SRINAGAR (Arrahmah.com) – Surat kabar utama berbahasa Inggris dan Urdu di Kashmir yang dikelola India telah mencetak kosong halaman depan mereka sebagai bentuk protes keputusan pemerintah pusat untuk memblokir iklan di dua harian, lapor Al Jazeera, Minggu (10/3/2019).
Di kolom berita reguler, halaman depan surat kabar, pada Minggu (10/3) menampilkan pesan mengecam pelarangan pemerintah atas Greater Kashmir dan Kashmir Reader untuk menampilkan iklan. Beberapa wartawan, yang dipimpin oleh Persatuan Editor Kashmir (KEG), juga mengadakan demonstrasi di kota utama Srinagar, menuntut penarikan larangan itu.
Kashmir journos stage protest against advt ban to newspapers https://t.co/gQNFtSXLc1 pic.twitter.com/dGPemPBecg
— Kashmir Reader (@Kashmir_Reader) March 10, 2019
Tindakan pemerintah terhadap kedua surat kabar itu terjadi dua hari setelah serangan bunuh diri yang mematikan di Pulwama pada 14 Februari, yang membawa India dan Pakistan ke ambang perang.
Surat kabar di India sangat bergantung pada iklan pemerintah untuk kelangsungan hidup mereka dan blokade iklan ini menimpa Greater Kashmir dan Kashmir Reader. Yang pertama dipaksa untuk memotong edisi 20 halaman menjadi 12, sedangkan yang kedua beralih dari 16 menjadi 12 halaman.
“Keputusan itu belum disampaikan secara formal dan tidak ada alasan terperinci, sejauh ini,” kata KEG dalam sebuah pernyataan.
Wilayah itu berada di bawah pemerintahan langsung pemerintah pusat Perdana Menteri Narendra Modi setelah pemerintah koalisi yang rapuh runtuh pada Juni 2018. Berbicara kepada Al Jazeera atas nama Satya Pal Malik, gubernur negara bagian itu, Vijay Kumar, penasihat utamanya, mengatakan, “Selalu ada beberapa norma yang membuat keputusan tertentu.”
Menuduh pendirian Modi sebagai dendam politik, Bashir Manzar, sekretaris jenderal KEG, menuturkan, “Kami telah memutuskan untuk melawan pencekikan yang disengaja dan subversi institusi media di negara bagian itu.”
“Kami telah meminta penjelasan kepada pemerintah tetapi tidak ada tanggapan dalam 15 hari. Hari ini, kami dipaksa untuk membuat halaman depan yang kosong. Hanya itu yang bisa kami lakukan sebagai surat kabar,” katanya, seraya menambahkan bahwa pemerintah melakukan ketidakadilan terhadap para pembaca dengan menghalangi aliran informasi.
“Di tanah, ketika para reporter kami pergi untuk melapor, beberapa orang dipukuli dan beberapa ditembaki peluru karet. Suasana ini berlangsung selama 30 tahun terakhir. Itu hanya membunuh pembawa pesan,” kata Manzar.
Serangan bulan lalu di Pulwama, yang menewaskan 44 polisi paramiliter India, adalah yang paling mematikan dalam pemberontakan bersenjata selama puluhan tahun di Kashmir terhadap pemerintahan India.
Dalam sebuah pernyataan pada Minggu (10/3), Daniel Bastard, kepala kelompok advokasi kebebasan pers Asia-Pasifik Reporters Without Borders (RSF), mengecam larangan pemerintah terhadap kedua surat kabar tersebut.
“Di tengah meningkatnya ketegangan di lembah Kashmir, sangat penting bahwa surat kabar harus mampu meliput situasi dengan cara yang sepenuhnya independen, terutama karena kebebasan pers adalah kondisi penting untuk meredakan ketegangan,” katanya.
“Menargetkan kedua surat kabar dengan cara yang sepenuhnya sewenang-wenang ini jelas merupakan tindakan intimidasi,” tambah Bastard.
“Pihak berwenang tidak memiliki hak untuk mengganggu publikasi yang mereka sukai dengan tujuan memaksakan versi fakta mereka sendiri.”
India berada di peringkat 138 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2018 RSF.
Sementara itu, Shekhar Gupta, presiden Redaksi Persekutuan India, menggambarkan larangan pemerintah sebagai putusan “tercela” dan menyerukan penarikan segera.
“Ini adalah trik murahan dari sebagian pemerintah mana pun untuk menggunakan iklan sebagai tekanan terhadap media.”
Wartawan bekerja di bawah kondisi ekstrem di wilayah tersebut. Pada 22 Januari, empat wartawan ditembak dengan peluru oleh pasukan keamanan ketika mereka meliput pertempuran senjata di Kashmir selatan. Pada 26 Januari, ketika India menandai Hari Republiknya, wartawan Kashmir yang terakreditasi ditolak masuk ke parade resmi meskipun faktanya mereka membawa surat izin yang dikeluarkan pemerintah ke acara tersebut.
Menurut laporan November 2017 oleh Federasi Jurnalis Internasional, setidaknya 21 jurnalis telah tewas dalam konflik – baik secara langsung menjadi sasaran atau terjebak dalam baku tembak di Kashmir. (Althaf/arrahmah.com)