Oleh : Mariyatul Qibtiyah, S.Pd
Akademi Menulis Kreatif
(Arrahmah.com) – Setiap tanggal 22 Desember, masyarakat Indonesia memperingati Hari Ibu. Peringatan Hari Ibu di Indonesia diambil dari tanggal pelaksanaan kongres perempuan yang pertama kali diadakan di Indonesia.
Kongres itu digelar di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember tahun 1928. Tujuan dari kongres ini adalah menyatukan pikiran dan semangat juang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan.
Kongres ini berhasil membentuk organisasi wanita dengan nama PPPI (Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia). Pada tahun 1946, PPPI berganti nama menjadi KOWANI.
Penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu di Indonesia dilakukan pada kongres wanita ke-3 yang diadakan di Bandung pada tanggal 22 Desember 1938. Pemerintah memperkuat penetapan itu melalui Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1959 yang menyatakan Hari Ibu sebagai Hari Nasional pada tanggal 16 Desember tahun 1959.
Meskipun Hari Ibu senantiasa diperingati setiap tahunnya, nasib para ibu di Indonesia belum membaik. Masih banyak ibu yang merasakan penderitaan. Mereka harus bekerja dan meninggalkan anak-anak mereka untuk membantu ekonomi keluarga. Mereka terpaksa meninggalkan buah hatinya bersama pengasuh atau kakek nenek mereka.
Meskipun para perempuan sudah turut menyumbangkan tenaganya untuk mengumpulkan rupiah, faktanya masih banyak keluarga miskin di Indonesia. Terlebih, pada masa pandemi ini.
Hingga Maret 2020, jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 1,63 juta menjadi 26,42 juta orang. Naiknya angka kemiskinan ini akibat sulitnya masyarakat mencari pekerjaan. Banyak perusahaan yang merumahkan karyawan mereka. Beratnya tekanan ekonomi membuat kaum perempuan, terutama para ibu yang mengalami stres dan depresi. Akibatnya, mereka melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran.
Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Desa Banua Sibohou, Kecamatan Namohalu Esiwa, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara. Seorang ibu yang diduga stres karena tekanan ekonomi, tega membunuh ketiga anak kandungnya. Pembunuhan itu dilakukan di rumahnya, saat suami dan anggota keluarga lainnya sedang menggunakan hak pilihnya dalam pilkada. (viva.co.id, 13/12/2020)
Fakta seperti ini tidak sekali ini saja terjadi. Sebulan sebelumnya, seorang ibu di Kabupaten Hulu Sungai Tengah juga telah membunuh dua orang anaknya yang berusia belasan tahun. Menurut warga, si ibu yang melakukan hal itu dalam kondisi stres berat sejak beberapa bulan yang lalu dan telah ditinggal pergi oleh suaminya untuk selamanya.
Hal ini menunjukkan, betapa sistem kehidupan yang diterapkan saat ini tidak mampu menjamin kebutuhan hidup bagi warga negaranya. Tekanan ekonomi telah membuat sebagian ibu kehilangan naluri keibuannya. Sikap lemah lembut dan penyayang seolah telah hilang begitu saja.
Penerapan sistem kapitalis memang telah menyebabkan tidak meratanya distribusi kekayaan. Pada satu sisi, ada mereka yang mendapatkan bagian kekayaan yang sangat besar. Sementara, di sisi lain banyak yang terpaksa rela menerima bagian yang sangat kecil. Akibatnya, kesejahteraan yang mereka impikan hanya sebatas angan yang tidak pernah terwujud. Hal ini terjadi karena dalam sistem kapitalis, kesejahteraan tidak diukur dari orang per orang. Kesejahteraan hanya dilihat berdasarkan pendapatan rata-rata per kapita. Padahal, pendapatan per kapita diperoleh dari jumlah kekayaan total penduduk dibagi jumlah penduduk. Artinya, meskipun hanya 10 persen penduduk yang memiliki kekayaan, sedangkan 90 persen sisanya tidak memiliki, angka pendapatan per kapitanya tetap tinggi.
Hal ini berbeda dengan Islam. Islam memperhatikan kesejahteraan per individu warga negaranya. Dalam Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan terpenuhinya kebutuhan primer berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan jaminan keamanan.
Di samping itu, Islam telah membebankan kewajiban mencari nafkah hanya ada di pundak laki-laki dewasa yang mampu. Sedangkan perempuan, dalam kondisi apa pun tidak wajib mencari nafkah. Maka, yang berkewajiban memberi nafkah kepada perempuan adalah ayah, suami, saudara laki-laki, atau anak laki-lakinya. Jika mereka semua tidak mampu, negaralah yang berkewajiban untuk menanggung kebutuhan kaum perempuan. Allah Swt. berfirman,
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik.”.[QS. al-Baqarah [2]: 233]
Demikianlah keindahan pengaturan Islam dalam menjamin kesejahteraan bagi warga negaranya, termasuk kaum perempuan. Hal inilah yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para penggantinya. Misalnya, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat terkenal. Saat itu, kesejahteraan dirasakan oleh seluruh warga negara. Hingga tidak ada lagi yang berhak mendapatkan zakat.
Mereka melakukan hal itu karena memahami kewajiban sebagai penguasa yang harus melayani rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Maka, mereka berusaha untuk melaksanakan kewajiban itu sebaik-baiknya. Sebab, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.
Sekarang, pilihan ada pada kita. Apakah kita akan tetap bertahan dengan sistem yang telah nyata menyengsarakan ini, ataukah kembali menerapkan Islam secara kafah? Wallaahu a’lam bishshawaab.
(*/arrahmah.com)