Disinyalir Gories berada di belakang sejumlah operasi brutal dan penyiksaaan terhadap para tersangka terorisme.
Sore itu matahari sudah berada di ufuk barat. Jarum jam menunjukkan pukul 15.20 WIB. Tiba-tiba datang rombongan sekitar 20 orang dengan berjalan kaki hendak masuk area Airside Bandara Polonia Medan. Rombongan itu tidak dikenal oleh penjaga di Pos GB (Golf Bravo) bandara itu. Salah seorang petugas kemudian menanyakan keperluan rombongan itu, lalu salah satu dari mereka menjawab, “mau naik pesawat”.
Petugas bandara yang bernama Praka Didik Suprihatin itu lantas mengarahkan rombongan tersebut. “Bila ingin naik pesawat, harus melalui terminal keberangkatan atau VIP Room Bandara Polonia Medan”. Diarahkan baik-baik seperti itu rombongan malah tidak mengindahkan sama sekali. Mereka tetap ingin masuk melalui Pos Golf Bravo untuk naik pesawat.
“Mereka tetap bersikeras dengan alasan misi operasi negara”, ungkap Didik dalam laporan Kronologi Kejadian di Pos Golf Bravo Bandara Polonia Medan yang ia tulis.
Rombongan itu tetap ngeyel dan Didik pun mengaku tetap melarang mereka untuk masuk melalui Pos Golf Bravo. Tiba-tiba salah satu anggota rombongan membentak, “Kamu tau yang di depanmu itu Jendera bintang tiga?”.
Sadar yang dikatakan adalah perwira tinggi yang pangkatnya jauh di atasnya, ibarat bumi dan langit, ia pun dengan sigap menjawab, “Siap mohon ijin, karena kami tidak ada tembusan atau pemberitahuan sebelumnya. Saya hanya menjalankan prosedur sebagai petugas jaga di Pos Golf Bravo”.
Mereka tetap berjalan masuk melewati Pos Golf Bravo. Lalu salah satu dari mereka mengatakan “Kamu jangan menghalangi misi operasi negara”. Atas perlakuan ini kemudian security Angkasa Pura, Joko Santoso, melaporkan kejadian tersebut kepada Danton Security, Jumadi.
Demikianlah kronologi yang dibuat oleh Didik Suprihatin, seorang anggota TNI AU yang pada hari Senin, 13 September 2010 bertugas di Pos Golf Bravo Bandara Polonia Medan. Laporan itu ditujukan kepada Dan Lanud Medan, kemudian ditembuskan kepada GM PT AP II Bandara Polonia Medan dan Dansatpom Lanud Medan.
Lantas, siapakah jenderal bintang tiga yang dimaksud dan untuk apa ia terlibat dalam operasi Densus 88 di Medan?. Bukankah kepala Densus 88 hanya berpangkat Brigjen?. Tak lama setelah berita atas kejadian itu muncul di sejumlah media, muncullah nama Komjen (Pol) Gregorius Mere atau yang sering dikenal sebagai Gories Mere sebagai perwira tinggi Polri yang dimaksud.
Tapi untuk apa lelaki kelahiran NTT itu terlibat dalam operasi Densus 88?. Seperti diketahui lulusan Akpol 1976 itu saat ini tengah menjabat Ketua Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (Kalakhar BNN), yang tidak ada hubungannya dengan operasi antiteror.
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar mengkritik arogansi Gories. Menurutnya keikutsertaan Gories dalam operasi Densus 88 akan menambah kekarut-marutan organisasi Polri. “Dia Kepala BNN kok bisa ikut-ikut ke sana. Seandainya jadi konsultan ya, kalau ikut ngatur ya salah besar. Ini perlu diteliti Kapolri,” tukasnya.
Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane, Gories telah melakukan penyalahgunaan wewenang karena melampaui kewenangannya sebagai Kalakhar BNN. “Dia harus mempertanggungjawabkan segala sesuatunya. Bikin malu saja!” kecamnya.
Meski dikecam banyak pihak, rupanya Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri (BHD) tetap membela bawahannya itu. “Nggak ada masalah. Kenapa?.”, katanya. Ia malah membela jika Gories ada kegiatan di Medan.
Tentu penjelasan Kapolri itu sangat janggal. Jika hanya kegiatan BNN, mengapa naik pesawatnya perlu menerobos Pos Golv Bravo?. Mengapa tidak melalui terminal keberangkatan?. Mengapa juga harus bersama puluhan anggota Densus 88?. Sayang, Kapolri buru-buru mengakhiri wawancara sambil menurunkan alat perekam wartawan.
