Asmahan Mansour harus menelan kekecewaan. Bocah perempuan yang kerap disapa Azzy itu dilarang memperkuat timnya, Nepean Hotspurs Selects, saat bertanding dalam turnamen sepak bola pekan lalu di Quebec, Kanada. Alasannya, Azzy menggunakan jilbab. Federasi Sepak Bola Quebec (QSF) menganggap penutup kepala perempuan muslim tersebut bisa membahayakan pemakainya.
Kasus yang menimpa Azzy berlangsung Minggu pekan lalu. Hanya lima menit sebelum pertandingan dimulai, seorang wasit menghampiri pelatih Tim Napean dan meminta Azzy diganti.
Alasannya, jilbab Azzy melanggar peraturan FIFA yang menyatakan tidak boleh ada pelindung kepala saat bertanding. Perintah tersebut terkesan dipaksakan. Sebab, saat itu Azzy tidak terdaftar sebagai pemain inti. Karena itu, Tim Napean dan empat tim lain langsung memboikot.
“Mansour dan perempuan muslim lainnya tak boleh berlaga dalam pertandingan sepak bola di Quebec selama mereka tak mau melepaskan jilbab. Kecuali, FIFA yang mengatur regulasi sepak bola dunia mau melonggarkan aturan,” tegas Brigitte Frot, direktur eksekutif QSF.
Sebelumnya, Perdana Menteri Quebec Jean Charest mendukung keputusan tersebut. Dalihnya, pakaian muslim yang dikenakan Azzy pernah terbukti mengganggu gerakannya.
Larangan tersebut mendapat tentangan dari banyak pihak karena dianggap tidak masuk akal. “Dia hanyalah anak berusia 11 tahun. Yang dia inginkan hanyalah bermain bola. Tidak mungkin dia menyembunyikan bom dalam jilbabnya kan,” kecam Wajid Khan, anggota parlemen yang juga menjadi penasihat Perdana Menteri Kanada Stephen Harper, seperti dikutip harian Kanada Ottawa Citizen kemarin.
Maria Mansour, ibunda Azzy, yakin bahwa kasus yang menimpa putrinya itu berbau rasisme. “Saya yakin itu. Sepak bola di mana pun, Eropa atau Kanada, sama saja. Tidak adil, melarang gadis muslim yang bangga dengan agamanya bermain sepak bola. Olahraga yang sangat dicintainya. Saya benar-benar tidak tahan melihat putri saya dipermalukan di depan orang banyak,” keluh Maria.
Kasus-kasus pelarangan jilbab di sebuah turnamen bukan kali ini saja. Tiga taun lalu, 2004, sebuah turnamen sepak bola perempuan di Melbourne, Australia, nyaris batal karena salah seorang pemainnya menolak melepas jilbabnya. Affifa Saad, nama pemain itu, menolak melepas meski wasit memaksanya.
Sang wasit melarang Affifah karena alergi dengan jilbab. “Dia menangis ketika larangan itu terjadi,” ujar pelatihnya, Alex Alexopoulos pada media setempat.
Meski akhirnya Afifah dizinkan setelah berkonsultasi dengan Federasi Sepak Bola Victoria, namun, gambaran ini setidaknya menunjukkan banyak banyak orang betapa sikap rasialis terhadak para Muslimah gara-gara jilbab masih sering terjadi. Bahkan itu dilakukan di negeri yang kerap mengkampanyekan kebebasan dan demokrasi. [ap/afp/jp/hid/cha/arm]