JAKARTA (Arrahmah.id) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mengkritik Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto yang menyebut warga Rempang, Batam tak memiliki sertifikat kepemilikan lahan.
Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring berpendapat seharusnya negara dalam hal ini Kementerian ATR/BPN memberikan legalitas tanah itu kepada masyarakat sejak lama. Pasalnya, warga telah tinggal di lahan itu sejak 1834.
Dia pun menyinggung komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap 9 juta hektare yang akan ditata kepemilikannya lewat reforma agraria. Jokowi juga menyebut 4,9 juta hektare tanah negara bisa diberikan kepemilikannya pada rakyat.
“Selama hampir dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, kementerian ini kemana saja. Skema Tora maupun perhutanan sosial seharusnya sudah terlaksana di Rempang sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi,” kata Boy, Kamis (14/9), lansir CNN Indonesia.
Boy juga menyebut pernyataan Menteri ATR/Kepala BPN yang mengatakan masyarakat belum punya sertifikat merupakan pernyataan yang harus dikembalikan ke kementerian tersebut.
Menurut Boy, Kementerian ATR/BPN seharusnya proaktif untuk untuk melegalisasi tanah warga di 16 kampung Melayu di Rempang, bukan merelokasinya.
“Mengapa tidak pro aktif melegalisasi tanah tanah yang dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat adat dan tempatan di Rempang,” ujar dia.
Boy heran pernyataan pemerintah selama ini seakan ingin mengambil tanah yang telah ditempati warga jauh sebelum Indonesia mereda. Menurutnya, relokasi bukan lah opsi.
“Pendekatan win win solution bukan rencana yang tepat. Misalnya kamu punya rumah, dicaplok sama orang terus ditawari win win solution. Saya terus terang berani mengatakan negara merampas tanah rakyat. Dari mana rumusnya,” ucap dia.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki sertifikat kepemilikan.
“Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam,” ujar Hadi dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, Selasa (11/9) seperti dikutip dari Antara.
Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam kepada perusahaan terkait.
Selain itu, Hadi mengatakan sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat. Ia mengklaim hampir 50 persen dari warga menerima usulan yang telah disampaikan terkait relokasi untuk Rempang Eco City.
(ameera/arrahmah.id)