DEPOK (Arrahmah.com) – Pada Januari 2012, Haidar Bagir pernah menyetujui solusi damai Sunni dan Syiah yang ditawarkan Dr. Adian Husaini pada beberapa karya tulisnya.
Dari pernyataan Haidar Bagir, tersurat bahwa Syiah harus berani mengakui Sunni sebagai madzhab dalam Islam dan menghormati Indonesia sebagai negeri Muslim Sunni. (Sunni bukan kafir, karena tidak mengimani konsep imamah mereka yang rancu dan tentunya berbeda dengan rukun iman yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam-red). Selain itu, Syiah juga harus berhenti mensyiahkan Indonesia sebagai jalan damai Sunni-Syiah.
Dengan demikian, jika hari ini kaum Syiah Indonesia masih keukeuh menyebarkan dan merusak tatanan kerukunan Ummat Islam Indonesia (Ahlu Sunnah), maka itu sudah menodai janji perdamaian yang dikemukakan Haidar Bagir tersebut.
Untuk membunuh kelupaan kaum Syiah Indonesia akan janjinya, mari kita cermati kembali Catatan Akhir Pekan ke-324 Dr. Adian Husaini, Ketua Program Doktor Pendidikan IslamUniversitas Ibn Khaldun Bogor, yang Arrahmah kutip dari Republika, Rabu (27/5/2015).
Pada Hari Kamis, 19 Januari 2012, Jurnal Islamia-Republika, (hal. 23-26) Jurnal Pemikiran Islam bulanan hasil kerjasama antara INSISTS dan Harian Republika — menurunkan kajian utama tentang Syiah di Indonesia. Artikel Dr.Adian Husaini yang dimuat di Jurnal tersebut berjudul Solusi Damai Muslim Sunni-Syiah.
Esoknya, Jumat, 20 Januari 2012, Kajian Islamia-Republika itu mendapatkan tanggapan dari Haidar Bagir, Dirut Penerbit Mizan yang dikenal sebagai salah satu penerbit buku Syiah di Indonesia. Artikel Haidar di Harian Republika itu diberi judul Syiah dan Kerukunan Umat. Dalam artikelnya, Haidar Bagir menulis, bahwa dia setuju dengan solusi damai yang ditawarkan Dr. Adian Husaini berikut.
Jika kaum Syiah mengakui Sunni sebagai mazhab dalam Islam, seyogyanya mereka menghormati Indonesia sebagai negeri Muslim Sunni. Biarlah Indonesia menjadi Sunni. Hasrat untuk men-Syiahkan Indonesia bisa berdampak buruk bagi masa depan negeri Muslim ini. Itulah jalan damai untuk Muslim Sunni dan kelompok Syiah.
Menurut Haidar Bagir, dia pernah bertemu secara pribadi dengan Syaikh Ali Taskhiri, seorang ulama terkemuka di Iran, salah satu pembantu terdekat Wali Faqih Ayatullah Ali Khamenei, serta wakil Dar al-Taqrib bayn al-Madzahib (Perkumpulan Pendekatan antar-Mazhab), yang dengan tegas menyatakan,
Hendaknya kaum Syiah di Indonesia meninggalkan sama sekali pikiran untuk mensyiahkan kaum muslim di Indonesia.
Haidar Bagir juga menyampaikan imbauan di ujung artikelnya,
Khusus untuk orang-orang yang pandangannya didengar oleh para pengikut Syiah di negeri ini, hendaknya mereka meyakinkan para pengikutnya untuk dapat membawa diri dengan sebaik-baiknya serta mengutamakan persaudaraan dan toleransi terhadap saudara-saudaranya yang merupakan mayoritas di negeri ini.
Dalam soal sikap terhadap para sahabat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam – yang menjadi langganan caci-maki kaum Syiah- Hadiar Bagir juga menulis:
Sementara itu, banyak ulama Syiah Imamiyah atau Itsna Asyariyah yang telah merevisi pandangannya tentang ini. Hasil konferensi Majma Ahl al-Bayt di London pada 1995, mi sal nya, dengan tegas menyatakan menerima keabsahan kekhalifah an tiga khalifah terdahulu sebelum Khalifah Ali.
