IDLIB (Arrahmah.com) – Pertempuran sengit selama dua hari antara pasukan rezim Nushairiyah pimpinan Bashar Asad dan faksi-faksi pejuang Suriah di benteng utama oposisi telah menewaskan hampir 70 orang di kedua sisi, sebuah kelompok pemantau perang mengatakan pada Ahad (1/12/2019).
Pertempuran di provinsi barat laut Idlib adalah yang paling sengit di sana sejak perjanjian gencatan senjata yang ditengahi Rusia diberlakukan pada akhir Agustus, ujar kepala Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), seperti dilansir Zaman Alwasl.
Pada Ahad pagi, awan asap membubung di atas wilayah Maaret Al-Nu’man ketika pesawat tempur menghantam wilayah Mujahidin dan sekutunya yang baru-baru ini mereka rebut dari pasukan rezim, kata seorang koresponden AFP.
Warga desa-desa yang terkena dampak melarikan diri ke utara untuk menghindari pertempuran, menambah puluhan ribu pengungsi sejak eskalasi dimulai awal tahun ini.
SOHR menyebutkan korban tewas dari pertempuran sebanyak 69 pejuang sejak pertempuran dimulai hari sebelumnya.
Setidaknya 36 pasukan rezim termasuk di antara mereka yang tewas. Dua tentara Rusia, termasuk perwira, tewas dalam bentrokan di desa Al-Khyara dekat kota Sanjar, menurut sumber Zaman Alwasl.
Sebuah helikopter Rusia memindahkan pasukan yang terbunuh ke pangkalan Hmeimim.
Disebutkan bahwa serangan yang dipimpin oleh Hai’ah Tahrir Syam (HTS) pada beberapa posisi rezim beberapa waktu lalu, memicu pertempuran.
Empat desa juga berhasil direbut oleh Mujahidin dari pasukan rezim dan milisi Syiah sekutunya, sebuah kemajuan seperti itu terjadi menyusul pemboman yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Damaskus dan Moskow di daerah kantong barat laut.
Front Pembebasan Nasional (NLF) yang didukung Turki telah menyergap pasukan rezim di dekat kota Tal Dam di sebelah timur kota Idlib, menewaskan 6 tentara sementara 20 tentara lainnya tewas di dekat kota Sanjar.
Semalam, tentara rezim yang didukung oleh pesawat tempur Rusia meluncurkan serangan balasan untuk merebut kembali wilayah yang telah hilang dalam pertempuran, menurut kelompok pemantau perang yang berbasis di Inggris. (haninmazaya/arrahmah.com)