Oleh Al Ustadz Muhammad Thalib
(Arrahmah.com) – Dari Abu Hurairah ujarnya, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah telah berfirman:
« أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِينَ مَا لا عَيْنٌ رَأَتْ ، وَلا أُذُنٌ سَمِعَتْ ، وَلا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ »
“Aku telah menyiapkan untuk para hamba-Ku yang shalih balasan atas amal shalihnya dengan sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terbayangkan dalam hati manusia.” [HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad]
Allah Swt telah menjanjikan kepada hamba-Nya yang beramal shalih semata-mata demi mencari keridhaan-Nya, sehingga tidak pernah merasa jemu melaksanakan perintah Allah seberat apapun, dan menjauhi larangan Allah sesulit apapun selama mereka hidup di dunia. Untuk itu Allah Swt akan memberikan reward (pahala) dengan jaminan-jaminan hidup yang tidak pernah dapat dibayangkan keindahannya, kehebatannya, kenikmatannya dan keunggulannya, sekalipun namanya sama sebagaimana Allah sebutkan dalam Al-Baqarah ayat ke 25:
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۖ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقًا ۙ قَالُوا هَٰذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ ۖ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا ۖ وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ ۖ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Wahai Muhammad, gembirakanlah orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Sesungguhnya orang-orang mukmin kelak di akhirat mendapatkan surga-surga. Di bawah surga itu mengalir sungai-sungai. Setiap kali orang-orang mukmin dikaruniai makanan dari buah-buahan surga, mereka berkata: “Ini adalah makanan yang dahulu pernah diberikan kepada kami di dunia.” Mereka diberi makanan serupa dengan yang di dunia, tetapi berbeda kelezatannya. Orang-orang mukmin mendapatkan istri-istri yang suci, mereka kekal di dalam surga”.
Mengapa Rasulullah Saw bersabda seperti tersebut pada hadits di atas, sedangkan ayat Al-Qur’an juga telah menyebutkan bahwa para hamba yang shalih pasti memperoleh balasan berbagai macam kesenangan di dalam surga?
Sabda Rasulullah Saw ini menunjukkan bahwa, pada diri manusia terdapat naluri mendambakan reward (imbalan, hadiah, ataupun balasan) yang lebih baik dari perbuatan yang dilakukannya. Naluri semacam ini juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, seseorang yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan, ketika dia ditawari oleh perusahaan lain untuk bekerja di tempatnya dengan gaji yang lebih besar dan fasilitas lain yang lebih bagus, maka ia segera menyambutnya. Mengapa terjadi hal semacam ini? Karena memang di dalam jiwa tiap-tiap orang telah tertanam naluri untuk mengejar balasan atau imbalan yang lebih baik, lebih banyak dan kelebihan-kelebihan lainnya.
Kenyataan ini dapat kita buktikan di negeri kita, ketika seorang karyawan bekerja di perusahaan pribumi lalu datang perusahaan asing menawarkan gaji yang lebih besar padahal pekerjaannya sama, lalu dia pindah ke perusahaan asing, maka dia tidak bisa di salahkan. Atau orang semacam ini dinilai sebagai seorang yang kurang profesional, tidak mencintai bangsanya sendiri, tidak punya sifat patriotis, atau tipisnya rasa nasionalisme dan lain sebagainya. Orang yang mencela tindakan karyawan yang pindah ke perusahaan asing itu, sebenarnya adalah orang yang tidak mengerti sifat naluriah manusia.
Oleh karena itu, alasan demi patriotisme, nasionalisme, heroisme, mencela orang Indonesia yang bekerja pada perusahaan-perusahaan asing dan meninggalkan perusahaan pribumi, hanyalah kebohongan dan slogan kosong belaka. Setiap jiwa manusia otomatis memiliki naluri mengejar balasan yang lebih baik dan lebih banyak, sekalipun pekerjaan yang dilakukannya itu sedikit.
Adanya naluri semacam ini, dinyatakan dengan jelas oleh Allah sebagaimana tersirat pada hadits di atas. Ketika seseorang yang melakukan usaha atau perbuatan baik, kemudian dia menerima janji dari seseorang yang betul-betul diyakini kejujuran dan kesungguhannya menepati janji, maka ia akan menyambut janji itu, sekalipun belum ada kenyataannya pada saat itu.
Orang-orang mukmin sungguh yakin bahwa Allah pasti memenuhi janji-Nya dalam membalas amal shalih mereka. Maka sudah semestinya kaum mukmin berlomba-lomba melakukan amal shalih karena keyakinannya yang penuh kepada kebenaran janji Allah. Hal ini sudah merupakan suatu yang logis bahwa seseorang yang yakin dengan janji atau harapan yang diberikan oleh pihak lain terhadap dirinya, maka dia akan bekerja keras untuk meraih apa yang dijanjikan orang kepadanya.
