(Arrahmah.id) – Gunung pernah dianggap sebagai tumpukan batu besar yang menjulang tinggi di atas bumi. Setidaknya sampai 1735, ketika ahli geofisika Prancis Pierre Bouguer (1698-1758) mencatat bahwa gaya gravitasi di Andes jauh lebih kecil dari yang diharapkan, mengingat ukuran yang tampak dari “tumpukan batu” ini. Hal ini membuatnya percaya bahwa ada bagian lain dari batu itu yang terkubur di bawah bumi, sehingga mengimbangi variasi gravitasi.
Pada pertengahan abad ke-19, ahli geografi Welsh Sir George Everest (1790-1866) memperhatikan variasi pengukuran gravitasi antara dua titik berbeda di Himalaya. Tetapi dia tidak dapat menjelaskan fenomena ini, malah melihatnya sebagai salah satu misteri India.
Sir George Airy (1801-1892) menyimpulkan pada 1865 bahwa semua rantai gunung adalah massa yang mengapung di atas magma, dan bahwa bahan cair ini lebih padat daripada pegunungan itu sendiri. Akibatnya, pegunungan harus “terjun” ke dalam material berdensitas tinggi ini untuk mempertahankan struktur tegaknya.
Ahli geologi menemukan bahwa kerak bumi terdiri dari lempeng benua yang berdekatan; bahwa pegunungan besar mengapung di sepanjang lautan magma cair dengan kepadatan lebih tinggi; dan bahwa gunung memiliki akar untuk membantunya mengapung dan menempelkannya ke lempengan agar bumi tidak berguncang. Ahli geologi Oscar Diedrich Engeln (1880-1965) menyatakan dalam bukunya Geomorphology (hlm. 27) bahwa menurut pemahaman saat ini, setiap gunung pasti memiliki akarnya masing-masing di bawah kerak bumi.
Prinsip kesetimbangan hidrostatik, mengenai cara gunung-gunung melekat pada kerak bumi, disebutkan pada 1889 oleh Clarence Dutton (1841-1912). Dia menyatakan bahwa gunung terjun ke bumi sesuai dengan ketinggiannya. Setelah keberadaan lempeng dibuktikan pada 1969, menjadi jelas bahwa pegunungan menjaga keseimbangan setiap lempeng.
Sebuah buku berjudul Earth adalah buku referensi dasar di banyak universitas di seluruh dunia. Salah satu dari dua penulisnya adalah Profesor Emeritus Frank Press. Dia adalah Penasihat Sains untuk mantan Presiden AS Jimmy Carter, dan selama 12 tahun menjabat sebagai Presiden National Academy of Sciences, Washington, DC. Bukunya mengatakan bahwa gunung memiliki akar yang mendasarinya. Akar-akar ini tertanam sangat dalam di dalam tanah, sehingga gunung-gunung berbentuk seperti pasak.
Pada masa ketidaktahuan manusia tentang sifat gunung, yang berlangsung hingga pertengahan abad ke-19, Al-Qur’an dengan tegas telah menyatakan fakta bahwa gunung-gunung itu seperti pasak dalam bentuk dan fungsinya, yang didorong ke dalam bumi. Sementara sains modern baru mengonfirmasinya belakangan.
Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak?” (TQS 78:6-7)
Sebuah pasak memiliki dua bagian: bagian pertama berada di permukaan, sedangkan bagian lainnya berada di bawah tanah, menstabilkan apapun yang melekat padanya. Demikian pula, gunung memiliki satu bagian yang menonjol dari kerak bumi, sedangkan bagian lainnya terkubur jauh di bawah tanah sesuai dengan ketinggiannya. Fungsinya untuk menstabilkan lempengan-lempengan kerak bumi dan mencegahnya dari kekacauan akibat magma di bawahnya.
Ilmu kebumian modern telah membuktikan bahwa pegunungan memiliki akar yang dalam di bawah permukaan tanah dan bahwa akar ini dapat mencapai beberapa kali ketinggiannya di atas permukaan tanah. Jadi kata yang paling cocok untuk mendeskripsikan gunung berdasarkan informasi ini adalah kata ‘pasak’, karena sebagian besar pasak yang dipasang dengan benar tersembunyi di bawah permukaan tanah. Sejarah sains memberi tahu kita bahwa teori pegunungan yang memiliki akar yang dalam baru diperkenalkan pada paruh kedua abad ke-19.
Pegunungan juga berperan penting dalam menstabilkan kerak bumi. Mereka menghalangi guncangan bumi. Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.” (TQS 16:15)
Demikian pula, teori tektonik lempeng modern berpendapat bahwa pegunungan berfungsi sebagai penstabil bumi. Pengetahuan tentang peran pegunungan sebagai stabilisator bumi ini baru mulai dipahami dalam kerangka lempeng tektonik sejak akhir tahun 1960-an.
Mungkinkah orang pada masa Nabi Muhammad shalallahu alayhi wa sallam mengetahui bentuk gunung yang sebenarnya? Adakah yang bisa membayangkan bahwa gunung besar padat yang dia lihat di hadapannya benar-benar memanjang jauh ke dalam bumi dan memiliki akar, seperti yang dikatakan para ilmuwan? Sejumlah besar buku geologi, ketika membahas gunung, hanya menggambarkan bagian yang berada di atas permukaan bumi. Namun, geologi modern telah mengonfirmasi kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an. (zarahamala/arrahmah.id)