Bahkan, terkait dengan skandal pengutukan sahabat besar dan sebagian istri Nabi yang dilakukan oleh oknum Syiah yang tinggal di Inggris, bernama Yasir al-Habib, Ayatullah Sayid Ali Khamenei sendiri mengeluarkan fatwa yang dengan tegas melarang penghinaan terhadap orang-orang yang dihormati oleh para pemeluk Ahlus Sunnah (fatwa ini tersebar dan dapat dengan mudah diakses dari berbagai sumber). Di antara isinya adalah, “Diharamkan menghina figur-figur/tokoh-tokoh (yang diagungkan) saudara-saudara seagama kita, Ahlus-Sunnah, termasuk tuduhan terhadap istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dengan hal-hal yang mencederai kehormatan mereka …”.
Benarkah?
Jadi, sesuai artikel Haidar Bagir di Republika tersebut, ada dua hal pokok yang harus dilakukan oleh kaum Syiah untuk solusi damai bagi Ahlu Sunnah dan Syiah di Indonesia, yaitu:
- menghentikan caci maki terhadap sahabat-sahabat dan istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan
- menghentikan ambisi untuk mensyiahkan Indonesia, seperti ditegaskan oleh seorang ulama Syiah yang dijumpai Haidar Bagir: “Hendaknya kaum Syiah di Indonesia meninggalkan sama sekali pikiran untuk mensyiahkan kaum muslim di Indonesia.”
Apakah janji yang disampaikan Haidar Bagir tersebut bisa dipenuhi kaum Syiah? Tampaknya, itu tidaklah mudah. Seperti disebutkan dalam CAP-323, sejumlah fakta di lapangan menunjukkan banyaknya penerbitan Syiah di Indonesia yang masih mengumbar caci-maki dan fitnah terhadap para sahabat dan istri-istri Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, salah satu buku terkenal yang mencaci-maki dan menfitnah sahabat dan istri Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam adalah buku terbitan Mizan, pimpinan Haidar Bagir sendiri, yang berjudul Dialog Sunnah Syiah karya Syarafuddin al Musawi, (Bandung: Mizan (cetakan pertama, 1983)).
Buku ini diklaim penulisnya sebagai kumpulan surat menyurat antara penulis dengan Syaikh Salim al-Bisyri al-Maliki, yang saat itu menjabat Rektor al Azhar, Mesir. Di dalamnya banyak berisi dialog yang menjelaskan antara lain: Kewajiban berpegang pada madzhab Ahlul Bait, adanya wasiat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam untuk Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya, para sahabat tidak ma’shum (infallible) dari dosa dan kesalahan yang berimplikasi ketidakpercayaan periwayatan dari mereka, dan bahasan lain yang mendukung pemahaman Syiah.
Di buku ini, juga ditulis berbagai tuduhan bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha. telah berbohong karena menceritakan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam meninggal di pangkuannya, sehingga didoakan oleh penulisnya,
Mudah-mudahan Allah memberikan ampunan untuk Aisyah radhiallahu ‘anha. Oh., semoga Allah mengaruniakan ampunan-Nya bagi Ummul Muminin! Mengapa ia, ketika menggeser keutamaan ini dari Ali, tidak mengalihkannya kepada pribadi ayahnya saja! Bukankah yang demikian itu lebih utama dan lebih layak bagi kedudukan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam daripada apa yang didakwahkannya? Namun sayang .., ayahnya waktu itu bertugas sebagai anggota pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, yang persiapannya telah diatur dan ditetapkan sendiri oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.; dan pada saat itu sedang berhenti dan berkumpul di sebuah desa bernama Juruf! (hal. 353).
Di buku ini juga dimuat cerita tentang provokasi Aisyah terhadap khalayak dengan memerintahkan mereka agar membunuh Utsman bin Affan.
Bunuhlah Natsal, karena ia sudah menjadi kafir! (Catatan: Natsal adalah orang tua yang pandir dan bodoh). (hal. 357).
Di halaman yang sama, dimuat satu syair yang mengecam Aisyah radhiallahu ‘anha.
Engkau yang memulai, engkau yang merusak
Angin dan hujan (kekacauan)
Semuanya berasal darimu
Engkau yang memerintahkan
Pembunuhan atas diri sang Imam
Engkau yang mengatakan
Kini dia sudah kafir.(NB. Berbagai cercaan terhadap Aisyah radhiallahu ‘anha tersebut Dr. Adian Husaini kutip dari buku Dialog Sunnah-Syiah, edisi Oktober 2008. Jadi, sejak 1983 buku ini terus dicetak oleh Penerbit Mizan yang Dirutnya adalah Haidar Bagir sampai tahun 2008. Dr. Adian tidak tahu, apakah masih ada edisi buku tersebut setelah 2008).
