Sen, 4 November 2024 / 2 Jumadil awal 1446

Gugatan Walhi ditolak lagi di pengadilan, pegunungan Meratus rimba terakhir Kalsel semakin terancam

JAKARTA (Arrahmah.com) – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel lagi-lagi kalah dalam upaya menggugat Menteri ESDM dan PT Mantimin Coal Mining (MCM). Ini adalah kegagalan kedua setelah gugatan mereka ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 22 Oktober 2018 lalu.

“Banding kami gagal, karena PTTUN melalui surat pemberitahuan putusan pada 20 Maret tadi menguatkan putusan PTUN yang menolak gugatan kami,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, lansir Pro Kalsel, Selasa (2/4/2019).

Pria yang akrab disapa Cak Kis ini mengaku sangat menyayangkan putusan para hakim pengadilan. Baik PTUN maupun PTTUN. Menurutnya, keputusan yang keluar telah mencederai masyarakat Kalsel yang mayoritas menolak izin tambang batubara.

“Padahal selama proses persidangan, sudah kami jelaskan bahwa di Meratus ada sungai dan gunung yang harus selalu dijaga,” ungkapnya.

Selain itu, di Pegunungan Meratus juga terdapat kawasan karst; salah satu ekosistem sebagai sumber cadangan air terbaik yang harus dilindungi.

“Perlu ada banyak gerakan untuk menolak aktivitas pertambangan di sana, sebab Meratus merupakan atapnya Kalimantan,” tegas Cak Kis.

Lalu apa yang akan dilakukan Walhi? Dia mengungkapkan mereka tak menyerah begitu saja dalam melindungi Pegunungan Meratus dari aktivitas pertambangan.

“Hari ini kami mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung melalui PTUN Jakarta,” tandasnya.

Dia berharap, Mahkamah Agung dapat berpihak kepada penyelamatan Pegunungan Meratus. Sehingga, putusan kasasi nantinya akan memenangkan gugatan mereka.

“Di tahun politik ini kita juga mendesak para kandidat dan elite politik untuk terlibat dan serius dalam gerakan penyelamatan lingkungan, terutama dalam perjuangan dan gerakan save Meratus,” ucapnya.

Ketua Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (GEMBUK) Rumli mendukung apa yang ditempuh oleh Walhi Kalsel. Mereka juga mengaku kecewa dengan putusan PTUN dan PTTUN Jakarta.

“Kami akan berjuang untuk penyelamatkan Meratus dengan semboyan rakyat Kalimantan Selatan waja sampai kaputing, tetap bersemangat dan kuat bagaikan baja dari awal sampai akhir,” serunya.

Dia menyebut, para hakim di PTUN dan PTTUN mengabaikan fakta persidangan yang telah disampaikan oleh penggugat. Baik saat sidang, maupun pemeriksaan setempat (PS) yang dilaksanakan di Desa Nateh, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

“Selama sidang setempat, penggugat dan masyarakat bisa memperlihatkan kondisi lingkungan di sana,” katanya.

Dipaparkannya, di daerah rencana lokasi pertambangan PT MCM masuk dalam kawasan DAS Batang Alai yang merupakan proyek nasional ketahanan pangan. Selain itu, Desa Nateh juga mendapatkan SK Hutan Desa dari Presiden RI. Jadi izin yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM bertentangan dengan semangat presiden untuk mengakui dan melindungi pengelolaan hutan oleh masyarakat.

“Kabupaten HST merupakan benteng terakhir atau rimba terakhir Kalimantan Selatan yang harus diselamatkan, dari ancaman daya rusak industri tambang batubara,” pungkasnya.

Walhi sendiri sebelumnya menggugat Menteri ESDM dan PT Mantimin Coal Mining (MCM) atas penyesuaian tahap kegiatan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara PT MCM yang dinaikkan ke tahap produksi di kawasan Pegunungan Meratus.

Walhi mengajukan gugatan dan banding terhadap keputusan yang dikeluarkan Kementerian ESDM di Jakarta yang pada tanggal 4 Desember 2017 mengeluarkan SK bernomor 441.K/30/DJB/2017 tentang penyesuaian tahap kegiatan PKP2B menjadi tahap operasi produksi kepada PT Mantimin Coal Mining (MCM).

