JAKARTA (Arrahmah.com) – Misteri terkait kematian pejuang Islam dan bangsa Imam DI/TII Sekarmadji Marijan Kartosoewiryo akhirnya terkuak. Setidaknya bagaimana proses eksekusi dan lokasi pekuburannya dapat masyarakat ketahui sekarang.
“Saya merasa terpanggil untuk membuka fakta sejarah ini, agar masyarakat dan mereka yang masih menganggap Pulau Onrust sebagai tempat dimakamkannya kartosoewiryo dapat mengetahuinya fakta sebenarnya,”Kata Fadli Zon mengawali peluncuran dan bedah buku ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’ yang ia tulis, di Taman Ismail Marzuki, Jakpus, Rabu (5/9).
Sejarawan Mohammad Iskandar menambhkan publikasi 81 foto hari-hari terakhir pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, membuka pengetahuan baru. Foto-foto itu meluruskan kontroversi yang berkembang selama ini.
Iskandar menceritakan, dirinya pernah bertemu dengan anak buah Kartosoewirjo. “Mereka bertanya karena banyak isu. Isunya kan nggak jelas, ada yang bilang ditembak dan tidak diperlakukan secara Islami,” katanya
Dengan adanya foto ini, masyarakat, ungkap Iskandar dapat mengetahui secara jelas proses eksekusi mati yang dilakukan. “Ternyata (pemakaman) diperlakukan secara Islami, disalatkan. Dengan foto ini, kontroversi dan imajinasi yang mengawang-awang tersingkap,” tuturnya.
Dalam foto terlihat jelas proses eksekusi yang dilakukan. Saat di kapal, Kartosoewirjo tampak dalam foto berdoa dengan dibantu seorang rohaniwan dari TNI. Usai ditembak, Kartosoewirjo juga diperiksa dokter dan dimakamkan dengan cara dikafani. Setelah dimakamkan tiang eksekusi Kartosoewirjo dibakar.
Bagi Iskandar, Kartosoewirjo adalah agen perubahan kala itu. “Dia tidak puas dengan kondisi yang ada termasuk kondisi masyarakat Islam saat itu,” pungkasnya.
DI/TII gerombolan pengacau?
Ia juga menjelaskan bahwasanya, tuduhan dan anggapan masyarakat bahwa DI/TII merupakan gerombolan pengacau, disebabkan oleh penyusupan yang dilakukan oleh PKI dan mengaku-aku sebagai bagian dari DI/TII.
“Merekalah yang diduga sebagai gerombolan yang sering bersikap kasar terhadap masyarakat. Namun, saya belum bisa mengkonfirmasi nama-nama tersebut, karena sudah banyak yang meninggal” papar Iskandar.
Yayan, salah satu peneliti kehidupan kartosoewiryo membenarkan rumor yang beredar tersebut. Menurutnya, sidang Mahmilub salah seorang tokoh PKI yang pernah menjadi perwira angkatan darat mengakui bahwa ia pernah menyusupkan anggota PKI ke dalam DI/TII saat membacakan eksepsinya.
“Ketika Suparjo dituduh oleh oditur telah menaruh tentara ke dalam Dewan Revolusi, ia menyatakan bahwa ia menaruh tentara ke Dewan Revolusi bukan untuk memperkuat, tetapi untuk menikam dari dalam sebagaimana pernah ia lakukan dahulu kepada NII, nah ngaku dia” ungkap Yayan.
Tuduhan Hukum terhadap Sang Imam
Penulis buku ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’, Fadli Zon menyebut ada tiga kejahatan politik yang disangkakan pemerintah pada Kartosoewirjo. Pertama, memimpin dan mengatur penyerangan dengan maksud hendak menggulingkan pemerintah pemerintahan yang sah. Kedua, dituduh ingin memisahkan diri dari Indonesia. Dan ketiga Kartosoewirjo dituduh melakukan makar pembunuhan terhadap presiden.
“Namun, yang diakui oleh Kartosoewiryo dalam pengadilan hanya ingin mengguligkan pemerintahan, untuk keluar dari Indonesia dan membunuh presiden ia tolak” jelas Fadli.
