KUPANG (Arrahmah.com) – Ada saja pengalokasian dana pemerintah daerah yang tidak penting peruntukannya, sementara masyarakat lebih membutuhkannya. Hal tersebut terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), dimana DPRD mengalokasikan Rp 1,2 M hanya untuk sebuah stasiun televisi ibukota, sebagaimana dilansir Anti Kompas pada Rabu (10/12/2014).
Bereaksi atas hal tersebut, sejumlah wartawan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (9/12) menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPRD NTT. Aksi para wartawan tersebut menuntut DPRD membatalkan alokasi anggaran sebesar Rp1,2 miliar dari dana APBD NTT 2015 untuk Metro TV.
Dalam aksi tersebut, wartawan melakukan pembuangan koran di pintu masuk gedung DPRD setempat. Salah satu koran media lokal dihamburkan di depan gedung tersebut dan dibiarkan diinjak-injak oleh anggota dewan atau pengunjung di gedung DPRD itu. Hal tersebut dilakukan sebagai tanda bahwa media lokal tidak dihargai oleh pemerintah daerahnya sendiri.
“Kami mendesak DPRD segera membatalkan alokasi anggaran bagi Metro TV sebesar Rp 1,2 miliar,” kata koordinator pengunjuk rasa, Wens John Rumung saat aksi unjuk rasa itu digelar.
Aksi ini diterima oleh anggota DPRD NTT Gusti Beribe dari Partai Gerindra bersama tiga rekan lainnya. Diskusi antar wartawan dan DPRD sempat memanas. Pasalnya, anggota dewan yang menerima wartawan tidak bisa memberikan jaminan untuk membatalkan alokasi dana itu. “Kami akan sinkronisasi anggaran untuk Metro TV,” ujar Beribe.
Namun, jawaban itu justru menyulut kemarahan wartawan yang menegaskan bahwa tuntutan mereka bukan untuk sinkronisasi, tapi menbatalkan alokasi anggaran itu. Pertemuan pun dead lock.
Sebelumnya, Kepala Biro Humas, Lambert Ibiriti membenarkan pengalokasian anggaran bagi Metro TV tersebut. “Dana itu sudah dianggarkan dalam APBD atas perintah Gubernur,” tegasnya.
Dia mengatakan, alokasi anggaran itu lebih kecil dibandingkan alokasi anggaran bagi 90 media yang terdaftar di Biro Humas sebesar Rp 1,5 miliar. Dana Rp1,5 miliar itu untuk pendampingan, advetorial dan iklan,” pungkasnya.
Para pengguna media sosial pun memberikan beragam komentar, mulai dari yang masih bersifat saran seperti, “Masih banyak cara untuk mempromosikan NTT. Mengapa tidak kompak saja dengan media lokal? Kan dananya bisa dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat banyak.” sampai penuh emosi mempertanyakan secara retorik, apakah Metro TV akan dijadikan stasiun TV nasional seperti TVRI atau alat propaganda rezim baru di NTT.
Hingga berita ini diturunkan, wartawan masih melakukan aksi unjuk rasa di gedung DPRD NTT. Seperti halnya para wartawan, masyarakat NTT juga berharap bahwa masih ada banyak cara untuk mempromosikan NTT, misalnya dari segi pariwisata, tetapi tidak dengan cara menghamburkannya kepada satu stasiun televisi swasta saja. Jika media lokal diberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi advertorialnya, niscaya NTT pun akan tampil dengan wajah yang cantik di muka publik, baik lokal maupun internasional, sehingga dapat menarik pendapatan daerah dari sektor pariwisata. Wallahua’lam bish shawab. (adibahasan//arrahmah.com)