JAKARTA (Arrahmah.com) – Akhirnya Polri mengatakan Ormas HASMI yang berpusat di Bogor berbeda dengan Hasmi kelompok yang dituduh melakukan teror. Menurut Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) pernytaan kepolisian yang menyebut nama ormas tanpa penjelasan rinci dalam kasus tersebut merupakan tindakan gegabah Densus 88 untuk kesekian kalinya.
“Ini contoh kecerobohan kedua dalam satu pekan yang dilakukan Densus 88” Kata Haris Abu Ulya kepada arrahmah.com, Jakarta, (31/10).
Lanjut Haris, Tidak ada ormas Islam di Indonesia yang identik dengan gerakan teroris, jika ada maka itu adalah persepsi pihak luar terhadap ormas-ormas Islam. Bahkan, ormas-ormas Islam jika dilihat AD/RT nya jelas tidak bisa dikaitkan dengan label teroris.
“Jika, toh ada anggotanya melakukan tindakan/aksi teror. Maka, itu adalah oknum dan tidak bisa dijadikan dasar mengeneralisasi untuk melabeli ormas. Atau bahkan, jika oknum tersebut sejarahnya terkait dengan ormas tertentu tetap tidak bisa digeneralisir,” ujarnya.
Haris berpendapat, kalau memang pemerintah serius dan berani, berdasarkan definisi teroris yang diadopsi pemerintah. Seharusnya, pemerintah berani mempublikasi dan menunjuk hidung ormas mana saja yang terkategorikan terlibat terorisme.
“Kenapa tidak pernah diumumkan secara terbuka dan resmi mana ormas atau individu atau kelompok yang dicap teroris dan harus diberantas? Karena selama ini teroris menjadi istilah yang definisi sangat politis dan bisa dipakai sesuka-sukanya,” tukasnya.
Lebih dari itu, menurutnya seringkali pihak aparat tidak hati-hati dan ceroboh dengan menyebut kelompok tertentu terlibat dalam jaringan teror.
“Padahal, harusnya dihindari membangun opini yang justru kontra produktif,” ucap Haris.
Ia pun meminta, Pemerintah atau aparat terbuka dan jujur terkait latarbelakang munculnya terorisme, sehingga memunculkan pertanyaan, kenapa orang-orang Islam semua jadi korban dan kambing hitam.
” Apakah setiap orang atau kelompok yang berhadapan dengan kepentingan imperialis AS dan status quo dengan ideologi sekuler maka bisa dicap teroris dengan berbagai cara dan rekayasa?” tanya Haris.
Sambungnya, Jika pemerintah tidak mau transfaran dan otokritik atas proyek perang melawan terorisme selama ini maka jangan heran kalau akan terakumulasi kesimpulan perang melawan terorisme di Indonesia adalah perang melawan Islam dan umatnya, sebuah proyek turunan dari kepentingan imperialisme global yang di komandani AS.
“Dan selama peta konstelasi politiknya seperti itu, maka perlawanan dari orang-orang yang merasa terdzalimi akan terus tersemai,” pungkas Haris. (bilal/arrahmah.com)