JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengadilan Agama lebih mengedepankan dasar undang-undang positif pemerintah Indonesia dibanding syariat Islam, demikian keluhan seorang Hakim PA.
“Saya sebagai hakim agama kadang gelisah dengan kondisi yang ada di PA selama ini. Syariat Islam kadang harus menempati pertimbangan nomor dua dibanding peraturan dan perundang-undangan pemerintah Indonesia dalam memutus perkara. Tapi bagaimana lagi, saya sendirian kan ga berdaya,” keluh Siddiki Syadzily, seperti dilansir MUI online Senin (13/5/2013).
Drs. Siddiki Syadzily M. Hum adalah Hakim Agama di Kantor Pengadilan Agama (PA) kota Surabaya, Jawa Timur. Dia mengemukakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus pro aktif terus menerus mendorong agar Pengadilan Agama (PA) senantiasa mengedepankan syariat agama Islam dalam memutus perkara. Selama ini, PA lebih mengedepankan dasar Undang-Undang positif pemerintah Indonesia dibanding syariat agama Islam.
Dia mencontohkan, dalam kasus nikah sirri. Nikah sirri yang memenuhi rukun nikah yakni ada mempelai laki, mempelai perempuan, wali perempuan, saksi dan ijab kabul maka sah secara syariat Islam. Demikian pula anak yang diperoleh dari nikah sirri tersebut, adalah anak yang sah sebagai anak kandung secara syariat Islam. Sehingga segala sesuatu tuntutan seputar nikah sirri dan turunannya diputuskan dengan syariat Islam.
Namun yang terjadi di lapangan, PA tidak bisa menerima secara sah keberadaan pasangan suami istri kedua dan seterusnya tanpa ada ijin istri pertama. Karena itu, maka PA akan menetapkan anak di luar nikah terhadap hasil hubungan nikah sirri itu karena tidak bisa membuktikan surat izin dari istri pertama sesuai yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang Perkawinan RI.
“Inikan sudah menyimpang dari syariat Islam,” kata Siddiki. Syariat Islam tidak mensyaratkan izin istri sebelumnya, untuk seorang laki-laki menikah lagi. Bayangkan seorang anak dianggap anak di luar nikah, padahal anak itu hasil hubungan sah melalui nikah sirri.
“Nikah sirri menurut syariat Islam adalah sah. Anaknya pun sah secara syariat Islam sebagai anak kandung,” tegas hakim berkacamata itu. Lebih dalam Siddiki berujar merasa berdosa: “Tetapi kalau ada pengaduan untuk penetapan, sering PA memutuskan tidak sah terhadap anak hasil hubungan nikah sirri itu, walaupun ada saksi-saksi tentang adanya pernikahan itu, hanya karena tidak bisa menunjukkan surat ijin istri pertama. Masih banyak kasus-kasus lain dimana syariat Islam kurang mendapat porsi dan tempat yang layak di lingkungan PA. Padahal PA itu sudah jelas dibentuk merupakan lembaga keagamaan Islam.”
Padahal sederhana saja, lanjut Siddiki, tidak ada masalah seseorang yang menikah sirri itu tidak diberikan surat nikah yang dikeluarkan KUA. Yang terpenting bahwa nikahnya sah sesuai syariat Islam, sehingga bisa berkonsekwensi sah secara hukum Islam terhadap anak keturunannya seperti hak mendapatkan nafkah, waris dan lain-lain.
Karena itu, dia meminta MUI sebagai lembaga keagamaan di Indonesia harus berada di barisan paling depan untuk menegakkan syariat Islam, khususnya dalam lembaga agama Islam seperti PA.
(azmuttaqin/arrahmah.com)