Sejumlah kesalahan pernah dilakukan Habibie di antaranya memberi grasi tokoh aliran sesat syiah yang divonis pengadilan seumur hidup karena kejahatannya. Itu akibat Habibie kurang waspada, namun tampaknya tidak menjadi pelajaran baginya bahwa dirinya telah dibohongi orang-orang, walau Habibie pernah menyatakan penyesalannya di antara rangkaian tindakannya setelah tahu bahwa itu salah.
Kini Habibie bicara tentang terorisme di seminar dengan sebutan seminar internasional di Cirebon.
Pada tanggal 16 Maret 2012 lalu, Habibie menjadi keynote speaker pada pembukaan seminar internasional bertema Peran Ulama Pesantren dalam Mengatasi Terorisme Global. Seminar tersebut diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bekerja sama dengan Republik Federal Jerman.
Pesertanya, perwakilan PCNU se Pulau Jawa, Madura, Bali, dan Sumatera Selatan.
Barangkali kegiatan tersebut merupakan satu-satunya seminar internasional yang pesertanya sebagian besar (atau hampir seluruhnya) orang NU doang. Masyarakat semula berfikir, seminar internasional yang digagas PBNU akan dihadiri oleh sejumlah peserta dari berbagai negara di dunia, minimal negara Islam. Ternyata, pesertanya dari Pimpinan Cabang NU doang.
Di Jakarta, kegiatan seperti itu biasanya dinamakan seminar sehari atau seminar saja tanpa embel-embel. Tapi ketika hal yang sama diselenggarakan di Cirebon, namanya menjadi seminar internasional. Padahal, narasumbernya juga sama: Nasir Abbas (mantan JI) dan Ansyaad Mbai (BNPT). Benar-benar lucu.
Profesor Doktor (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah sosok jenius yang fenomenal. Boleh jadi, sampai saat ini belum tertandingi dan belum tergantikan, setidaknya di Indonesia. Mantan Presiden RI ketiga yang lahir di Pare-pare pada 25 Juni 1936 ini, dalam usia yang masih belia, sekitar 19 tahun, sudah terbang ke negeri jauh untuk belajar tentang desain dan konstruksi pesawat, yang saat itu masih begitu asing bagi telinga bangsa Indonesia, bahkan bangsa-bangsa modern di dunia.
Lulus SMAK Dago, Bandung, Habibie muda melanjutkan pendidikan ke ITB (Institut Teknologi Bandung). Hanya sekitar enam bulan di ITB, Habibie kemudian melanjutkan pendidikan formalnya ke Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman, pada tahun 1955 hingga 1965, selama sepuluh tahun, hingga ia meraih gelar doktor.
Habibie tidak sekedar menimba ilmu di negeri orang, ia juga menghasilkan teori (Teori Habibie) yang menyebabkan ia dijuluki Mister Krack. Melalui Teori Habibie ini dapat dihitung titik rambat keretakan (krack) yang terjadi pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang atau antara sayap dan dudukan mesin. Dengan adanya teori ini, membuat pesawat lebih aman, bisa menghindari risiko jatuh, juga membuat pemeliharaan pesawat lebih mudah dan murah.
Dari Teori Habibie, kemudian lahir Faktor Habibie. Karena, setelah titik rambat keretakan (krack) bisa dihitung maka derajat Faktor Keselamatan (SF) bisa diturunkan. Yaitu, dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Antara lain, mengurangi porsi baja dan meningkatkan porsi aluminium dalam bodi pesawat terbang. Bahkan, setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat, porsi baja turun hingga 25 persen lebih.
Setelah sekian tahun berkiprah di negeri orang, akhirnya Habibie pulang ke Indonesia (1974). Pada 26 April 1976, Habibie mendirikan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio yang saat itu merupakan industri pesawat terbang pertama di Kawasan Asia Tenggara. Kemudian pada 11 Oktober 1985, berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Hingga akhirnya menjadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) pada Agustus 2000.
Bahkan sejak 1989, Habibie memimpin berbagai industri strategis, selain IPTN ada Pindad dan PAL. Hasilnya, selain pesawat terbang dan helikopter, ada senjata, amunisi, kapal, tank, panser, senapan kaliber, water canon, kendaraan RPP-M, kendaraan combat, jasa pelatihan dan pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat, dan masih banyak lagi baik untuk keperluan sipil maupun militer.
