Oleh: Al-Ustadz Muhammad Thalib
(Arrahmah.com) – Di antara keunggulan umat Islam dibandingkan dengan umat agama lain, adalah cepat marah apabila menyaksikan kemungkaran, karena umat Islam berkeyakinan bahwa segala bentuk kemungkaran harus dibasmi.
Abu Sa’id al-Khudriy ra. ber kata, aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: “Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah merubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu tingkatan iman paling lemah.” (HR Muslim)
Berbeda dengan orang kafir, kemaksiatan dan kemungkaran merupakan gaya hidup mereka. Sayangnya, kemarahan umat Islam tidak produktif. Akan tetapi umat Islam lemah dalam melakukan perlawanan, baik perlawanan secara hukum, politik, maupun pisik. Akibatnya, musuh Islam seringkali memancing kemarahan umat Islam untuk dijebak dan dilemahkan, dengan sengaja melakukan tindakan yang bertentangan konstitusi negara maupun kitab suci Al-Qur’an.
Misalnya, kerusuhan yang terjadi di Tanjungbalai, Sumatera Utara pada Jumat (29/7/2016). Terjadi aksi kerusuhan warga dalam bentuk pembakaran rumah ibadah umat Buddha yakni sejumlah Vihara dan Klenteng.
Kerusuhan itu dipicu oleh prilaku arogan etnis minoritas China bernama Herlina dan suaminya. Ia menunjukkan sikap intoleran serta kebencian dengan memprotes kumandang suara adzan di Masjid Al-Maksum, dekat rumahnya di Jalan Karya, Kota Tanjungbalai. Protes dilakukan berulangkali, karena suara adzan dianggap berisik dan mengganggu tidur mereka.
Bagi umat Islam, protes ini adalah penghinaan dan penistaan agama yang hukumannya sudah diatur dalam UU. Suara adzan berkumandang untuk memanggil umat Islam melaksanakan ibadah shalat, bukan suara nyanyian untuk maksiat seperti yang biasa dilakukan orang-orang kafir.
Oleh karena itu, terdapat jutaan umat Islam yang siap tempur melawan penistaan ini, karena musuhnya nyata ada. Jika mereka terus menyuarakan protesnya yang intoleran itu, maka bukan tidak mungkin para pemrotes itu akan diburu oleh umat Islam, seperti memburu tikus di sawah.
Namun disinilah umat Islam kerap terjebak dan dijebak, bisa karena terpancing emosinya sehingan meletup dalam bentuk kemarahan, atau bisa juga dan ini yang sering terjadi, sikap diskriminatif aparat keamanan yang lamban bertindak. Dalam kasus Tanjungbalai, polisi menangkap mereka yang disebut provokator dan pelaku kerusuhan, tapi sumber masalah utama, yaitu Herlina yang menista agama, dibiarkan berkeliaran.
Menghadapi diskriminasi polisi, umat Islam lagi-lagi hanya pandai mengumpulkan massa, tapi lemah dalam membangun jaringan politik dan kekuasaan.
Manipulasi agama
Menghadapi musuh nyata, berupa Komunisme, Liberalisme, Syiah, dan para penista agama, umat Islam tidak perlu diragukan kesiapan dan keberaniannya. Hal ini sudah teruji dalam sejarah. Namun, bila musuh Islam memanipulasi Al-Qur’an dan Sunah Nabi Saw untuk menyesatkan umat Islam, disinilah problem besar yang tidak banyak orang mampu mengatasinya. Manipulasi agama oleh tokoh-tokoh agama, jauh lebih berbahaya dan lebih sulit melawannya.
Contoh, opini sesat yang dikembangkan oleh komunitas Salafy, yang menyatakan bahwa, “wajib menaati penguasa selama mereka masih Muslim, walaupun mereka berbuat zhalim.”
Mereka mengutip hadits yang artinya, “Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847).
Mereka memahami hadits secara salah dan kontroversial. Menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at termasuk maksiat. Dan haram menaati penguasa dalam hal maksiat kepada Allah Swt.
Bagaimana komunitas Salafi memahami hadits, ‘haram taat pada makhluk yang maksiat pada Allah?’ Kedzaliman adalah maksiat pada Allah, dan Allah mengancam orang dzalim masuk neraka. Bagaimana logikanya, orang yang terancam masuk neraka malah diperintahkan orang mukmin untuk menaatinya?
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yg terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia adalah seorang syahid.” [HR. Ibnu Majah No.2570].
Hadits ini menyuruh orang Islam supaya berani melawan orang yang berbuat dzalim terhadap hartanya, dan bila terbunuh dalam perlawanan itu dapat imbalan mati syahid.
Ada lagi contoh lain, opini menyesatkan yang membolehkan memilih orang kafir menjadi pemimpin di tengah-tengah mayoritas Muslim. Terutama dikaitkan dengan isu SARA di Pilgub DKI 2017 dan daerah lainnya di Indonesia.
Dalil Al-Qur’an yang dimanipulasi, antara lain adalah al-Qur’an surat al-Māʾidah ayat 51: “Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu”. Dan surat an-Nisāʾ ayat 144, “Janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin”.
