(Arrahmah.com) – Pemutar-balikan fakta hampir terjadi di setiap babak sejarah Islam. Kejadian yang baik disusupi berita bohong dan palsu, kemudian dinilai menjadi kejadian buruk. Tokoh panutan ditampilkan menjadi antagonis yang layak dapat cercaan bahkan doa jelek. Masyarakat awam pun gamang, bagian mana dari sejarah Islam ini yang patut jadi teladan. Akhirnya, generasi muda Islam tumbuh dengan kekaguman dengan tokoh-tokoh penjajah yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dan mereka benci dengan pahlawan-pahlawan yang memperjuangkan keluhuran agama mereka.
Di antara tokoh yang menjadi sasaran penghancuran karakter adalah Khalifah Abbasiyah Harun Ar-Rasyid rahimahullah. Para perusak sejarah Islam mencoba menggambarkan image Harun Ar-Rasyid dengan tampilan seorang pemabuk. Malam-malamnya adalah hidup foya-foya. Seorang diktator yang dikelilingi selir dan para penari. Mengapa image ini perlu ditampilkan? Karena beliau khalifah terbaik Abbasiyah. Pengibar bendera jihad dan sangat besar perhatian terhadap ilmu dan ulama. Seorang figur teladan yang ingin dibuat sebagai pecundang yang mengecewakan.
Harun Ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada malam sabtu 16 Rabiul Awal 170 H. Bertepatan dengan 14 September 786 M. Ia menggantikan kedudukan ayahnya yang wafat, Khalifah al-Mahdi. Saat diangkat menjadi pimpinan tertinggi kerajaan, Harun Ar-Rasyid baru menginjak usia 25 tahun.
Memuliakan Ulama
Harun Ar-Rasyid adalah seorang raja yang dikenal memuliakan ulama. Ia begitu mengagungkan agamanya. Tidak suka perdebatan dan banyak bicara. Dan ia sangat mencintai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam beberapa risalahnya, Al-Qadhi Iyadh, memiliki kesan yang mendalam pada figur Harun Ar-Rasyid. Beliau mengatakan, “Tidak kuketahui seorang raja pun yang bersafar menempuh perjalanan belajar kecuali al-Rasyid. Ia berjalan bersama dua orang anaknya Ar-Amin dan al-Makmun, untuk mendengar kajian al-Muwaththa yang disampaikan oleh Imam malik rahimahullah.”
Saat akhir hayat sang khalifah, Abdullah bin al-Mubarak bersedih. Ia duduk penuh duka. Sampai orang-orang pun menghiburnya. Abdullah bin al-Mubarak adalah seorang ulama tabi’ tabi’in. Seorang yang shaleh dan wara’. Orang seperti beliau bersedih dan menangis ketika Harun Ar-Rasyid hendak wafat.
Abu Muawiyah ad-Dharir mengatakan, “Tidaklah aku menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan Ar-Rasyid kecuali beliau mengucapkan, ‘Shalawat untuk junjunganku’. Kemudian aku riwayatkan sebuah hadits kepadanya. (Rasulullah bersabda) ‘Sungguh aku ingin berperang di jalan Allah, kemudian terbunuh. Kemudian hidup kembali. Kemudian terbunuh lagi’. (mendengar hadits itu) Harun al-Rasyid menangis tersedu-sedu.”
Hadits ini selengkapnya adalah sebagai berikut:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ وَدِدْتُ أَنِّي أُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ، فَأُقْتَلُ ، ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ ، ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku berandai, berperang di jalan Allah. Kemudian terbunuh. Kemudian hidup kembali. Kemudian terbunuh lagi. Kemudian hidup kembali. Kemudian terbunuh kembali.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tamanni, 6713).
Hadits ini menggambarkan tentang pahala jihad dan bagaimana keberanian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wafat di medan perang bukanlah kematian yang ringan. Wafat di medan perang adalah kematian yang memakan waktu, berhadapan dengan sesuatu yang menakutkan, melihat darah terkucur, dan rasa sakit yang tidak sesaat. Tapi beliau berani melakukannya. Dan berharap pahala besar dari amalan jihad.
Mendengar hadits ini, dan semangatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperjuangkan Islam dan mendapatkan pahalanya, Harun Ar-Rasyid menangis tersedu-sedu. Anda baru saja membaca hadits tersebut. Bagaimana perasaan Anda? Apakah pada bacaan pertama Anda, Anda merasakan apa yang dirasakan Harun Ar-Rasyid? Anda mengalami seperti apa yang ia alami? Dari sini, barulah kita bisa membedakan antara cinta kita dengan Rasulullah dan hadits beliau, beda dengan cintanya Harun Ar-Rasyid kepada Nabi dan haditsnya.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Asakir dari Ibnu Aliyah, ia berkata, “Harun Ar-Rasyid menangkap seorang zindiq (yang rusak akidahnya). Ia memerintah agar si zindiq ini dipenggal. Si zindiq ini berkata kepada Harun, “Engkau tidak akan memenggal kepalaku.” “Aku akan membuat orang-orang terhenti dari ulah burukmu”, jawab Harun.
Si Zindiq ini berkata lagi:
فأين أنت من ألف حديث وضعتها على رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كلها ما فيها حرف نطق ب
“Apa yang bisa kau lakukan terhadap 1000 hadits yang telah kupalsukan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Semua hurufnya telah terucapkan.” Ia menakuti Harun, kalau dia mati siapa yang bakal menunjukkan hadits-hadits palsu yang telah beredar itu. Karena dia yang membuat, dia pulalah yang tahu mana ucapan-ucapannya.
Tapi Harun Ar-Rasyid dtidak menggubris tawarannya. Dengan percaya diri ia menjawab,
فأين أنت يا عدو الله من أبى إسحاق الفزارى وعبد الله بن المبارك ينخلانها فيخرجانها حرفا حرف
“Apakah kau tidak tahu wahai musuh Allah tentang keahlian Abu Ishaq al-Fazari dan Abdullah bin al-Mubarak? Mereka akan menelitinya dan menilainya huruf per huruf.”
Sanjungan Ulama
Para ulama memuji Khalifah Harun Ar-Rasyid atas keadilannya dan keshalehannya. Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,
ما من نفس تموت أشد علي موتا من أمير المؤمنين هارون ولوددت أن الله زاد من عمري في عمره
“Tak ada seorang pun yang kematiannya lebih kutangisi dibanding kematian Amirul Mukminin Harun. Aku berandai kalau Allah mengambil jatah usiaku untuk ditambahkan pada usianya.”
Murid-murid Fudhail bin Iyadh berkata, “Kami menganggap bahwa ucapan beliau hanya sanjungan berlebihan terhadap Harun Ar-Rasyid. Ketika Harun wafat. Kemudian muncullah fitnah. Khalifah al-Makmun menyebarkan pemahaman khalqul quran di tengah masyarakat. Kami pun berkata, ‘Guru kita sangat paham terhadap apa yang ia ucapkan’.”
(fath/kisahmuslim/arrahmah.com)