Oleh: Ummu Alifah
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
Ruangan luas nan anggun Hotel Bidara, Jakarta tampak demikian elegan pada Selasa, 9 Desember 2022. Di sana, para pejabat penting negara sepenuh khidmat mengikuti puncak peringatan Hari Korupsi Sedunia (Hakordia). Secara resmi acara bertajuk ‘Indonesia Pulih, Bersatu Berantas Korupsi’ itu dibuka oleh Bapak Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin. Hajat tahunan yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu disiarkan secara daring juga, diikuti para pejabat daerah se-Indonesia. (media resmi kominfo)
Gempita acara telah dihelat setiap tahunnya sejak 2005. Namun terasa hambar nihil makna melihat pekatnya korupsi terus membayangi negeri ini. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menyikapi Hakordia tahun ini sebagai rasa berkabung atas ambruknya komitmen negara dan rontoknya harapan rakyat. Dari sekian banyak perkara yang disoroti, salah satunya dari sisi terus menggelembungnya kasus korupsi para politisi.
Dilansir dari Tirto Id (11,12/2022) bahwa seorang peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengungkap bahwa selama 18 tahun terakhir sepertiga pelaku korupsi adalah mereka yang berada di lingkup politik, mulai di legislatif (DPR dan DPRD) juga kepala daerah. Data KPK menyebut jumlah yang fantastis, 496 orang!
Bahkan jika merujuk data KPK, kasus rasuah jauh lebih mengerikan lagi. Masih dikutip dari media yang sama disebutkan bahwa dari 2004 sampai 2022 telah terjaring 22 gubernur, 161 bupati/wali kota dan wakilnya, dan 297 pejabat eselon I-III. Dari jumlah tersebut tindakan suap menyuap adalah yang paling besar, 867 kasus. Selebihnya, seputaran tindak pungutan dan pemerasan.
Angka tersebut adalah data yang ditindak oleh KPK, bagaimana dengan yang belum tertindak? Bagaimana pula dengan kasus yang tak tersentuh? Kita tentu tak bisa membayangkan betapa menggunungnya kasus kejahatan ini.
Mendarah Daging
Korupsi seolah telah membudaya dan mendarah daging di negeri ini. Diawali dari perilaku konsumtif dan gaya hidup mewah yang belakangan makin menguat menjangkiti siapapun di setiap level status sosialnya. Ditambah dengan minimnya keimanan hingga penyepelean terhadap pakem agama ketika mereka menjalani kehidupan. Tak mengherankan di saat ada peluang, semisal jabatan di tangan, maka semua tak segan untuk melakukan tindakan curang sekalipun dengan perilaku korupnya.
Ditambah muncul beragam pemikiran sesat semisal tindakan curang memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dipandang sebagai satu jalan untuk mengais rezeki, makin kacaulah kehidupan. Kondisi ini bertemu dengan orang-orang yang menghendaki kehidupan dilalui dengan jalan instan. Untuk memuluskan urusan, jika suap bisa dilakukan, tak segan dikerjakan.
Semua itu bukan hanya menjangkiti mereka yang duduk di bangku empuk kekuasaan bernama legislatif dan eksekutif. Kursi nyaman jabatan lingkup yudikatif pun tak absen terserang penyakit akut korupsi. Beberapa bulan ke belakang gonjang-ganjing kasus dugaan suap di lingkup mahkamah agung mengemuka. Kasus yang kian mencoreng muka penyelenggara negara ini menyeret hakim agung dan sederet pegawai MA lainnya (Tribun News, 27/9/2022). Pantas saja kasus korupsi seolah tiada mengenal kata habis. Semua berkelindan seolah menjadi ‘fasilitas’ bagi siapapun yang mau memasuki celah-celah busuknya.
Aral Rintangan Upaya Pemberantasan Korupsi
Adanya upaya-upaya pemberantasan korupsi dengan beragam cara tampak ‘alakadarnya’ dan bertemu beragam aral rintangan. Pertama, adanya fakta betapa tumpang tindihnya kewenangan dari lembaga pemberantas korupsi. Kasus Cicak versus Buaya yang terjadi hingga tiga jilid di tahun 2009, 2012 dan 2015 menjadi buktinya, betapa telah terjadi kasus saling serang, sandera antara dua lembaga pemberantas korupsi: KPK dan kepolisian.
Kedua, adanya upaya-upaya pelemahan KPK. Tercatat setidaknya ada dua poin, yakni direvisinya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana independensi KPK kian melemah dengan dimasukkannya menjadi bagian dari lembaga pemerintah di bawah cabang eksekutif dan dibentuknya dewan pengawas KPK. Berikutnya adalah polemik Tes Wawasan Kebangsaan yang dinilai melemparkan beberapa pegawai senior KPK.
Kondisi diperparah dengan disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang. Salah satu bahasannya dalam Pasal 603-606 KUHP adalah memberi keringanan hukuman bagi koruptor. Dimana sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) hukuman minimal bagi koruptor adalah empat tahun menjadi hanya dua tahun saja. Adapun untuk kasus penerima suap, ganjaran kejahatannya dikorting dari yang sebelumnya penjara 4-20 tahun hingga seumur hidup, dan denda Rp200 juta-Rp1 miliar, menjadi tinggal 1-6 tahun kurungan, denda Rp50-500 juta saja. Bayangkan ketika hukuman masih cukup berat, korupsi sudah demikian marak, apa yang terjadi di saat sanksi dikurangi? Sungguh tidak berlebihan ketika masyarakat menilai bahwa makin ke sini korupsi justru dirasa tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa. Ibarat lampu yang kekurangan sumber energinya, begitu pula perumpamaan tingkat kepercayaan publik pada lembaga KPK yang makin hari kian meredup.
