaliman yang tidak boleh lagi ditolerir dengan alasan apa pun. MUI juga harus mengeluarkan rekomendasi, minimal mendukung langkah Komnas HAM untuk melanjutkan investigasinya dan melanjutkan kepada fase berikutnya. Yakni, menaikkan ke status kepelanngaran HAM berat sesuai UU nomor 26 Tahun 2000. Dan mendorong agar Komnas HAM berani memplenokan hasil investigasinya, dan membuat rekomendasi.
Ini penting karena bisa dijadikan sebagai acuan untuk melakukan tindakan hukum berikutnya bahkan melakukan judicial review atas UU nomor 15 tahun 2003 (Penanggulangan terorisme) dan undang-undang derivate (turunan dan pelengkapnya).
Yang perlu disadari, Komnas HAM tidak banyak punya kewenangan. Bahkan sangat mungkin diteror oleh oknum-oknum tertentu atas kasus ini, agar tidak bersuara keras. Mengingat Komnas sudah turun ke Poso sejak 22-31 Januari 2013, terkait dugaan penanganan teroris di Poso tidak sesuai prosedur. Seperti tertembaknya terduga teroris pada tanggal 3 November 2012, dan kekerasan terhadap 14 warga saat menjalani pemeriksaan di kantor Polisi pada akhir Desember 2012 terkait tertembaknya Polisi di Desa Kalora-Poso.
Saya khawatir, kalau langkah berbagai element umat dan Komnas HAM gagal di tengah jalan maka akan melahirkan kekecewaan masyarakat Poso dan kelompok tertentu yang merasa terdzalimi di Poso. Dan dampaknya bisa ditebak, ibarat api dalam sekam maka Poso bisa meledak kapan saja. Dan justru saya melihat ada pihak yang tidak ingin drama perang melawan terorisme ini berakhir di Poso dan tempat lainya dengan terus mempertahankan pasukan teror Densus 88.
9. Bagaimana pendapat Anda dengan tindakan Komisi III yang mempertanyakan kerja Densus yang main tembak dan ada wacana dibentuk panja?
Saya apresiasi, tapi masih butuh lebih dari itu. Political will dari Komisi 3 harus ada karena mereka punya “dosa” masa lalu, Densus 88 dan BNPT harus dievaluasi total dan diaudit keuangannya. Selama ini dengan dana APBN dan hibah dari luar negeri untuk kepentingan kontra terorisme apa hasilnya? Apakah sudah tepat strategi yang digunakan oleh Densus 88 dan BNPT yang lebih tampak dominan dan “heroik” dengan hard power-nya.
Sementara banyak fakta di lapangan menjadi indikasi kuat penanganan atas orang-orang yang dituduh teroris sarat dengan pelanggaran HAM berat. Mulai dari penetapan DPO, penangkapan, proses penyidikan, sampai pada kasus tewasnya terduga teroris hanya karena alasan kill or to be kill (membunuh atau dibunuh).
Bahkan hak-hak keluarga korban juga sering diabaikan begitu saja. Umat Islam banyak yang resah, khusus para tokohnya dan dinamika ini tidak boleh diabaikan begitu saja.
DPR dengan perannya bisa mengadvokasi keresahan ini untuk mengaborsi pelangaran-pelanggaran serius. Sekalipun banyak masyarakat yang pesimis dengan peran wakil rakyat yang mudah “masuk angin” ketika mengadvokasi kepentingan masyarakat. Lebih-lebih Komisi 3 (dosa masa lalu) yang melegislasi sejak awal payung hukum (regulasi/UU) untuk agenda perang melawan terorisme di Indonesia.
Dan bahkan yang melegislasi anggaran untuk Densus dan BNPT, artinya mereka secara politik memberikan dukungan semua operasi kontra-terorisme. Tapi lemah kontrol dan bahkan cenderung tutup mata dan telinga atas tindakan-tindakan over acting dari aparat Densus 88.
Banyak orang apatis, jangan sampai nasib umat Islam yang tragis dengan isu terorisme malah dijadikan modal “narsis” para politisi di parlemen, ujung-ujungnya kepentingan opontunir mereka yang diraih.
10. Menurut Anda, apa pesan yang ingin disampaikan oleh pelaku serangan di Poso?
Yang bisa saya eja, minimal mereka ingin menunjukkan dua hal; pertama, menuntut keadilan dan balas dendam atas kezaliman yang berjalan di bawah bendera kontraterorisme. Dan kedua, ingin memberi pesan bahwa mereka masih eksis dan kapan saja akan melawan dengan segala resikonya jika sikap dan keputusan-keputusan politik selalu menyudutkan Islam dan umatnya. (bilal/arrahmah.com)