Oleh Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)
(Arrahmah.com) – Penutupan lokalisasi sudah menjadi harga mati. Rabu, 18 Juni 2014 akan menjadi tonggak penutupan tempat pelegalan perzinahan itu. Pemkot Surabaya bersama Ormas telah mendapat dukungan dari Pemprov Jawa Timur. Bahkan pemerintah melalui Kementrian Sosial sudah siap memberikan kompensasi bagi penghuni lokalisasi. Meskipun demikian, ada suara sumbang dari LSM yang mengatasnamakan kepentingan PSK. Mereka mati-matian melakukan aksi dan pengerahan massa. Pemasangan spanduk penolakan atas nama HAM dan rakyat kecil. Padahal mereka bergerak karena kepentingan perut dan uang. Sementara itu, beberapa politisi dan pejabat melontarkan nada sinis, meskipun miskin solusi.
Masyarakat sesungguhnya sudah jenggah dengan aktifitas lokalisasi. Bahkan untuk membedakan rumah mereka dengan lokalisasi, tertulis “Rumah Tangga”. Terlihat aktifitas keseharian begitu kontras. Rumah penyedia lokalisasi terdengar dentuman musik, canda-tawa pengunjung, karaoke, minuman keras, dan prostitusi. Sementara “Rumah Tangga” aktifitas normal seperti biasa. Ada suara mengaji quran, anak-anak bermain, aktifitas di Taman Pendidikan Anak dan Quran, dan lainnya. Fenomena kemaksiatan dan keharaman tampaknya dapat berdampingan dalam sistem sekular. Ada juga yang berniat menjual rumah karena tidak tahan tinggal di lokalisasi. Apa daya, rumahnya hingga kini tidak laku. Sehingga sudah 42 tahunan tinggal dekat lokalisasi, tanpa punya pilihan lain.
Bagi pemerintah—hakikatnya juga seorang muslim—harus menyadari bahwa pembiaran kemaksiatan merupakan dosa jariyah. Bukankah dalam hati mereka juga ingin beroleh surga Allah Swt. Kemaksiatan—termasuk lokalisasi dan lainnya—merupakan bukti pelanggaran pada hukum syariah. Ingatlah kelak bahwa adzab Allah Swt di hari kiamat lebih berat dan pedih. Penguasa dipilih untuk mengurusi dan melindungi ummat dari berbagai marabahaya. Termasuk segala kemaksiatan yang menimbulkan kerusakan hidup. Maka penutupan segala bentuk kemaksiatan menjadi tugas utama penguasa. Mereka dapat memerintahkan pihak keamanan untuk menegakan hukum dengan tegas. Memerintahkan departemen yang ada untuk peduli kepada rakyat dan mengurusinya dengan baik.
Fenomena pro-kontra
Pro dan kontra senantiasa akan ada di setiap kebijakan. Hal ini didasari oleh sudut pandang yang berbeda, serta kepentingan yang berbeda. Untuk menjembatani pro dan kontra, haruslah diambil sudut pandang yang memang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akan, dan menentramkan jiwa. Tanpa itu, akan senantiasa ada ketimpangan dan persoalan baru yang rumit mengurainya.
Alasan pihak yang kontra pada penutupan lokalisasi disandarkan pada pemisahan aturan agama dengan kehidupan (sekular). Pandangan matrealistis dan kebebasan bertindak tertancap di benak mereka. Di sisi lain, lokalisasi dijadikan komoditi ekonomi tanpa memandang halal dan haram. Yang penting untung, semua bisa jalan. Tindakan tersebut juga didukung karena selama ini terjadi pembiaran dan pelegalan dari pemerintah. Mereka juga berlindung di balik HAM atas nama kemanusiaan. Sikap menakuti-nakuti karena pemerintah tidak akan total dalam pemberian kompensasi, kehilangan pekerjaan, dan alasan ekonomi lainnya. Selain itu juga, PSK telah dijerat atas nama hutang kepada mucikari. Sehingga kondisi ini seperti lingkaran setan. PSK butuh biaya kehidupan, kemudian dimanfaatkan segelintir orang meraup keuntungan. Lantas, apakah rela membiarkan martabat wanita dalam lembah kehinaan? Bukankah para wanita seharusnya dimuliakan sebagai pendidik dan pencetak generasi?