Kehebatan Habibie di ranah teknologi memang luar biasa. Bagaimana dengan domain politik? Nampaknya Habibie tidak cocok di ranah yang satu ini. Habibie sempat mendampingi Presiden Soeharto sebagai Wakil Presiden hanya dalam kisaran waktu sekitar dua bulan saja. Kemudian setelah Soeharto lengser, Habibie didaulat menjadi Presiden oleh kalangan Islam politik yang punya agenda mendompleng. Itu pun hanya sekitar satu setengah tahun saja. Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid pada 20 Oktober 1999, setelah pemilihan umum pertama di era reformasi yang berlangsung Juni 1999.
Sebelum Habibie naik menjadi Presiden (1998), sejumlah kalangan yang anti Habibie, termasuk Presiden Singapura Lee Kuan Yeuw menakut-nakuti rakyat Indonesia, bahwa nilai tukar rupiah akan turun hingga mencapai Rp 50.000 per satu dolar Amerika Serikat, kalau Habibie jadi Presiden. Sebelum Presiden Soeharto lengser, nilai tukar rupiah sekitar Rp 2.000 per satu dolar Amerika Serikat. Saat pergolakan terjadi, yang konon dinamakan reformasi, nilai tukar rupiah turun drastis hingga mencapai Rp 16.000 (bahkan lebih) per satu dolar Amerika Serikat.
Ternyata omong kosong Lee Kuan Yeuw tak terbukti. Pada masa Habibie jadi Presiden, nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat naik menjadi hingga Rp 6.500 per satu dolar Amerika Serikat. Bandingkan dengan nilai tukar rupiah saat ini, di masa kepemimpinan SBY-Boediono yang mencapai hampir Rp 10.000 per satu dolar Amerika Serikat.
Habibie yang pernah menjabat sebagai Ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) sejak Desember 1990-2000, oleh sebagian kalangan (sekularis, nasionalis, nasrani dan anti Islam), saat itu dikhawatirkan akan menjadi pintu gerbang masuknya paham negara Islam. Apalagi pada masa-masa sebelum reformasi, ketika Soeharto masih menjadi Presiden dan Habibie masih menjadi murid kepercayaan Soeharto, sejumlah tokoh Islam (politis) berharap Habibie bisa menjadi semacam (nabi) Musa yang menjatuhkan Fir’aun. Namun kenyataanya, Soeharto lengser akibat tekanan rakyat yang sudah tidak lagi bisa menerima segala argumen sang Pandita untuk bertahan di kursi kekusaaan. Bukan karena dijatuhkan oleh ‘Musa’ sang murid kepercayaannya.
Habibie Kurang Waspada
Meski hebat di bidang teknologi terutama pesawat terbang, Habibie justru terlihat agak awam di ranah politik. Begitu juga pemahaman Habibie tentang Islam Pergerakan dan dinamika yang menyertainya, sangatlah jauh dari memadai. Jangankan Habibie, SBY saja boleh jadi sama kurang pahamnya di sektor ini.
Kekurang pahaman itulah yang boleh jadi membuat Habibie kurang waspada terhadap agenda sekelompok orang yang boleh jadi terkesan Islami dan humanis namun belum tentu berpihak kepada umat Islam. Habibie begitu mudah melepaskan tahanan politik (Islam), antara lain Habib Husin Ali Al-Habsyi (Maret 1999) yang pernah bercita-cita menjadi semacam Imam Khomeini di Indonesia.
Juga, menganugerahi penghargaan Bintang Mahaputera Utama kepada Nurcholish Madjid (Agustus 1999) yang selama ini oleh umat Islam diposisikan sebagai penggagas sekularisme yang menyerang akidah umat. Bahkan, Habibie berani meresmikan Al-Zaytun (Agustus 1999) meski ia kurang mendapat pasokan informasi memadai tentang lembaga pendidikan yang menjadi kedok gerakan NII KW9 yang sesat menyesatkan itu.