Izin itu meliputi 3 wilayah (Tabalong, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah). 

Luasan izin tambang batubara ini 1.398,78 hektare dan berada di hutan sekunder, pemukiman 51,60 hektare, sawah 147,40 hektare, dan sungai 63,12 hektare. Ia berada di hamparan Pegunungan Meratus. Di Kalsel sendiri, MCM menguasai lahan seluas 5.900 hektare.

Khusus di HST, izin berada tak jauh dari Bendung Batang Alai dan akan melenyapkan hutan dan gunung kapur di Nateh, menghilangkan Desa Batu Tangga dan desa lainnya.

Proses gugatan Walhi di pengadilan berlangsung sejak  28 Februari 2018. Walhi Kalsel dan Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) beserta Pemkab HST mengajukan gugatan terhadap izin itu di Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta. Lalu pada 4 April 2018  hingga 22 Oktober 2018, sidang digelar.

Termasuk sidang di tempat (di Desa Nateh di Kabupaten HST) pada pada Juli 2018. Anehnya, pada 22 Oktober 2018, PTUN mengeluarkan keputusan yang menyatakan gugatan terhadap izin pertambangan batubara itu tak bisa diterima karena salah alamat.

Lalu pada 2 November 2018 Walhi mengajukan banding. Selama empat bulan proses banding berlangsung. Pada 14 Maret 2019 PTTUN Jakarta menguatkan putusan PTUN dengan menolak banding yang Walhi ajukan.

Sebelum keputusan yang menolak permohonan banding Walhi terjadi, berbagai upaya sudah dilakukan elemen masyarakat Kalsel untuk menyelamatkan Meratus.

Gerakan #SaveMeratus pada Minggu, 17 Maret 2019 misalnya menggelar acara menulis surat secara serentak kepada Presiden untuk ikut bersikap tegas dan terlibat dalam penyelematan Pegunungan Meratus.

Lebih dari 1000 surat yang isinya meminta Presiden turun tangan dan ikut menyelamatkan Pegunungan Meratus. Pada Jumat (21/3) dibawa ke Jakarta dan langsung diserahkan Direktur Eksekutif Walhi Kalsel kepada Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati.

Turut mendampingi Kisworo, Rumli dari Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) dan Direktur Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), Rafiqah. Selanjutnya surat-surat itu akan diserahkan ke Kantor Staf Presiden (KSP) yang selanjutnya akan menyampaikannya kepada Presiden.

Menurutnya, Yaya akan menyerahkan surat-surat itu usai Konsolidasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) Walhi yang berakhir pada 27 Maret 2019.

Penyerahan surat-surat yang ditulis masyarakat dari berbagai daerah ke KSP rencananya akan dilakukan bersamaan dengan penyampaian kasasi di Mahkamah Agung di Jakarta.

Diketahui, kondisi sebagian besar kawasan Pegunungan Meratus sudah berubah fungsi menjadi konsesi tambang dan kebun sawit skala besar.

Hampir semua kabupaten di Kalsel yang dilewati Pegunungan Meratus, mengalami kerusakan dengan tingkat yang berbeda-beda.

Secara kasat mata, kerusakan itu nampak dari Balangan hingga Kotabaru. Hanya Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang hingga kini masih utuh, karena seluruh elemen masyarakatnya menolak pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit.

Namun sejak Kementerian ESDM mengeluarkan surat keputusan  No: 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan (PKP2B) PT Mantimin Coal Mining (MCM) yang menaikkan status dari ekplorasi ke produksi meliputi tiga blok (Balangan, HST, dan Tabalong), Pegunungan Meratus, terutama di Hulu Sungai Tengah, terancam.

Karena di HST lah satu-satunya kawasan Pegunungan Meratus yang masih bertahan dari pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Di HST pula masih tersisa satu- satunya hutan hujan tropis di Kalsel.

Kini situasi semakin mengancam bagi Pegunungan Meratus ketika gugatan Walhi Kalsel kembali kandas.

(ameera/arrahmah.com)

Next Post

Welcome Back!

Login to your account below

Create New Account!

Fill the forms below to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Add New Playlist