Kehidupan lokalisasi juga dimanfaatkan premanisme. Pembentukan kelompok preman untuk menguasai beberapa tempat. Jasa mereka dipakai untuk melindungi kepentingan mucikari. Tak ingin orang lain mengganggu dan mengusik lokalisasi. Preman pun dibayar untuk alasan keamanan. Warga sekitar yang merasa risih pun tak berani mengusik. Apalagi melakukan aksi besar melakukan penutupan. Kehidupan semacam ini ibarat lingkaran setan. Kerusakana, kerakusan, dan kedzaliman senantiasa menghiasi hidup warga. Lantas, di mana hati nurani sebagai manusia yang berbudi?
Berbeda dengan pihak kontra, elemen masyarakat yang menyetujui penutupan Dolly didasari atas dorongan iman dan penyelamatan generasi. Siapa pun harus ingat, keberadaan lokalisasi memang sengaja diatur, dengan alasan agar tidak mengganggu kepentingan umum. Alasan untuk melokalisir agar mereka tidak menularkan penyakit masyarakat. Padahal tindakan demikian tidak menyelesaikan persoalan. Justru timbul masalah baru. Alih-alih pemerintah pun mengatur atas nama peraturan daerah. Yang terjadi malah semakin mengokohkan bisnis haram itu.
Ormas Islam, yang dimotori MUI Jatim juga harus memiliki kesadaran politik. Begitu pula elemen masyarakat lainnya. Dorongan iman untuk menutup tempat maksiat merupakan kewajiban. Islam memang mengharamkan setiap bentuk kemaksiatan dan melindungi umatnya. Karena setiap kemaksiatan pasti menimbulkan fasad(kerusakan). Jika ditelaah secara mendalam, kemaksiatan terbesar saat ini ketika terjadi pengabaian syariah Islam. Syariah Islam mengharamkan segala bentuk transaksi keharaman, termasuk transaksi bisnis lokalisasi. Mengharamkan segala jenis perzinahan dan kemaksiatan lainnya. Selain itu, Islam juga memberikan sanksi bagi pelaku kemaksiatan tersebut. Sehingga syariah Islam betul-betul memanusiakan manusia.
Peristiwa maraknya prostitusi—termasuk kemaksiatan lainnya—dapat dijadikan pelajaran bagi siapa pun. Pertama, sistem aturan yang ada saat ini bersumber pada legislasi buatan manusia. Dewan legislatif memang tidak melarang, hanya sekadar mengatur. Semisal Perda Kota Surabaya No 12 tahun 2003 tentang perizinan di bidang kesehatan. Perda tersebut juga mengatur penyaluran minuman beralkohol. Begitu pula, pada tahun 2014 juga telah digodok perda mengatur minuman alkohol, yang saat ini masih di tangan gubernur untuk persetujuan. Hiburan malam, karaoke, pub, dan lainnya juga mendapatkan izin operasi. Prinsip demokrasi dalam pembuatan aturan memang memisahkan agama dari kehidupan (sekular). Demokrasi memang menjamin kebebasan individu, asal tidak mengganggu lainnya. Akhirnya demokrasi juga merusak tatanan kehidupan. Jadi, ketika aturan tidak berlandaskan syariah, pasti menimbulkan persoalan. Bukankah manusia makhluk yang lemah dan terbatas?
Kedua, bangunan sistem ekonomi yang ada saat ini bersifat matrealis. Berkarakter kapitalis-liberal. Standar halal-haram dikesampingkan. Selama ada permintaan pasti akan ada pasokan. Semisal prostitusi. Selama ada orang yang mencari kepuasan syahwat, maka selama itu pula ada penyedia jasa. Dolly sebagaimana sejarahnya ada untuk melayani kepentingan penjajah Belanda di Indonesia. Sudah menjadi karakter bangsa Barat, ketika mereka jauh dari anak-istri. Maka untuk memenuhi kebutuhan seksualnya disalurkan ke prostitusi. Budaya seperti ini tampaknya dilestarikan di negeri ini atas nama kepentingan ekonomi. Demi meraup pajak, tertribusi, dan perputaran ekonomi rakyat kecil. Selama ekonomi kapitalis-liberal masih bercokol. Manusia tidak akan pernah berfikir untuk mencari rejeki yang halal nan berkah.
