ANKARA (Arrahmah.com) – Badan administrasi tertinggi Turki pada Kamis (2/7/2020) menunda keputusannya tentang status Hagia Sophia.
Dewan Negara itu akan membuat keputusannya dalam waktu 15 hari untuk memutuskan apakah monumen era Bizantium dan pusat wisata tersebut harus dikonversi dari museum menjadi tempat ibadah Muslim.
Langkah ini menuai kritik dari opoisi dan menyebutnya sebagai taktik untuk memobilisasi pemilih yang religius dan konservatif dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa.
Para pemimpin dan konstituen menyerukan untuk mengubahnya menjadi masjid, meskipun ada tentangan dari partai sekuler dan komunitas internasional.
Meskipun Turki memiliki hubungan yang tidak mudah dengan banyak pemerintah Barat, keputusan yang dimotivasi secara ideologis tentang suatu aset yang membawa makna politik dan agama global tersebut kemungkinan akan memperburuk hubungan dengan negara-negara utama, terutama AS dan Yunani.
Menteri Kebudayaan Yunani Lina Mendoni baru-baru ini menuduh Turki menyegarkan “sentimen nasionalis dan agama fanatik,” sementara UNESCO menyerukan persetujuan yang lebih luas dan konsensus pluralis tentang nasib bangunan sebelum keputusan besar seperti itu dibuat.
Dalam sebuah wawancara televisi soal kemarahan Yunani terkait Hagia Sophia, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa ini merupakan masalah kedaulatan nasional.
“Mereka berani memberi tahu kami untuk tidak mengubah Hagia Sophia menjadi masjid,” kata Erdogan.
“Apakah Anda memerintah Turki, atau kita?” lanjutnya.
Hagia Sophia digunakan sebagai gereja selama 916 tahun. Pada tahun 1453, bangunan tersebut diubah menjadi masjid oleh Kekhalifahan Utsmani Sultan Mehmet II ketika menaklukkan Istanbul.
Setelah dilakukan perbaikan selama era Kekhalifahan Utsmani dan penambahan menara oleh arsitek Mimar Sinan, Hagia Sophia menjadi salah satu karya terpenting arsitektur dunia.
Di bawah Republik Turki, Hagia Sophia menjadi museum pada tahun 1935.
(ameera/arrahmah.com)