JAKARTA (Arrahmah.com) – Komisi III DPR meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengevaluasi program deradikalisasi yang selama ini berjalan dan sudah menghabiskan anggaran negara yang cukup banyak. Hal ini disampaikan nggota Komisi III DPR Herman Hery kepada Kepala BNPT, Tito Karnavian.
“BNPT perlu mengevaluasi kembali sejauh mana deradikalisasi dan penggalangan intelijen efektif dalam penanggulangan terorisme,” kata Herman dalam rapat dengar pendapat Komisi III bersama BNPT di Jakarta, Rabu (13/4/2016), lansir teropongsenayan.
Dia mengatakan selama ini tolok ukur program deradikalisasi dan penggalangan intelijen tidak jelas, padahal sudah menghabiskan anggaran negara yang cukup banyak.
“Ukurannya tidak jelas, sementara aksi dan kelompok-kelompok teror terus bermunculan. Saya meminta semua anggaran deradikalisasi dan penggalangan intelijen diaudit kembali,” tuturnya.
Menurut Herman, adanya fenomena narapidana direkrut menjadi anggota jaringan teroris merupakan bukti peran BNPT belum terlihat dalam penanggulangan terorisme.
Dalam penanggulangan terorisme, diperlukan keseriusan seluruh pihak, termasuk Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang bertanggung jawab di lembaga pemasyarakatan.
“Para narapidana itu sebelumnya merasa sebagai orang-orang yang dibuang oleh masyarakat. Saat direkrut oleh kelompok teroris, mereka diajak untuk ‘berjuang’. Mereka mendapat dalil baru bahwa kejahatan yang mereka lakukan adalah bentuk perjuangan,” katanya.
Deradikalisasi program AS
Sebelumnya mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Din Syamsudin mengatakan, dirinya yakin bahwa program deradikalisasi yang dicanangkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merupakan proyek dari kepentingan asing.
“Saya sampai saat ini masih meyakini program deradikalisasi adalah proyek Amerika Serikat,” ujarnya dalam pengajian bulanan Pengurus Pusat Muhammadiyah bertema“Pemberantasan Terorisme yang Pancasilais dan Komprehensif“di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jum’at malam, (8/4), dikutip dari hidayatullah,com
Dia bercerita, beberapa waktu lalu, pihaknya pernah dipertemukan dengan pejabat dari Gedung Putih (pemerintah Amerika Serikat) di Bogor. Yang mana pada pertemuan tersebut, kata Din, mereka berusaha meyakinkan Muhammadiyah agar mau mendorong dan mendukung program deradikalisasi.
Namun, ia dan Muhammadiyah berkeyakinan, bahwa deradikalisasi bukan cara yang tepat dalam memberantas terorisme.
“Tetapi deradikalisasi selama ini menempuh jalan yang keliru, bukan kemudian menghilangkan radikalisme itu, tapi deradikalisasi justru mengambil bentuk radikalisme baru,” jelas Din.
Presiden Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) ini beranggapan, program deradikalisasi memandang terorisme hanya dari kacamata ideologi yang mengarah pada satu agama tertentu.
“Jika hanya menekankan fokus pada satu faktor tunggal, yakni idologi, apalagi disangkutkan pada keagamaan, saya kira dengan analisa kacamata kuda seperti ini kita akan kehilangan arah dalam pemberantasan terorisme,” tukasnya.
Padahal, menurut Din, ada faktor lain yang mempengaruhi tindak terorisme. Yakni faktor non agama seperti kesenjangan, ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik, baik tingkat global maupun regional.
Salah sasaran
Dalam catatan penanggulanagn terorisme yang dimiliki arrahmah,com, kegiatan deradikalisasi selama ini dilaksanakan salah sasaran. Seharusnya pelaksanaannya ditujukan kepada kelompok radikal alias sumbu pendek, tetapi sebaliknya dilaksanakan kepada kelompok yang tidak radikal. Tentunya operasi pencegahan seperti ini tidak akan menghentikan serangan teror di masa yang akan datang.
Selanjutnya, penanggulangan terorisme juga selalu mengedepankan cara-cara permusuhan dan pelanggaran hukum. Paradigma penanggulangan terorisme harus diubah menuju kepada penegakan hukum yang jujur, transparan dan dialog untuk mewujudkan rekonsiliasi dengan kelompok radikal.
Catatan lainnya penanggulangan terorisme saat ini khususnya dalam bidang koordinasi dan kerjasama secara internal dan eksternal kementrian/lembaga terkait masih sangat kurang. Dalam penetuan teroris untuk kerusuhan Ambon dan Poso sampai saat ini masih tertuju kepada kelompok Muslim. Padahal kerusuhan ini adalah konflik komunal yang juga melinbatkan pengikut Kristen.
(azm/arrahmah.com)