JAKARTA (Arrahmah.com) – Di Indonesia saat ini tidak ada kepemimpinan. Kalau dulu Soekarno memimpin bangsa ini dengan ideologi Nasakomnya, Soeharto juga memimpin dengan ideologi Pancasilanya dengan sangat kuat dan dominan. Tapi setelah Reformasi tidak ada lagi yang dominan.
Demikian itu dinyatakan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr.Hamid Fahmi Zarkasyi pada acara “Silaturrahim dan Pelatihan Kaderisai Ulama MIUMI-PKU ISID Gontor-AQL.” di Islamic Center Arrahman Quranic Learning, Jakarta, beberapa waktu lalu, Jumat(22/3/2013).
“Siapa sebenarnya yang memimpin negeri ini?, setelah Reformasi ini Presiden dilecehkan, Ulama dilecehkan, apalagi seorang menteri, lebih-lebih Dirjen. Saat ini situasi tidak ada yang memimpin negeri ini,” katanya kepada arrahmah.com.
Menurut Pria yang akrab disapa Gus Hamid ini, ketiadaan kepemimpinan bukan dalam arti formal, ia akui secara formal Indonesia memiliki Presiden, menteri, dan jajaran struktur kekuasaannya. Namun, dalam arti setting sosial yang tidak mengerucut pada sebuah otoritas.
“Contohnya, politisi sudah tidak segan kepada siapa-siapa, masyarakat tidak merujuk persoalan sosial kepada pendapat ulama, intelektual juga tidak menjadi contoh moral yang baik bagi masyarakat, ini lah setting sosial yang tidak mengerucut pad sebuah otoritas” jelasnya.
Bahkan, mengutip perkataan Pak Din Syamsudin ketika berbicara pada deklarasi MIUMI bahwasanya masyarakat kita sedang dalam keadaan sakit. Masyarakat yang sudah tidak lagi memiliki aturan sosial, ada yang tawuran, perselingkuhan, pembunuhan, dan perampokan yang merajalela.
“Itu situasi dimana tidak ada nilai yang mengontrol masyarakat, nilai itu sendiri kan bukan hal yang abstrak. Nilai itu dipegang oleh orang, dipegang oleh para ulama. Nah, masalahnya ulama tersebut saat ini tidak lagi dirujuk, tidak dianggap, atau tidak leading lah, politisi kita juga tidak leading. Bahkan, Kepala Negara saja sudah tidak ada wibawanya” papar Gus Hamid.
Kata Gus Hamid, hal ini sangat berbeda dengan masa sebelumnya, dimana Soekarno dengan Nasakomnya masih ditakuti dan memiliki pengaruh dan Soeharto dengan ideologi pembangunannya memiliki pengaruh dan ditakuti pula. Meskipun pola yang dilakukan penguasa pada saat itu salah, namun mereka masih dirujuk dan meminpin serta masyarakat tersusun pada sebuah otoritas.
“Perbedaan situasi Ini, menunjukkan ada degradasi nilai di masyarakat,” cetusnya.
Pada masa itu, Ulama sendiri masih berwibawa dan mempunyai pengaruh. Dulu, jika ulama memanggil seorang menteri, maka menteri tersebut pun datang. “Jadi posisi ulama dan intelektual sekarang tidak seperti masa dulu,” ucap Gus Hamid.
Menurut Gus Hamid situasi seperti ini terjadi akibat dari Indonesia berdemokrasi, demokrasi membawa kepada kerusakan.
“Seorang politisi mengatakan bahwa berdemokrasi itu membawa kepada situasi buruk dan memang demokrasi seperti narkoba. Karena berdemokrasi berarti berfikiran dan berbicara secara bebas, kita tidak perlu menerangkan demokrasi seperti itu, kita terangkandemokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa kita” ungkapnya prihatin.
Demokrasi memiliki definisi yang dapat ditarik ulur sesuai selera yang memahaminya. Demokrasi tidak selamanya mengusung liberalisme dan sekularisme. Namun, di Indonesia demokrasi difahami secara liberal.
“Demokrasi di Indonesia difahami sebagai semua orang berhak untuk mempunyai pendapat dan bersuara. Akhirnya, semua orang bersuara tanpa ada yang mengatur. Inilah hasil dari Reformasi timbulnya demokrasi yang berlebihan dan tidak terpimpin,” bebernya.
Ketika semua orang berpendapat dan bersuara dialam demokrasi maka akan menjadi sebuah persoalan yakni semua orang berbicara dan semua bisa benar. Tidak ada yang menjadi tolok ukur kebenaran.
“Tidak ada yang bisa menentukan batas kebebasan itu mana, semua bisa menghujat siapapun, menghujat gubernur, ulama, ataupun menghujat intelektual” tutur Gus Hamid.
Melihat situasi seperti itu, MIUMI berusaha mengangkat kembali otoritas ulama agar dihargai oleh umat. MIUMI akan memulainya dari hal yang terkecil meskipun saat ini hal tersebut belum dirasakan namun ditahun-tahun kemudian akan dirasakan perubahannya.
“Kita akan memulainya dengan ilmu, dan dari ilmu itu kita harus meyakini. Sebab jika kita ingin berbicara Islam sebagai sumber kebenaran kita harus meyakininya. Kita menyelesaikan persoalan bangsa sekaligus kita menyiapkan kader-kader” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)