GAZA (Arrahmah.id) – Kementerian Dalam Negeri yang dikelola Hamas mengatakan baru-baru ini bahwa populasi daerah kantong pantai yang miskin itu telah mencapai 2.375.259 juta orang pada akhir 2022, dan sebagian besar menderita akibat blokade ilegal “Israel”.
“Sekitar 50,7 persen (1.204.986) dari populasi adalah laki-laki, sedangkan perempuan berjumlah 49,3 persen dari warga Gaza (1.170.273),” kata kementerian dalam negeri dalam pernyataan pers yang dikirim ke The New Arab.
“Dari tahun ke tahun, kantong pesisir mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah penduduk meskipun faktanya kebanyakan dari mereka menderita kemiskinan, pengangguran, serta kerawanan pangan, akibat blokade “Israel”,” tambah kementerian itu.
Sejak 2007, warga Palestina di Gaza menderita kondisi hidup yang sangat sulit akibat blokade “Israel” di daerah kantong pantai setelah Hamas, yang memenangkan pemilihan legislatif, merebut wilayah itu dari Fatah.
Selain itu, tentara “Israel” melancarkan lima perang skala besar dan belasan serangan militer singkat terhadap warga Palestina di Gaza, yang menewaskan ribuan orang dan menghancurkan ribuan perumahan dan industri serta gedung-gedung pemerintah.
Pada 2012, PBB mengatakan dalam laporan tahunannya bahwa Jalur Gaza akan “tidak dapat ditinggali” jika blokade “Israel” berlanjut. Sejak itu, PBB berulang kali memperingatkan tentang kemunduran tajam di Jalur Gaza.
“Terlepas dari kenyataan bahwa penduduk setempat hidup dengan layanan dasar yang minimal atau kurang, ada peningkatan yang signifikan dalam jumlah bayi yang baru lahir,” Mohammed Eliyan, seorang tenaga medis keluarga berencana di pusat medis al-Nusirat milik UNRWA, berkata kepada TNA.
Di pusat medis UNRWA, kata Eliyan, “kami telah mengadopsi program keluarga berencana untuk mendorong para ibu agar tidak melahirkan banyak bayi untuk memastikan [bayi baru] memiliki hak mereka untuk hidup normal dan sehat.”
“Terkadang, kami menemukan ada beberapa reaksi positif dari para ibu, tetapi di lain waktu kami mendapat beberapa kendala terutama dari mereka yang memiliki dua atau tiga bayi,” katanya.
Alaa Mashaal, seorang ibu tiga anak yang tinggal di Gaza, adalah seorang ibu dalam kemiskinan yang secara teratur menghadapi banyak tantangan dalam menyediakan kebutuhan dasar bagi anak-anaknya.
“Kami tidak bisa berhenti melahirkan bayi kami karena kami memiliki tradisi sosial memiliki banyak anak dalam keluarga yang sama,” kata ibu berusia 25 tahun itu kepada TNA. “Saya benar-benar berjuang untuk membesarkan bayi saya dan membiarkan mereka hidup pada tingkat yang stabil.”
Dia berkata bahwa suaminya tidak bisa mendapatkan lebih dari $US 15 sehari dengan bekerja di supermarket lokal meskipun dia lulusan universitas.
“Kami memiliki impian besar, tetapi kenyataan pahit menghalangi kami untuk mencapai tujuan minimum,” tambahnya.
Linda Atallah, ibu delapan anak lainnya yang berbasis di Gaza, berharap tidak memiliki keterbatasan dalam melahirkan anak-anaknya karena dia tidak dapat merawat mereka semua.
“Saya melahirkan enam dari mereka sebelum 2007, ketika suami saya bekerja di “Israel” dan kami memiliki banyak uang untuk memberi makan dan merawat mereka semua,” kenang ibu berusia 52 tahun itu. “Tapi dua putra terakhir lahir pada 2010 dan 2014, saat kami menjadi miskin.”
“Saat ini baik suami saya maupun lembaga internasional, yang setidaknya memberi kami makanan, dapat membantu saya melindungi keluarga saya dari kelaparan, kemiskinan, atau hal yang tidak diketahui, karena situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tambahnya.
Sekitar 64 persen populasi di Gaza berada dalam kemiskinan, dengan 33 persen populasi dalam kemiskinan ekstrem, dan 57 persen mengalami kerawanan pangan, menurut statistik resmi yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS).
Maher Al-Tabbaa, Direktur Hubungan Masyarakat di Kamar Dagang dan Industri Gaza, mengatakan bahwa Jalur Gaza masih dipengaruhi oleh blokade “Israel” yang diberlakukan dan serangan militer “Israel” yang tak henti-hentinya memperdalam krisis ekonomi, terutama mengakibatkan kerusakan besar pada infrastruktur Gaza.
Al-Tabbaa meminta masyarakat internasional untuk menjalankan tugasnya terhadap penduduk sipil di Jalur Gaza yang terkepung, menyediakan kebutuhan dasar mereka dan membebaskan mereka dari “penjara terbesar dalam sejarah” serta memberikan tekanan nyata dan serius kepada “Israel” untuk segera mengakhiri blokade yang “tidak adil”. (zarahamala/arrahmah.id)