(Arrahmah.com) – Dr. Iyadh Qunaibi menyampaikan pengantar dari untaian kata berharga Syaikh Athiyatullah Al Libi Rahimahullah. Dalam pengantar ini, Dr. Iyadh menyampaikan sebab-sebab dari kebodohan paling berbahaya di mana sebagian pemuda beranggapan bila belum mengkafirkan seseorang atau sekelompok orang secara muayyan, maka hal itu bisa saja membuatnya kufur.
Berikut terjemahan pengantar tersebut yang dipublikasikan oleh Muqawamah Media pada Senin (12/1/2015).
Sebagian pemuda mengira bahwa jika dirinya belum mengkafirkan seseorang atau sekelompok orang secara muayyan, maka masih ada yang kurang dengan agamanya atau bahkan bisa saja itu membuatnya kufur, sehingga ia mengalami krisis mental, ia merasa harus mengkafirkan seseorang yang masih tidak jelas apakah orang itu kafir atau tidak, hal itu ia lakukan demi ‘memelihara agamanya’.
Maka ini adalah kebodohan yang paling berbahaya, lantaran dua sebab:
PERTAMA:
Seorang muslim yang awam hanya dituntut untuk mengkufuri thaghut secara global saja, serta memahami perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kekufuran sehingga ia dapat menghindarinya. Namun ia tidak berhak melakukan takfir muayyan, karena tindakan itu hanya dapat dilakukan setelah mengkonkritkan syarat-syaratnya dan menafikan penghalang-penghalangnya, dan itu adalah tugasnya ulama.
Adapun kaedah, “Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir.” maka ini terhadap orang kafir tulen yang belum pernah masuk islam sama sekali, adapun bagi orang islam, maka kaedah yang biasa diterapkan oleh para ulama terhadapnya adalah; “Barangsiapa keislamannya ditetapkan dengan pasti, maka hal itu tidak akan hilang darinya kecuali berdasarkan sesuatu yang pasti.”
Ibnu Taimiyyah berkata: “Siapa yang telah eksis keimanan dengan pasti maka tidak bisa dihilangkan statusnya berdasarkan keraguan, bahkan tidak bisa dihilangkan kecuali setelah penegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat.” [Majmu’ Fatawa: 12/501]
Apabila seorang muslim mengkafirkan thaghut secara global, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kekafiran, maka ia sudah bertindak seperti yang seharusnya, urusan keagamaannya tidak akan terancam jika ia tidak mengkafirkan sana-sini.
KEDUA:
Orang yang mengkafirkan orang lain demi ‘memelihara agamanya’, seakan-akan ia terjerumus ke dalam apa yang ia hindari!! Apa kau tidak memperhatikan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
مَنْ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Barangsiapa berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dgn kekufuran tersebut.”
Maka wahai saudaraku yang semoga diberikan hidayah, tetap saja engkau tidak dibebankan untuk mengkafirkan seseorang, urusan agamamu tidak akan terancam dan keimananmu tidak akan berkurang jika engkau tidak mengkafirkannya, lalu apa yang mendorongmu untuk mengkafirkannya sehingga agamamu kau pertaruhkan dan engkau terkena ancaman yang dahsyat?
Ingkari lah kemungkaran, tinggalkanlah perilaku dan perbuatan bathil dan nasehatilah orang-orang supaya turut menghindarinya, apabila engkau memiliki ilmu yang mumpuni untuk melakukan itu. Namun jika itu takfir muayyan, maka seseorang harus mempunyai ilmu yang lebih banyak dan untuk melakukannya, jadi ukurlah kadar dirimu, dan tunduklah kepada kebenaran.
KESIMPULAN:
- Tujuan dari tulisan ini adalah mengecam sebagian pemuda yang belum sampai pada tingkatan keilmuan, lalu mereka mengkafirkan sejumlah person atau kelompok yang melakukan amal islami, dikarenakan adanya tindakan atau pernyataan yang berbahaya namun tidak berarti bahwa tindakan atau pernyataan itu menyebabkan person atau kelompok tadi harus dikafirkan.
- Ada satu permalasahan yang lebih rumit, yaitu vonis kafir terhadap person yang melakukan perbuatan yang tidak menyebabkan kekufuran, bahkan terkadang bukan perbuatan yang berdosa! Namun itu bukanlah yang dibahas di dalam tulisan ini.
Pengantar dari untaian kata berharga Syaikh Athiyatullah Al Libi Rahimahullah.
Dr. Iyadh Qunaibi
(aliakram/arrahmah.com)