Pada tanggal 23 Maret 1999, Habibie memberikan grasi kepada Habib Husin Ali Al-Habsyi yang diduga menjadi tokoh utama (bersama Achmad Muladawilah) pada kasus peledakan di gereja Katholik Sasana Budaya dan gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara (24 Desember 1984), Malang, Jawa Timur. Juga, kasus peledakan Candi Borobudur (21 Januari 1985), Magelang, Jawa Tengah. Serta, rencana peledakan gagal di Bali (Maret 1985).
Upaya mengajukan grasi sudah dilakukan keluarga Habib Husin Ali Al-Habsyi melalui istrinya (Alwiyah) serta Ibu dan adik-adiknya, sejak tanggal 03 Oktober 1994. Saat itu Habib Husin Ali Al-Habsyi masih mendekam di LP Kelas I Malang, Jawa Timur, untuk menjalani hukuman pidana seumur hidup. Namun hingga Soeharto lengser, permohonan grasi itu tak mendapat jawaban kongkrit.
Habib Husin Ali Al-Habsyi kelahiran Ambon, pada tanggal 28 Januari 1953 ini, mendapat putusan pengadilan dengan vonis pidana seumur hidup pada 31 Januari 1991. Permohonan grasi yang diajukan keluarganya tidak berjawab, karena berdasarkan tuduhan jaksa penuntut umum di persidangan banyak cercaan Habib Husin Ali Al-Habsyi kepada Presiden Soeharto dan keluarganya.
Misalnya, sekitar April 1984, di rumahnya, Habib Husin Ali Al-Habsyi pernah mengatakan bahwa “Presiden Soeharto pada tahun 1970 ditunjuk oleh Dewan Gereja se Dunia sebagai pimpinan kristenisasi di Indonesia…” Selain itu, Habib Husin Ali Al-Habsyi menuduh anggota keluarga Soeharto terlibat penyelundupan mobil mewah dan penjualan narkoba.
Ketika Habib Husin Ali Al-Habsyi baru beberapa tahun mendekam di penjara, sang “mujahid” ini kemudian meminta ampun (grasi) kepada Presiden Soeharto melalui surat permohonan yang ditandatangani istrinya (Alwiyah), ibunya (Muznah binti Syekh Abu Bakar), serta adik-adiknya (Alwi, Muhdar, Abdul Farouq, Abdul Kadir, Salsabil dan Muhammad Ali Al-Habsyi).
Permohonan grasi itu boleh jadi mengundang penafsiran sebagian orang, bahwa tuduhan Habib Husin Ali Al-Habsyi kepada Presiden Soeharto dan keluarganya kala itu adalah tidak benar. Ironisnya, permohonan grasi itu tidak digubris. Barulah ketika Habibie didorong-dorong jadi Presiden, permohonan grasi Habib Husin Ali Al-Habsyi dikabulkan (23 Maret 1999).
Fakta di atas dapatlah dikatakan sebagai salah satu contoh ketidakwaspadaan Habibie. Masih di tahun yang sama, persisnya pada tanggal 14 Agustus 1999, Habibie presiden kala itu menganugerahkan bintang mahaputera di Istana Negara kepada 103 orang, yang terdiri dari pejabat (semua anggota Kabinet Pembangunan Reformasi, ketiga kepala staf TNI dan Kapolri dan sebagainya), mantan pejabat dan tokoh masyarakat.
Nurcholish Madjid yang selama ini dikenal sebagai Bapak Sekularisme Indonesia, yang menjajakan kesesatan berfikir ala Islam Liberal bahkan new-left, termasuk yang mendapat anugerah Bintang Mahaputera Utama, bersama-sama dengan Adnand Buyung Nasution, Jacob Tobing dan Jenderal Purn. Rudini (mantan KASAD yang juga pendukung LDII alias Islam Jama’ah). LDII alias Islam Jama’ah adalah salah satu aliran sesat yang sampai kini masih eksis dan merugikan umat Islam Indonesia dengan segala praktik penipuannya.
Karena mengantongi Bintang Maha Putera Utama, sosok Nurcholish Madjid akhirnya berhak dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan. Hal ini memberi semacam energi dan justifikasi bagi pengusung kesesatan berfikir ala Islam Liberal untuk terus mengusung gagasan dan upaya mereka yang selama ini dinilai merusak Islam dari dalam.
