MEDAN (Arrahmah.com) – Kerja paksa, tak bisa salat ke masjid, dan takut dibantai menjadi alasan Harun Rashed lari ke Kota Medan, Sumatera Utara. Namun bukan jalan yang mudah untuk mendapat kedamaian. Ia harus mendekam di penjara Belawan selama enam bulan sebelum diselamatkan oleh IOM dan dipindahkan ke pengungsian.
Harun Rashen, 33 Tahun, adalah satu dari 156 warga etnis Rohingya, asal Myanmar yang mengungsi ke Kota Medan. Sejak 2008 ia sudah mengungsi ke Medan. Namun Myanmar tak kunjung damai.
“Saya berdoa Myanmar cepat damai. Saya mau balik ke sana kalau sudah damai,” ujarnya yang di temui Tribun, saat buka bersama Anggota DPR RI Herlini Amran, di pengungsian Jl Pasar III, Padang Bulan Medan, Senin (6/8) dikutip tribunnews.
Keinginannya sangat kuat, karena seluruh sanak saudaranya masih berada di Myanmar dan selalu terancam hidupnya. “Kami 9 bersaudara, 7 saudara saya masih di sana. Tidak bisa keluar rumah, tidak bisa ke pasar, dihubungipun sangat sulit,” ungkapnya. Sedangkan satu saudaranya lagi sudah meninggal dunia di Myanmar.
Di Medan, ia sendirian, tak punya sanak keluarga. Untungnya sejak enam bulam terakhir, ia mendapatkan bantuan sebesar Rp 1.250.000 dari IOM.
Apa yang menyebabkannya mengungsi ke Medan? “Saya kerja paksa, membuat jalan dengan gaji sedikit, tak bisa salat ke masjid, dan takut dibantai. Karena pembantaian sudah terjadi sejak 1974,” ungkapnya.
Awalnya ia melarikan diri ke Malaysia. Namun di sana tidak mendapatkan pekerjaan. Akhirnya dengan menggunakan kapal kecil ia bersama beberapa warga negara Myanmar memberanikan diri ke Indonesia melalui Belawan.
Nahas, ia ditangkap pihak imigrasi bersama semua rekannya dan dipenjarakan selama enam bulan. Setelah itu, ia di bebaskan, namun tak ada yang menampungnya. Hingga akhirnya dia diperbolehkan menjadi buruh tani di Langkat.
“Di sana saya dapat istri dan sekarang sudah memiliki dua anak,” ujar pria kelahiran Maong Dow, Myanmar ini. Namun masalah lagi-lagi datang. Dua anaknya tak diterima masuk sekolah karena Harun tak punya KTP, hanya punya surat keterangan pengungsi dari UNHCR.
Jadi ia terpaksa menggunakan identitas adik iparnya agar anaknya bisa masuk sekolah. “Jadi adik ipar saya itu mengaku sebagai ayah anak saya biar bisa diterima sekolah. Tahun ini baru masuk sekolah TK,” ujarnya. (bilal/arrahmah.com)