Itulah sebagian isi buku Dialog Sunnah-Syiah terbitan Mizan. Pokok-pokok bahasan di dalam buku Dialog Sunnah-Syiah tersebut telah dijelaskan kekeliruannya oleh Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus dalam karyanya Ensiklopedi Sunnah Syiah, Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir, yang diterbitkan Pustaka Al Kautsar (Jakarta, 1997). Buku ini diberi kata pengantar oleh Dr. Hidayat Nurwahid, yang juga dikenal sebagai pakar tentang Syiah lulusan Universitas Islam Madinah.
Dalam pengantarnya, Hidayat Nurwahid memuji keseriusan Prof. as-Salus yang berhasil menunjukkan, bahwa buku karya al-Musawi, yang aslinya berjudul al-Murajaat, hanyalah karangan al-Musawi belaka. Alias, dialognya adalah fiktif belaka. Bahkan, Prof. as-Salus menulis:
Tetapi al-Musawi, seorang Syiah Rafidhah yang terkutuk ini, tanpa rasa sungkan dan malu ingin menjadikan seorang Syaikh al-Azhar yang kapabel dan kredibel sebagai murid kecil dan bodoh yang menerima ilmu pertama kali dari dia. (hal. 249).
Kaum Muslim yang mencintai Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat beliau yang mulia, dan juga istri-istri beliau yang herhormat, pasti tidak ridho jika orang-orang yang mulia tersebut dihina, difitnah dan dilecehkan. Kita pun tidak rela jika orang yang kita hormati dan sayangi diperhinakan. Bagaimana jika yang dihina dan difitnah adalah para sahabat dan istri Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam? Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga diriku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia. (HR Bukhari dan Muslim).
Cerita bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha memerintahkan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan adalah tuduhan keji dan dusta. Aisyah sendiri pernah dikonfirmasi tentang adanya surat atas nama Aisyah di Medir yang memerintahkan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Beliau bersumpah, bahwa beliau tidak pernah menulis surat seperti itu. Banyak riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha yang sudah mengklarifikasi masalah ini. Anehnya, orang-orang Syiah tidak mau tahu, dan selalu mengutip cerita-cerita bohong tersebut. (Lihat, Tarikh Khalifah bin Khayyath, hal. 176 & Tarikh al-Madinah, Ibn Syabbah 4:1224. Semuanya ada dalam Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fil-Fitnah, karya Dr. Mahmud Umahzun, Dar Thayba, Riyadh, cet. I, 1994, vol.2/29-30. Data: Buku Fitnah Maqtal Utsman, karya Dr. Mhmmad al-Ghabban, Maktabah Obeikan, Riyadh, cet. I, 1999).
Jika Aisyah dinistakan dan difitnah, kaum Muslim tentu sangat tidak ridha. Ummul mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anha sangat dicintai kaum Muslimin. Beliau adalah istri Nabi yang mulia. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam wafat di pangkuan Aisyah dan dikuburkan di rumah Aisyah pula. Aisyah radhiallahu ‘anha adalah ulama wanita yang meriwayatkan 2210 hadits. Dari jumlah itu, 286 hadits tercantum dalam shahih Bukhari dan Muslim. Ada sekitar 150 ulama Tabiin yang menimba ilmu dari Aisyah. (Lihat, K.H. Ubaidillah Saiful Akhyar Lc, Aisyah, The Inspiring Woman, (Yogyakarta: Madania, 2010).
Kasus buku Dialog Sunnah-Syiah terbitan Mizan ini menjadi bukti nyata, bahwa ajakan Haidar Bagir untuk kerukunan Sunnah-Syiah masih perlu dipertanyakan. Bukankah buku yang mencaci maki sahabat-sahabat dan istri Nabi tersebut sudah diterbitkan oleh Penerbit Mizan selama hampir 30 tahun?
Jalan Damai: Mungkinkah?
