LONDON (Arrahmah.id) — Pemeran wanita dalam film Dune: Part Two, Anya Taylor-Joy, dikritik habis netizen usai menggunakan kerudung dalam busana ketika menghadiri world premiere filmnya di London, pekan lalu.
Dilansir News Line Mag (28/2/2024), dalam acara itu Anya Taylor-Joy mengenakan gaun berleher rendah (plunge neck) yang dilengkapi dengan kerudung hasil karya Dior Haute Couture rancangan Maria Grazia Chiuri.
Kerudung yang dipakai oleh Anya Taylor-Joy menutupi kepalanya, hanya menampilkan rambut di bagian depan dan wajah Anya. Tudung kepala dari bahan organdi itu berpotongan high-low, menjuntai hingga kaki di bagian belakang dan pinggang di bagian depan.
Aksi menyerupai perempuan muslim itu kemudian banyak dikomentari netizen karena busananya mirip hijab dan burka.
Netizen mempertanyakan kenapa banyak kritikus diam ketika artis kulit putih mengenakan busana seperti perempuan Muslim tapi ketika perempuan Muslim mengenakan pakaian seperti itu malah dihujat dan disalahkan.
“Kapan perempuan Muslim dapat mengenakan busana tradisional mereka tanpa dilabeli sebagai ‘terorisme’? Tapi yang ada mereka malah dilarang kemudian ramai-ramai banyak pihak menyatakan perang terhadap itu?” tegas The Slow Factory.
Seorang netizen di platform X (dulu Twitter) bahkan menyebut Anya Taylor-Joy sedang melakukan cosplay sebagai perempuan Muslim.
“Orang kulit putih cosplay sebagai perempuan Muslim, tetapi tidak ada yang berkomentar apapun. Ketika Anya Taylor-Joy mengenakan ‘burqa’, itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Namun, ketika perempuan Muslim melakukannya…” tulis seorang pengguna X.
Perempuan Muslim yang berhijab sudah lama mengalami diskriminasi akibat hijab yang mereka kenakan.
Dikutip dari American Civil Liberties Union (ACLU), banyak perempuan yang tidak bisa leluasa mengenakan hijab. Bahkan, mereka dilarang untuk memakai hijab di sejumlah ruang publik.
Dikutip dari Arab News, pada momen World Hijab Day (WHD) 2023, panitia WHD menyebut bahwa diskriminasi terhadap perempuan berhijab di Barat tengah berada di level tertinggi.
“Perempuan Muslim ditekan untuk melepas hijab mereka untuk ‘menunjukkan solidaritas’ dan membuat pernyataan politis, sementara di belahan negara lain menyusun legislasi yang mencegah perempuan berpartisipasi dalam masyarakat,” ucap WHD.
WHD menyebut, iklim politik dunia saat ini menyebabkan banyak orang yang memandang hijab sebagai senjata opresi terhadap perempuan.
“Akibat dari iklim saat ini, perempuan Muslim berhijab digambarkan sebagai perempuan yang diopresi, submisif, dan mundur, dan hijab digunakan sebagai alasan atas diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka. Ini bisa berujung pada kurangnya pemahaman dan empati terhadap perempuan Muslim, dan ini bisa membuat para perempuan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat dan mengakses kesempatan,” jelas WHD, dikutip dari Arab News.
Dikutip dari laporan ACLU, salah satu penyebab dari diskriminasi terhadap perempuan berhijab adalah tragedi 9/11 (September 11th) tahun 2001. Serangan teroris yang dilakukan oleh kelompok militan Al-Qaeda di Amerika Serikat itu menewaskan hampir 3 ribu orang. (hanoum/arrahmah.id)