Menurut para manipulator ini, dua ayat ini telah diterjemahkan keliru oleh tim ahli Departemen Agama dan disalahpahami karena konteks asbabun nuzul dan penjelasan tafsir klasik, semisal aṭ-Ṭabarī dan Ibn Katsīr, tidak menunjukkan kata “awliyāʾ” dalam ayat di atas bermakna pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi.
“Yang dilarang itu bersekutu dan beraliansi dengan orang kafir, bukan mengangkat mereka sebagai pemimpin,” kata mereka.
Begitulah para manipulator agama seringkali menggiring opini umat untuk maksud tertentu, dengan cara manipulasi ayat Al-Qur’an.
Padahal kata awliya’ dalam bahasa Arab memiliki banyak makna, tidak hanya teman, atau sekutu seperti yang mereka katakan. Awliya’ bisa bermakna teman dekat, orang yang disayangi, orang yang mengurus tanggungjawab. Akan tetapi, untuk mendapatkan makna yang tepat sesuai dengan uslub atau gaya bahasa Arab, istilah tersebut harus dikembalikan pada pemahaman orang Arab. Sekalipun makna yang bermacam-macam dari kata awliya’ dibenarkan dalam kamus bahasa, tapi penerapannya harus benar-benar sesuai dengan uslub Arab itu sendiri. Utamanya, pemaknaan kata awliya’ dalam ayat Al-Qur’an, bukan hanya arti kamus, tetapi yang prinsip adalah praktik Rasulullah Saw dan para shahabat.
Jika mengikuti omongan para manipulator, bahwa awliya’ dalam ayat tadi, bukan berarti pemimpin melainkan sekutu atau teman dekat. Artinya, orang Islam dilarang melakukan persekutuan baik dengan kafir ahlul kitab maupun yang lain, tapi mengangkatnya sebagai pemimpin dibolehkan. Maka, hal ini jelas bertentangan dengan praktik Rasulullah Saw, karena terbukti beliau pernah melakukan syirkah (persekutuan) dengan kaum kafir Yahudi di Khaibar.
Setelah kaum kafir Yahudi Khaibar menyerah pada Rasulullah, tanah Khaibar yang semula dikuasai kafir Yahudi, diserahkan menjadi milik Nabi Saw dan Negara Islam Madinah. Setelah mereka serahkan sebagai bentuk fa’i, lalu Rasulullah menyuruh seorang Yahudi penduduk Khaibar menggarapnya dengan cara bagi hasil, yang disebut dengan syirkatul amwal wal abdan (kerjasama pemilik modal dengan pekerja).
Ini fakta sejarah, yang mendustakan perkataan, “boleh memilih pemimpin kafir, karena yang dilarang menjadikan mereka sebagai teman atau sekutu”.
Sebaliknya, sejak zaman Nabi Saw hingga jatuhnya kekhalifahan Utsmani, umat Islam tidak pernah mengangkat orang kafir sebagai awliya’ (pemimpin). Allah Swt. melarang keras orang-orang beriman memilih orang kafir sebagai pemimpin.
“Orang-orang mukmin tidak boleh mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin (awliya’) untuk mengurus orang mukmin. Orang mukmin yang melanggar larangan ini, dia tidak akan mendapatkan pertolongan dari Allah sedikit pun…” (Qs. Ali Imran [3]:28).
Oleh karena itu, jika ada manipulator agama yang mendorong umat Islam untuk mengangkat orang kafir dan meninggalkan orang Islam jadi pemimpin. Itu sama artinya dengan menganggap tidak ada orang Islam di Indonesia. Apakah umat Islam mau dinihilkan eksistensinya di negeri ini?
Jika ucapan para pembohong ini dipakai bahwa, “boleh menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, karena yang dilarang adalah menjadikan mereka sebagai teman atau sekutu”. Maka mafhum mukhalafahnya, boleh saja seseorang memaki orangtuanya dengan kata “anjing!” karena di dalam al-Qur’an (17:23) yang dilarang itu melontarkan kata “ah!” Begitukah yang mereka inginkan?
Padahal maksudnya, jika berkata-kata ‘Ah’ saja dilarang, apatah lagi berkata ‘anjing’ dan sejenisnya. Begitu pula kepada orang-orang kafir, kalau bersekutu saja dilarang, maka lebih terlarang lagi mengangkat mereka jadi pemimpin. Kalau beraliansi saja sudah dilarang, apatah lagi memberikan kekuasaan kepada mereka. Para manipulator agama, memang corong orang-orang kafir untuk merusak pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an.
Urusan pemimpin terkait dengan tanggung jawab Negara. Jika kepemimpinan Negara berada dalam kendali orang kafir, atau menyusupkan orang Islam yang bermental kafir untuk mengurus kepentingan rakyat yang mayoritas Muslim, lalu untuk apa jadi orang Islam? Hal itu sama saja dengan menyerahkan leher untuk disembelih orang-orang kafir.
Para manipulator agama ini tidak menyadari, bahwa mereka telah menjadi bagian dari propaganda orang kafir untuk menguasai dan menjajah orang-orang Islam. Karena orang-orang kafir selamanya tidak menghendaki kepemimpinan itu dikendalikan oleh orang-orang beriman. Orang kafir justru menghendaki, agar kepemimpinan di dunia ini jangan sampai jatuh pada tangan orang beriman, tapi didominasi pemimpin kufar.
(*/arrahmah.com)