TEPI BARAT (Arrahmah.id) – Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) menegaskan pada Kamis (6/2/2025) bahwa rakyat Palestina di Tepi Barat yang diduduki tidak akan melepaskan sejengkal pun tanah mereka, tidak peduli pengorbanan atau biaya yang harus dibayar.
Pernyataan ini disampaikan oleh Haroun Nasser al-Din, anggota biro politik Hamas, sebagai tanggapan atas pendirian permukiman baru oleh para pemukim ‘Israel’ di blok “Gush Etzion” dekat Yerusalem di selatan Tepi Barat yang diduduki.
Dalam pernyataan yang diterbitkan oleh Hamas di Telegram, Nasser al-Din mengatakan, “Pendirian permukiman baru oleh pendudukan di blok Gush Etzion, yang pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir, adalah bagian dari perlombaan pendudukan melawan waktu untuk mempercepat pelaksanaan rencana aneksasi (untuk Tepi Barat) dan pengusiran (rakyat Palestina dari Tepi Barat dan Jalur Gaza).”
Ia menekankan bahwa rencana ini “akan gagal karena keteguhan dan perlawanan rakyat kami,” dan menyatakan keyakinannya bahwa “rakyat Tepi Barat tidak akan melepaskan sejengkal pun tanah mereka dan tidak akan menyerah pada keinginan pendudukan untuk mengusir mereka, tidak peduli pengorbanan atau biaya yang harus dibayar.”
Nasser al-Din menekankan “pentingnya keteguhan rakyat kami di Tepi Barat dan Yerusalem serta penolakan mereka untuk tunduk pada ancaman pendudukan ‘Israel’ dan upayanya untuk mengusir penduduk.”
Pemimpin Hamas itu menambahkan bahwa “keteguhan rakyat kami adalah katup pengaman untuk menggagalkan ambisi pendudukan untuk mengosongkan Tepi Barat demi proyek-proyek permukiman lebih lanjut.”
Ia menjelaskan bahwa perjuangan Palestina “sedang melalui fase kritis dan sensitif, terutama dengan meningkatnya ambisi pendudukan untuk merebut lebih banyak tanah Tepi Barat dan dukungan yang diberikan oleh Amerika Serikat serta khayalan yang dipromosikan oleh (Presiden AS Donald) Trump kepada publik Zionis.”
Selasa lalu (28/1), dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Trump mengungkapkan niat negaranya untuk merebut Gaza setelah mengusir warga Palestina ke negara lain. Ia mencatat bahwa pemerintahannya “akan segera mengeluarkan keputusan” tentang apakah akan mengakui kedaulatan ‘Israel’ atas Tepi Barat atau tidak.
Dalam beberapa bulan terakhir, suara-suara di dalam pemerintah ‘Israel’, termasuk Perdana Menteri Netanyahu, secara terbuka berbicara tentang niat Tel Aviv untuk mencaplok Tepi Barat, yang telah diduduki sejak 1967.
Dalam pernyataan yang sama, Nasser al-Din menyatakan bahwa “apa yang dihadapi Tepi Barat, termasuk Yerusalem yang diduduki, memerlukan mobilisasi semua komponen bangsa dan rakyat kami untuk menghadapi semua upaya dan rencana pendudukan untuk melikuidasi perjuangan kami dan memaksakan fakta baru di lapangan demi kepentingan para pemukim.”
Ia menekankan bahwa “tanggung jawab semakin besar pada semua pihak, baik secara internasional maupun lokal, untuk menghadapi praktik ekstrem pemerintah pendudukan dan rencana kolonial ekspansionisnya, yang tidak hanya menargetkan wilayah Palestina tetapi juga membahayakan seluruh kawasan.”
Ekspansi Permukiman
Pada Kamis (6/2), 15 keluarga pemukim menyelesaikan pembangunan sekitar 20 rumah di pemukiman Haltz dekat Yerusalem, yang merupakan bagian dari lima permukiman di blok Gush Etzion yang disetujui pemerintah ‘Israel’ untuk dilegalkan pada Juni tahun lalu.
Menurut surat kabar ‘Israel’ Yedioth Ahronoth, permukiman Haltz menghubungkan Yerusalem dengan blok permukiman Gush Etzion dekat kota Bethlehem di selatan Tepi Barat.
Surat kabar itu mencatat bahwa beberapa keluarga sudah mulai menempati rumah-rumah baru di permukiman Haltz, yang diselesaikan dalam beberapa hari.
Surat kabar itu menambahkan bahwa keputusan untuk melegalkan permukiman ini datang sebagai tanggapan atas langkah-langkah Otoritas Palestina di forum internasional dan pengakuan terhadap Negara Palestina oleh beberapa negara.
PBB menganggap aktivitas permukiman di wilayah pendudukan sebagai ilegal dan telah menyerukan selama beberapa dekade untuk menghentikannya, meskipun tanpa hasil, serta memperingatkan bahwa hal itu merusak peluang penyelesaian konflik berdasarkan solusi dua negara (Palestina dan ‘Israel’).
Serangan pemukim di Tepi Barat meningkat selama dan setelah perang genosida Israel di Gaza, yang berlangsung dari 7 Oktober 2023 hingga 19 Januari 2025. Pada 2024, para pemukim mencatat 2.971 pelanggaran terhadap warga Palestina dan properti mereka di Tepi Barat, yang mengakibatkan syahidnya 10 warga Palestina dan penghancuran lebih dari 14.000 pohon, menurut data dari Komisi Perlawanan Tembok dan Pemukiman Otoritas Palestina.
Menurut komisi tersebut, jumlah pemukim di Tepi Barat yang diduduki pada akhir 2024 mencapai sekitar 770.000 orang, tersebar di 180 pemukiman dan 256 pos terdepan, termasuk 138 yang diklasifikasikan sebagai pos terdepan pastoral dan pertanian. (zarahamala/arrahmah.id)