Menyimak berbagai penerbitan kaum Syiah termasuk terbitan Mizan patut dipertanyakan, mungkinkah jalan damai Sunnah-Syiah itu bisa diwujudkan? Mungkinkah kaum Syiah memenuhi imbauan dari sebagian tokoh mereka: agar tidak berambisi men-Syiahkan Indonesia dan menghentikan caci maki terhadap sahabat dan istri Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam?
Memang itu tidak mudah. Sebab, tampak dalam berbagai penerbitan mereka, kebencian terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman, radhiyallaaahu anhum, sudah begitu mendarah daging. Sikap Syiah terhadap para sahabat Nabi itu sangat berbeda dengan sikap kaum Sunni yang menghormati semua sahabat, apalagi Khulafaaur Rasyidin, termasuk Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu.
Saya mendapat satu brosur doa berjudul Ziarah Asyura, terdiri atas enam halaman. Disamping berisi doa-doa untuk para Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya, doa ini diwarnai dengan kutukan dan laknat terhadap berbagai orang. Misalnya, di halaman 5, ditulis doa laknat:
Allahummal-an awwala dhaalimin dhalama haqqa Muhammadin wa-Aali Muhammadin. (Ya Allah, laknatlah orang-orang zalim yang awal-awal, yang menzalimi hak Nabi Muhammad dan keluarganya).
Doa ini diakhiri dengan kutipan perkataan Imam Muhammad Al-Baqir as., yang berkata kepada Al Qamah:
Jika engkau mampu berziarah kepada beliau (Imam Husein ‘alaihis salaam.) setiap hari dengan membaca doa ziarah ini (ziarah Asyura) di rumahmu, maka lakukanlah itu dan engkau akan mendapatkan semua pahala (berziarah).
Itulah petikan doa Ziarah Asyuro yang diedarkan di Indonesia. Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang dzalim yang disebutkan telah mendzalimi hak Nabi dan keluarga Nabi? Apakah mereka Abu Bakar, Umar bi Khathab, Utsman bin Affan, Aisyah r.a., dan sebagainya?
Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus, dalam buku yang disebutkan terdahulu, telah mengklarifikasi masalah ini, dengan menunjukkan adanya riwayat dari Imam Zaid bin Hasan bin Ali bin Husain radhiyallaahu anhum, bahwa iia membenarkan apa yang dilakukan Abu Bakar r.a. terhadap Fathimah dalam soal waris keluarga Nabi.
Jika saya pada posisinya (Abu Bakar) niscaya saya akan menetapkan hukum seperti yang ditetapkannya, kata Imam Zaid. Diriwayatkan juga dari saudara Imam Zaid, yaitu al-Baqir, bahwa dia pernah ditanya, Apakah Abu Bakar dan Umar menzalimi sesuatu dari hak kalian? Ia menjawab, Tidak, demi Dzat yang menurunkan al-Quran kepada hamba-Nya agar menjadi peringatan bagi alam semesta, sungguh kami tidak dizalimi dari hak kami meskipun seberat biji sawi. (as-Salus, hal. 297).
Jika dicermati, polemik Ahlu Sunnah dan Syiah itu sudah berlangsung lebih dari 1.000 tahun. Apakah hal seperti ini yang diinginkan oleh kaum Syiah di Indonesia, dengan terus-menerus menebarkan kebencian kepada Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Aisyah radhiallahu ‘anhum? Sampai kapan caci-maki semacam ini akan diakhiri? Karena itu, Dr. Adian HUsaini mengakhiri CAP ini dengan ungkapan sama seperti dalam artikel di Jurnal Islamia-Republika (19/1/2012):
Jika kaum Syiah mengakui Sunni sebagai mazhab dalam Islam, seyogyanya mereka menghormati Indonesia sebagai negeri Muslim Sunni. Biarlah Indonesia menjadi Sunni. Hasrat untuk men-Syiahkan Indonesia bisa berdampak buruk bagi masa depan negeri Muslim ini. Masih banyak lahan dakwah di muka bumi ini jika hendak di-Syiahkan. Itulah jalan damai untuk Muslim Sunni dan kelompok Syiah. Kecuali, jika kaum Syiah melihat Muslim Sunni adalah aliran sesat yang wajib di-Syiahkan!
Kita tagih kembali realisasi janji kaum Syiah untuk tidak mensyiahkan Indonesia dan menghentikan caci-maki kepada para sahabat dan istri-istri Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam! Wallahu a’lam bish shawwab. (adibahasan/arrahmah.com)