Potret Kusam di Alam Demokrasi Kapitalisme Sekuler
Itulah potret rusak upaya dan keseriusan pemberantasan korupsi di alam demokrasi sekuler. Ongkos politik dalam demokrasi demikian mahalnya. Untuk menaikkan seseorang ke tampuk kekuasaan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka jika sudah duduk di bangku kekuasaan, saatnya balik modal. Ketika gaji saja tiada cukup untuk tujuan tersebut, dengan keimanan yang tipis tersebab paradigma sekuler telah mengakar dalam benak, celah-celah korup pun menjadi jalan.
Sistem Kapitalisme telah menjadikan para pemegang kendali kekuasaan menjadikan materi dan pencapaian duniawi sebagai prioritas hidup. Maka jabatan dan harta adalah dua hal yang akan terus diperebutkan dengan cara apapun, tak peduli jika pun harus menabrak rambu agama. Itu karena agama pun telah mengerdil perannya, sekadar dipahami mengurusi urusan ibadah vertikal dengan Tuhan, sementara urusan kehidupan, sabda kepentinganlah yang berkuasa. Kasus curang penuh nista berupa korupsi pun bukannya makin berkurang dan terbabat, yang ada kian tumbuh subur dipupuki pemikiran kapitalistik sekuler. Kehidupan pada akhirnya berjalan jauh dari keadilan.
Islam Membabat Habis Korupsi
Betapa berbeda kondisinya ketika sistem Islam yang berlaku. Sistem kehidupan yang berasal dari Al-Khaliq Al-Mudabbir, yang Maha Mengetahui hakikat baik dan buruk, adil dan zalim. Sebagai sistem kehidupan, Islam memiliki pandangan yang menyeluruh terkait kehidupan. Bukan hanya urusan vertikal dengan Allah Swt, melainkan kafah meliputi semua urusan kehidupan, tak terkecuali masalah politik dan pemerintahan.
Islam berpandangan bahwa para pemegang kendali kekuasaan adalah sosok pemimpin yang bertanggung jawab akan kesejahteraan dan terselenggaranya semua urusan rakyat dengan penuh keadilan. Keyakinannya penuh bahwa Allah Yang Maha Melihat akan senantiasa mengawasinya dalam semua perilakunnya, hingga urusan amanah kekuasaan tiada luput dari pengawasan-Nya. Para pemimpin/politisi dalam Islam pun sadar dan yakin bahwa amanah atau curangnya mereka dalam menjalani tugas pemerintahan akan mengantarakan mereka pada posisi di akhirat, merugi atau beruntungkah. Ini dari sisi pakem keimanan individu.
Hal tersebut menjadikan mereka demikian amanahnya menjalankan tugas. Kecurangan sekecil apapun tidak akan diambil karena telah terbayang betapa kemurkaan Allah menanti di hadapan jika mereka terjerumus ke dalamnya. Godaan harta dan duniawi lainnya tak akan sanggup membobol keimanan yang teramat kuat ini. Jabatan tak akan dipandang sebagai jalan untuk meraih kesenangan semu berupa limpahan duniawi.
Suasana ruhiyah yang kental dikarenakan diterapkannya aturan Allah dalam setiap lini kehidupan oleh negara menjadikan masyarakat pun terdidik untuk senantiasa menjadikan hukum syara sebagai panduan. Cara-cara instan dan curang tak akan dipilih dalam menjalani setiap urusan kehidupan.
Islam memandang bahwa korupsi atau memanfaatkan posisi jabatan untuk berlaku curang dan mengambil hak rakyat terkategori perbuatan haram, berdosa dan akan disanksi oleh pengadilan. Harta yang didapat melalui jalur koruspi disebut ghulul. Dalam hal ini negara yang memberlakukan sistem Islam (Khilafah) akan memberlakukan beberapa strategi jitu dan komprehensif dalam mencegah hingga menihilkannya.
Pertama, dalam proses pemilihan pejabat pemerintahan dilakukan fit and proper test dengan kualifikasi cemerlang: memiliki tingat keimanan yang tinggi dan kafaah (mampu). Kedua, semua pejabat pemerintahan akan digaji dengan besaran yang lebih dari mencukupi, sehingga tak akan ada celah pemikiran berlaku nista untuk memperkaya diri. Ketiga, sederhananya mekanisme pengangkatan para pejabat dan pemimpin pemerintahan, hingga tak diperlukan ongkos politik untuknya. Keempat, ketika diangkat jadi pejabat, dilakuakn pengawasan ketat oleh badan khusus pemeriksa keuangan. Harta kekayaan mereka sebelum dan sesudah masa menjabat akan dihitung. Dari sini akan tampak, jika ada penambahan kekayaan yang tidak wajar, maka negara dalam hal ini akan memverifikasinya dan tak segan menyitanya jika terbukti didapat dari jalan korup.
Jika semua upaya tersebut sudah terselenggara, tapi masih juga muncul kasus curang berupa korupsi maka negara telah memiliki sistem sanksi yang tegas. Sistem sanksi Islam bersifat zawajir (mencegah dari terlaksananya kasus baru sekaligus berulangnya kasus lama) dan zawabir (menebus dosa di akhirat). Hukumannya dengan beragam bentuk, mulai dari dipublikasikan di hadapan umum, diasingkan, mendapat hukuman cambuk bahkan hingga diberlakukan hukuman mati.
Semua itu diberlakukan secara bersamaan dengan penerapan sistem ekonomi, politik dan lainnya yang merujuk hanya pada syariat semata. Dengannya maka pekatnya korupsi yang senantiasa membayangi negeri niscaya bisa dihalau dan berganti kehidupan yang cerah dipayungi oleh rahmat dari Sang Maha Kuasa. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.