TEL AVIV (Arrahmah.id) – Dalam sebuah analisis tajam yang diterbitkan oleh surat kabar Haaretz, terungkap bahwa rencana militer “Israel” untuk menggempur fasilitas nuklir Iran tak hanya menghadapi hambatan teknis dan operasional, namun juga terjegal oleh faktor politik yang lebih pelik: penolakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Menurut analis militer Haaretz, Yossi Melman, dalam beberapa pekan terakhir masyarakat “Israel” dikejutkan oleh suara raungan jet tempur yang berulang kali melintasi langit. Banyak yang bertanya-tanya, apa yang sedang disiapkan militer? Jawaban yang beredar: tentara “Israel” tengah mempersiapkan kemungkinan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran — atau setidaknya, itulah citra yang ingin dibentuk oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di benak rakyatnya.
Namun, menurut laporan tersebut, Presiden Trump memilih menghentikan rencana itu. Ia membuka ruang untuk negosiasi dengan Teheran terkait kemampuan nuklirnya — sebuah langkah yang disebut Haaretz sebagai pukulan telak terhadap keinginan Netanyahu.
Kebocoran yang Sengaja?
Melman mencurigai bahwa laporan New York Times yang memuat informasi tersebut beraroma kebocoran yang disengaja, kemungkinan besar berasal dari lingkaran dekat Netanyahu. Tujuannya: menjelaskan kepada para pendukung politik sang perdana menteri mengapa ucapannya yang penuh ancaman terhadap Iran tak kunjung diwujudkan dalam tindakan nyata.
Dengan kata lain, Netanyahu diduga tengah kembali memainkan narasi lama: menyalahkan kelemahan institusi keamanan “Israel” atas kegagalan mewujudkan retorika politiknya.
Namun Haaretz menyanggah narasi tersebut. Dalam pengamatannya, surat kabar itu menilai bahwa keterbatasan kemampuan militer “Israel” sangat nyata dan Netanyahu sangat menyadarinya.
Dalam laporan yang sama diungkapkan pula bahwa badan intelijen Mossad telah menghentikan pengiriman agen-agennya ke Iran sekitar lima belas tahun lalu. Alasannya jelas: misi semacam itu terlalu berisiko — para agen bisa tertangkap, bahkan dieksekusi.
Risiko Terlalu Besar
“Jika Mossad saja memilih tidak mengorbankan tim-tim elitnya,” tanya Haaretz, “bagaimana mungkin ‘Israel’ akan mengirim ratusan pasukan komando menyeberangi lebih dari seribu kilometer untuk menyerang fasilitas nuklir Iran dan berharap mereka kembali dengan selamat?”
Bahkan opsi serangan udara pun bukan tanpa kendala besar. Fasilitas nuklir utama Iran — Natanz dan Fordow — sangat terlindungi. Keduanya berada jauh di bawah tanah, pada kedalaman antara 20 hingga 40 meter, dan dipenuhi puluhan ribu mesin sentrifugal untuk memperkaya uranium.
Menurut Haaretz, “Israel” tidak memiliki bom penghancur bunker seperti yang dimiliki Amerika Serikat, apalagi pesawat pengebom berat untuk mengangkutnya.
Pertanyaannya, apakah mungkin serangan terhadap fasilitas nuklir — yang penuh bahan kimia sensitif dan uranium hasil pengayaan — tidak menimbulkan risiko radiasi besar-besaran bagi kawasan sipil yang padat penduduk?
Intelijen dan Ketergantungan pada AS
Haaretz juga mempertanyakan apakah “Israel” dan AS benar-benar memiliki intelijen akurat dan menyeluruh mengenai lokasi semua fasilitas nuklir, khususnya laboratorium rahasia yang diyakini sebagai pusat pengembangan senjata nuklir.
Andaipun data intelijen itu lengkap, jelas bahwa “Israel” tak mampu bergerak sendiri. Ia sangat bergantung pada dukungan militer langsung dari Amerika Serikat.
Melman menambahkan bahwa di internal Washington sendiri, belum ada kesepakatan soal bagaimana ujung negosiasi dengan Iran. Apakah menuntut pembongkaran total program nuklir, atau menerima kompromi seperti yang diajukan utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff.
Bagaimanapun arah negosiasi itu, Haaretz menyimpulkan bahwa opsi serangan militer Amerika terhadap Iran masih sangat jauh. Bahkan pengaruh Netanyahu dalam memengaruhi hasil perundingan tersebut nyaris tak berarti.
Surat kabar itu pun menutup analisanya dengan kalimat menohok: Netanyahu tak akan bisa menyalahkan Trump — seperti yang biasa ia lakukan terhadap banyak pihak lain — jika hasil akhirnya jauh dari ambisinya.
(Samirmusa/arrahmah.id)