Sekitar dua pekan kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1999, Habibie meresmikan Ma’had Al-Zaytun di Indramayu, Jawa Barat. Ketika itu Habibie sama sekali tidak tahu bahwa Al-Zaytun adalah bagian permukaan dari gerakan NII KW9 yang sesat menyesatkan dan mempraktikan aneka penipuan berkedok doktrin agama (Islam).
Belakangan, di tahun 2011, ketika marak kasus cuci otak untuk mengumpulkan dana yang disinyalir dilakukan NII KW9 yang bermuara ke Al-Zaytun, Habibie merasa menyesal telah meresmikan Al-Zaytun. Kepada detik.com edisi 10 Mei 2011 Habibie mengatakan, “…Kalau tahu, bukan hanya saya datang. Tapi saya larang…”
Menurut penuturan Jimly Asshidiqqie (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), saat meresmikan Al-Zaytun kala itu, Habibie sempat bertanya kepada AS Panji Gumilang soal dana pembangunan Al-Zaytun yang begitu megah. AS Panji Gumilang menjawab, bahwa sumber dananya berasal dari program penggemukan sapi.
Usai meresmikan Al-Zaytun, di perjalanan Habibie menggerutu karena merasa telah dibohongi oleh AS Panji Gumilang: “… Kalau bangunan semegah itu hanya dari bisnis penggemukan sapi itu tidak masuk akal…”
Begitulah. Bukan hanya Habibie yang dibohongi AS Panji Gumilang, tetapi juga umat Islam Indonesia, terutama keluarga korban kesesatan NII KW9 Al-Zaytun.
Habibie dan Terorisme
Kini, Habibie seperti masuk gelanggang kembali. Namun, yang diurusnya bukan teknologi atau pesawat terbang, tetapi terorisme. Sejak kapan Habibie paham soal terorisme?
Setidaknya, sebagaimana diberitakan media massa, pada tanggal 16 Maret 2012 lalu, Habibie menjadi keynote speaker pada pembukaan seminar internasional bertema Peran Ulama Pesantren dalam Mengatasi Terorisme Global. Seminar tersebut diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bekerja sama dengan Republik Federal Jerman.
Selain Habibie, yang juga menjadi keynote speaker adalah Said Agil Siradj (Ketua Umum PBNU), dan Norbert Baas (Duta Besar Jerman untuk Indonesia). Sedangkan Helmy Faishal Zaini (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal), urung hadir. Pembicara pada seminar internasional ini adalah Nasir Abbas (mantan anggota Jamaah Islamiyah), dan Ansyaad Mbai (Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).
Pembukaan seminar internasional tersebut berlangsung di Pondok Pesantren Kempek, Yayasan Kyai Haji Said Siradj, Kabupaten Cirebon. Sedangkan seminarnya sendiri berlangsung di Hotel Apita Green, Jalan Tuparev, Kabupaten Cirebon, hingga Ahad 18 Maret 2012. Pesertanya, perwakilan PCNU se Pulau Jawa, Madura, Bali, dan Sumatera Selatan.
Barangkali kegiatan tersebut merupakan satu-satunya seminar internasional yang pesertanya sebagian besar (atau hampir seluruhnya) orang NU doang. Masyarakat semula berfikir, seminar internasional yang digagas PBNU akan dihadiri oleh sejumlah peserta dari berbagai negara di dunia, minimal negara Islam. Ternyata, pesertanya dari Pimpinan Cabang NU doang.
Di Jakarta, kegiatan seperti itu biasanya dinamakan seminar sehari atau seminar saja tanpa embel-embel. Tapi ketika hal yang sama diselenggarakan di Cirebon, namanya menjadi seminar internasional. Padahal, narasumbernya juga sama: Nasir Abbas (mantan JI) dan Ansyaad Mbai (BNPT). Benar-benar lucu.
Apa kaitan Habibie dengan terorisme? Mungkin keterkaitannya terletak pada dana yang dikucurkan dari Jerman. Atau bisa jadi ada hal lain. Misalnya, karena semasa Habibie jadi Presiden ia membebaskan sejumlah besar tahanan politik, dan diantara para tahanan politik itu ada yang terlibat aksi terorisme akhir-akhir ini? Wallahu a’lam. Yang jelas, Habibie akan lebih dihormati bila ia berkonsentrasi pada urusan teknologi dan pesawat terbang ketimbang terorisme. Waspadalah ya Habibie…
(nahimunkar.com)