Pengadilan militer pada 16 Agustus 1962, menjatuhkan vonis mati bagi Kartosoewirjo. Dia akhirnya ditembak mati dan dimakamkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu pada September 1962.
Kejadian menarik sebelum terjadinya eksekusi mati, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memiliki permintaan khusus kepada Mahkamah Darurat Perang (Mahadper).
Sardjono Kartosoewirjo, anak bungsu Kartosoewirjo mengungkapkan, ada empat permintaan ayahnya saat itu.
Pertama, meminta bertemu dengan perwira NII terdekat, namun ditolak. Kedua, meminta eksekusi dilihat oleh perwakilan keluarga, juga ditolak. Ketiga, Kartosoewirjo minta jenazahnya dikembalikan ke keluarga dan dimakamkan di pemakaman keluarga, pun diitolak.
“Namun, permintaan terkhir yang meminta bertemu dengan keluarga dikabulkan,” tutur Sardjono.
Pertemuan Kartosoewirjo dengan keluarga untuk terakhir kalinya, diisi dengan makan siang bersama. Uniknya, dalam makan siang tersebut, menu yang disajikan ialah rendang. Padahal, dalam buku tersebut dikatakan bahwa Dewi Siti Kalsum, istri Kartosoewirjo, tidak terbiasa memakan rendang.
“Karena tidak terbiasa makan rendang, istri Kartosoewirjo merasa kepedasan,” tulis caption foto yang ada dalam buku.
Foto dalam buku menggambarkan Kartosoewirjo sama sekali tidak memakan rendang yang telah disediakan. Ia hanya merokok dan berbincang dengan keluarganya.
Caption foto selanjutnya menuliskan, Kartosoewirjo menikmati kopi bersama istrinya sambil bersenda gurau sejenak.
“Anak-anak Kartosoewirjo akhirnya menghabiskan hidangan yang telah disajikan, daging rendang. Setelah makan bersama, mereka melakukan foto bersama, dan terlihat Kartosoewirjo memberikan pesan terakhir,” tulis Fadli Zon.
Dalam jamuan terakhir itu, selain sang istri, lima dari tujuh anak-anak Kartosoewirjo turut hadir, yakni Tahmid Basuki Rahmat, Dodo Mohammad Darda, Kartika, Komalasari, dan Danti.
Dalam foto bersama keluarga yang terakhir, mata Dewi Siti Kalsum, istri Kartosoewirjo terlihat sembab, seusai suaminya menyampaikan pesan-pesan terakhir sebelum dieksekusi mati.
Melalui koleksi 81 fotonya, Fadli Zon menuturkan sesaat menjelang eksekusi, Kartosoewirjo tampak tenang dan ikhlas tanpa sedikitpun rasa takut.
Keinginan terakhir Sang Imam
“Kematian hanyalah perpindahan ruh, dari yang berjasad kepada yang tidak,” tutur Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pesan terakhir ayahnya.
Menurut Sarjono, Pada detik-detik terakhir, Ketua Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) menyatakan dan menawarkan bahwa ia berhak memenuhi permintaan terakhir Kartosoewiryo sebelum dieksekusi, meskipun permintaan tersebut berupa keinginan pergi keluar negeri atau ke pelosok Amerika asalkan tidak ada unsur persoalan politik, akan Maahadper luluskan.
“Tetapi, bapak hanya meminta ke mereka (Mahadper), Saya ingin segera bertemu Allah, karena saya ingin segera tahu, apakah selama ini kebijakan yang saya jalankan sudah benar dan di terima oleh Allah” jelas Sarjono menirukan perkataan orang tuanya.
Sarjono pun, menaruh kekaguman yang besar kepada ayahandanya tersebut, sebab didetik-detik akhir hidupnya, tetap tegar dan hanya menginginkan suatu hal yang sederhana, segera bertemu dengan Allah. Semoga Allah menerima segala amal ibadah pejuang Islam Imam Kartosoewiryo. Amien.
(bilal/arrahmah.com)