BAGHDAD (Arrahmah.id) — Hampir 12.000 pejabat Irak, termasuk 54 menteri, terlibat dalam transaksi korupsi tahun lalu, kata komisi integritas negara itu pada Rabu (16/2/2022).
Badan antikorupsi Irak mengumumkan sekitar 11.605 pejabat diselidiki dan 15.290 dakwaan diajukan terhadap mereka. Tingkat hukuman untuk korupsi oleh komisi biasanya sangat rendah meskipun jumlah investigasi yang tinggi.
Laporan komisi mengatakan, meskipun banyak orang dinyatakan bersalah oleh komisi, hanya 632 orang yang dihukum. Selain itu, banyak individu diselidiki secara in absentia.
“Di antara para terdakwa adalah 54 menteri yang menghadapi 101 dakwaan, di samping 422 terdakwa pangkat khusus dan manajer umum yang menghadapi 712 dakwaan korupsi,” kata sebuah laporan oleh Kantor Berita Irak, seperti dikutip dari The National News (17/2).
Jajaran non-kementerian mengacu pada penunjukan khusus dalam kementerian, yang sering diberikan atas dasar kesetiaan kepada partai politik.
Irak memiliki 22 posisi kabinet, tetapi beberapa menteri masih menghadapi tuduhan meskipun sedang tidak menjabat. Dalam beberapa kasus, menteri yang telah divonis dijatuhi hukuman atas tuduhan yang terjadi bertahun-tahun lalu.
Pada 14 Februari, mantan Menteri Konstruksi, Perumahan, Kota, dan Pekerjaan Umum Riad Al Gharib dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena dugaan penyalahgunaan dana publik selama masa jabatan pertama Nouri Al Maliki, pada tahun 2007.
Laporan terbaru mengatakan bahwa dari 12.000 pejabat, 632 dihukum, di antaranya seorang menteri, menurut laporan itu.
“Empat puluh dua penilaian terhadap 32 orang berpangkat tinggi di pemerintahan termasuk mereka yang merupakan manajer umum juga dibuat,” bunyi laporan itu.
Dari mereka yang dihukum, 224 pejabat diadili tanpa kehadiran mereka. Selain itu, komisi telah membuka 116 kasus terhadap pejabat yang dihukum di luar negeri, termasuk enam menteri.
Badan korupsi juga telah mengatur kasus-kasus untuk “memulihkan uang yang diselundupkan terutama dari para menteri dan orang-orang berpangkat tinggi,” kata laporan itu.
Meskipun surat perintah penangkapan telah dikeluarkan untuk menteri dan pejabat senior di masa lalu, banyak politisi berhasil menghindari keadilan karena afiliasi mereka dengan kelompok politik yang kuat dan mampu memberikan tekanan pada peradilan.
Beberapa politisi paling kuat di Irak telah menjadikan pemberantasan korupsi sebagai tujuan mereka, tetapi hingga saat ini penuntutan yang berhasil sebagian besar dilakukan terhadap pejabat berpangkat rendah.
Korupsi merajalela di Irak dan di mana para menteri ditangkap atau diberhentikan dari jabatannya. Mereka sering mengatakan tuduhan terhadap mereka bermotif politik.
Mei lalu, Presiden Irak Barham Salih mengatakan hampir 150 miliar dolar AS diselundupkan ke luar negeri dari transaksi korupsi sejak 2003.
Diketahui, sejak invasi pimpinan AS yang menggulingkan kepimpinan Saddam Hussein, penyalahgunaan dana publik telah menjadi bagian dari budaya politik di negara yang dilanda perang itu.
Perdana Menteri Mustafa Al Kadhimi meluncurkan komite anti-korupsi segera setelah ia menjabat, mengikuti inisiatif serupa oleh mantan perdana menteri Adil Abdul Mahdi dan mantan perdana menteri Haider Al Abadi.
Bulan lalu, mantan kepala komisi investasi Baghdad dijatuhi hukuman empat tahun penjara karena korupsi oleh pengadilan Irak. Shakir Al Zamili, yang sedang diselidiki dalam enam kasus korupsi lainnya, dijatuhi hukuman pada Minggu malam.
“Pengadilan Pidana di Karkh menghukum terdakwa, Shakir Al Zamili, empat tahun penjara dan denda 10 juta dinar Irak,” ungkap pengadilan. Hukuman itu dijatuhkan berdasarkan temuan komisi integritas.
Untuk diketahui, Irak menempati urutan 160 dari 180 negara dalam indeks persepsi korupsi Transparency International untuk tahun 2020. Survei ini didasarkan pada wawancara dengan tokoh-tokoh dalam komunitas bisnis serta para ahli dan konsultan.
Sementara, Utusan PBB untuk Irak, Jeanine Hennis-Plasschaert, tahun lalu menekankan bagaimana korupsi telah mengambil alih lembaga-lembaga negara Irak dan kebutuhan untuk mengatasinya.
“Korupsi tetap mewabah, dan biaya ekonominya tak terhitung karena terus mencuri sumber daya yang sangat dibutuhkan dari warga Irak sehari-hari, mengikis kepercayaan investor,” terangnya dalam pidato di Dewan Keamanan PBB. (hanoum/arrahmah.id)