Oleh karena itu, ormas Islam dan elemen masyrakat lainnya, perjuangan tidak berhenti hingga Dolly ditutup. Ada pekerjaan rumah, yaitu mengganti sistem aturan Demokrasi yang membelenggu dan merusak dan mengganti sistem ekonomi kapitalis-liberal menuju sistem Islam. Pergantian sistem jahiliyah (demokrasi dan kapitalis) menuju kepada Islam adalah langkah nyata untuk menghentikan segala bentuk kemaksiatan. Selama cara berfikir hanya parsial dalam menyelesaikan masalah. Maka masalah itu tidak akan pernah tuntas. Mengingat saling keterkaitan satu dengan lainnya. Sehingga momentum penutupan Dolly, dapat dijadikan titik tolak perjuangan menuju kehidupan Islam. Bukankah cita-cita hidup dalam aturan syariah adalah keinginan semua? Bukankah syariah Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam? Untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam hidup dibutuhkan Khilafah sebagai institusi penerapnya. Maka kenapa mesti ragu dengan konsep syariah dan Khialafah?
Setelah prostisusi ditutup
Ada langkah praktis dan taktis yang dapat dilakukan setelah prostitusi ditutup. Ada juga ranah yang menjadi kewajiban pemerintah dan ranah ormas dan elemen masyarakat. Mengingat ini merupakan terkait dengan pengaturan urusan rakyat, pemerintah harus berada di garda terdepan. Sebaliknya, ormas dan elemen masyarakat dapat mendorong dan melakukan pengawalan.
Langkah taktis pemerintah dilakukan dengan, pertama, menerbitkan aturan tegas untuk penutupan segala bentuk prostitusi dan melarang kemaksiatan lainnya. Kedua, memberikan sanksi tegas bagi pelaku kemaksiatan. Ketiga, selain memberi kompensasi dan pelatihan, pemerintah juga harus meberikan pendidikan untuk merubah paradigma mereka. Pemerintah dapat menggandeng ormas dan elemen masyarakat untuk menjelaskan konsep rejeki. Setiap manusia sudah dijatah rejeki oleh Allah Swt. Maka cara mendapatkan rejeki dengan yang halal tanpa harus menggadaikan kehormatan diri. Carilah rejeki yang halal dan berkah. Keempat, tidak cukup menjadikan lokalisasi beralih fungsi menjadi taman dan PKL. Pemerintah melalui pihak keamanan senantiasa memantau untuk mencegah terjadinya motif baru kemaksiatan. Jika diketemukan ada pelanggaran. Maka dihukum seberat-beratanya hingga menjadikan efek jerah. Kelima, untuk menjamin keberlangsungan hidup. Pemerintah dapat meminta bantuan pengusaha untuk memperkerjakan mantan pelaku prostitusi. Bukankah ini hal yang mudah dengan mengajak pengusaha juga peduli mengentaskan manusia dari lembah kemaksiatan.
Langkah ormas dan elemen masyarakat dapat dilakukan dengan memberikan edukasi pada mantan pelaku protitusi. Masyarakat juga harus diedukasi secara politik. Agar mereka senantiasa mengawasi setiap aturan yang tidak sesuai dengan syara’. Karena hakikatnya, politik Islam sebagai pengaturan urusan manusia dengan syariah. Tidak hanya itu, warga sekitar juga harus diedukasi agar mereka juga peduli pada aktifitas amar ma’ruf nahi munkar. Masyarakat diedukasi dengan islam mulai dari penguatan aqidah, dakwah, hingga pemahaman syariah dalam mengatur kehidupan di segala aspek. Sehingga selain kebutuhan aqliyah (pemikiran) juga terpenuhi kebutuhan nafsiyah(tingkah laku). Terlebih lagi jika mereka adalah seorang muslim, maka akan terbentuk kepribadian Islam. Masyarakat juga harus disadarkan bahwa aturan kehidupan ini (kapitalis-sekular) yang telah menjadikan mereka sebagai korban dan jatuh pada kemaksiatan. Maka tidak ada pilihan lagi untuk segera hijrah kepada sistem Islam. inilah esensei dari kebutuhan umat pada Khilafah yang akan menjaga kehormatan manusia. Khilafah akan mencegah segala bentuk pemikiran yang melenceng dari Islam. Menjaga aqidah ummat dan memuliakan mereka dengan syariah. Khilafah juga akan menerapkan hukum huddud dan jinayah. Serta mewujudkan ekonomi Islam dan pendidikan yang mencerdaskan ummat.
*Wiwit cilik diwulang ngaji, noto laku noto ati. Ayo rek tutup lokalisasi Dolly, ben Suroboyo dadi kutho sing diberkahi. * Mlaku-mlaku nang pasar Turi, Ojo lali tuku semanggi. Ayo rek tutup lokalisasi Dolly, Syariah lan Khilafah dadi solusi.*
(azm/arrahmah.com)