Hal ini juga berlaku pada kehidupan orang-orang kafir yang mengejar kehidupan dunia dengan segala macam cara, sekalipun yang dikejarnya itu baru merupakan angan-angan belaka. Misalnya, orang kafir yang mengembangkan usahanya tanpa peduli batasan haram lalu dia terjang semua rintangan, baik rintangan agama ataupun hukum negara. Ternyata kerja kerasnya mengejar angan-angannya berakhir di gelapnya penjara.
Contohnya, Dra. Siti Hartati Tjakra Murdaya (Chow Li Ing) terlahir di Jakarta, 1946, adalah orang terkaya di Indonesia no. 13 menurut majalah Forbes 2008. Pemimpin Central Cakra Murdaya / Berca Group yang juga Ketua umum WALUBI ini terkenal sebagai pengusaha yang berjiwa filantropi. Hartati tersangkut kasus suap bupati Buol untuk projek Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit, dan divonis 2,5 tahun penjara.
Begitupun kasus korupsi proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan tahun anggaran 2006-2007 dengan terpidana koruptor Anggoro Widjojo. Dia dihukum 10 tahun penjara, dan mendekam di LP Sukamiskin, Bandung.
Betapa ironinya nasib mereka, ternyata semua yang dimilikinya sudah tidak ada gunanya lagi. Harta, kekayaan, jabatan, kekuasaan, yang diperoleh dengan cara haram itu, tak dapat menyelamatkan dirinya dari hukuman penjara. Keserakahan dan perbuatan jahatnya (amal syayiat) telah menjerumuskannya pada kenistaan.
Sengaja kita tampilkan kasus kedua orang kafir di atas, sebagai contoh untuk membuktikan bahwa, naluri mengejar imbalan yang lebih besar atau lebih banyak dari usaha yang dilakukannya merupakan sesuatu yang universal dalam kehidupan manusia.
Hal ini menjadi bukti bagi orang mukmin bahwa sifat naluriah mengejar imbalan yang lebih banyak atau lebih besar dari perbuatan yang di lakukan, sangat manusiawi.
Kelompok tarekat atau sufi, biasa mengecam orang-orang yang melakukan amal shalih atas dorongan mengharap pahala atau imbalan yang lebih besar dari Allah. Menurut mereka, beramal shalih dengan motivasi mengharap pahala yang lebih besar atau lebih banyak dari Allah menunjukkan sifat yang kurang ikhlas. Anggapan kelompok sufi ini sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw tersebut di atas.
Beramal shalih dengan mengharapkan pahala lebih besar dari Allah tidak dapat dikategorikan amal shalih yang tidak ikhlas. Karena yang dimaksud amal shalih secara ikhlas, yaitu beramal shalih semata-mata mengejar balasan dan keridhaan Allah. Firman Allah Swt.:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal kaum Yahudi dan Nasrani dahulu telah disuruh untuk mengimani Muhammad, dan menaati agama yang dibawanya dari Allah dengan ikhlas, melaksanakan shalat dengan sempurna, dan menunaikan zakat. Itulah agama tauhid yang sebenarnya.” (QS. Al-Bayinah [98]: 5)
Jadi, kata ‘ikhlas/mukhlishin’ yang dimaksud pada surah Al-Bayinah ayat 5 di atas, adalah menaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya dengan benar, termasuk mengharapkan pahala dari Allah atas amal-amal shalihnya.
Hadits dan ayat Al-Qur’an yang menjanjikan balasan kepada orang mukmin yang beramal shalih dengan berlipat ganda menunjukkan bahwa, dorongan beramal shalih pada diri orang mukmin untuk meraih imbalan surga bukanlah suatu yang tercela, atau dianggap sebagai orang yang terpengaruh faham materialisme, karena keinginan mengejar balasan kebendaan. Anggapan demikian sangat tidak benar. Karena yang menjanjikan adalah Allah sendiri bukan manusia. Paham materialisme berkaitan dengan mengejar kebendaan yang ada di dunia ini, sedangkan orang mukmin dalam beramal shalih mengejar janji Allah di akhirat besok.
Jadi, seorang mukmin dalam beramal shalih harus senantiasa mengharapkan ridha Allah untuk mendapatkan balasan dari-Nya, dan bukan balasan dari sesama manusia. Balasan dari Allah tidak dapat diperkirakan lipat gandanya, dan hal ini merupakan jaminan dari Allahu Akbar.
Wallahu’alam bish shawab…
———————–
Makalah ini dikutip ulang dari Majalah Risalah Mujahidin edisi 34.
Sumber: http://risalahmujahidin.com/al-hadits-reward-pahala-bagi-para-shalihin/
(*/arrahmah.com)