Sadisnya Gories Mere
Patut diduga Gories-lah yang secara langsung mengendalikan operasi Densus 88. Bahkan jenderal Kristen ini pula yang turut dalam penangkapan beberapa tersangka terorisme. Penangkapan terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah fakta terkini yang diduga melibatkan Gories.
Ketua Tim Advokasi FUI, Munarman, mengungkapkan peran Gories dalam operasi anti teror. Menurutnya, selain sebagai Kepala BNN, Gories juga menjadi Komandan Satgas Anti Bom. Ia bertanggungjawab langsung kepada Kapolri. Satgas Anti Bom inilah yang paling berperan dalam menyiksa dan membunuhi para tersangka aktivis Islam yang dituduh sebagai teroris.
“Densus 88 dan Satgas Anti Bom berperan seperti Kopkamtib pada masa Orde Baru dengan melakukan tindakan represif terhadap para aktivis Islam yang berseberangan dengan pemerintah”, ungkap Munarman.
Ustadz Abu Jibril, ayah terdakwa kasus terorisme M. Jibril menceritakan peran Gories dalam penyiksaan anaknya. Diceritakan bahwa penyiksaan terhadap anaknya itu dilakukan di hadapan Gories Mere.
“Wajah anak saya sampai hancur dipukuli para interogatornya selama seminggu dan disaksikan langsung Gories Mere. Bahkan anak saya juga ditelanjangi dan dipaksa melakukan sodomi. Padahal sebelumnya tiga jenderal polisi dari Mabes Polri yakni Komjen (Pol) Saleh Saaf, Komjen (Pol) Susno Duadji dan Brigjen (Pol) Saud Usman Nasution telah menjamin anak saya tidak akan diapa-apakan. Namun ternyata ketiga jenderal polisi itu tidak mampu mencegah kekejian Gories Mere dan anak buahnya yang Kristen Katolik itu,” ungkap Abu Jibril dengan menitikkan air mata.
Gories Berlumuran Darah
Bukan kali ini saja Gories membuat masalah. Ia tercatat berkali-kali membuat masalah dengan umat Islam dan bahkan dengan istitusinya sendiri. Menurut catatan wartawan senior, Mega Simamarta, dalam situs dan blognya www.katakami.com dan katakamidotcom.wordpress.com, selama perjalanan kariernya banyak sekali kasus yang melibatkan mantan Direktur Narkoba Bareskrim itu.
Pada tahun 2004, Gories yang saat itu masih menjabat Direktur Narkoba Mabes Polri kepergok wartawan sedang dugem dengan terpidana kasus Bom Bali, Ali Imron. Bersama delapan orang lain, Gories Mere sedang kongkow di Starbucks Coffe, lantai 2 Plaza X, Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat. Ia pun dikecam di sana-sini.
Pada tahun 2005, nama Gories dikaitkan dengan pembunuhan sadis bandar narkoba Hans Philip yang ditembak mati di bagian kepala saat berada di dalam mobilnya di kawasan Bogor Jawa Barat. Tahun 2006, nama Gories patut dapat diduga dikaitkan dengan kasus pencurian barang bukti narkoba sabu seberat 13,5 kg (jika dijual akan mendapatkan keuntungan Rp. 13,5 Miliar).
Ketika kasus pencurian ini terjadi, Kapolri yang saat itu menjabat yaitu Jenderal (Pol) Sutanto marah besar atas hilangnya barang bukti ini dan memerintahkan agar “siapapun yang lancang dan liar mencuri barang bukti sabu itu” harus mengembalikannya segera ke gudang penyimpanan. Setelah mengetahui betapa marahnya Kapolripada saat itu, delapan bulan kemudian barang bukti 13,5 kg sabu ini bisa tiba-tiba kembali ke tempatnya semula di gudang penyimpanan.
Tahun 2008-2009, nama Gories Mere dikaitkan dengan pembekingan kasus rekayasa bandar narkoba Liem Piek Kiong alias MONAS yang ditangkap oleh Mabes Polri di Apartemen Taman Anggrek bulan November 2007 dengan barang bukti 1 juta pil ekstasi (jika dijual akan mendapatkan keuntungan Rp. 1 triliun).
Tahun 2009, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) yang saat itu masih dijabat oleh Abdul Hakim Ritonga mengatakan bahwa pihaknya dihubungi oleh Pihak BNN yang berjanji akan ‘menangkap kembali’ Bandar Narkoba Liem Piek Kiong alias MONAS untuk bisa diajukan ke Pengadilan sesuai dengan kasus hukumnya yaitu kasus Taman Anggrek. Tetapi sampai detik ini, Monas bebas merdeka tanpa perlu diadili oleh kasus Taman Anggrek.
Tahun 2010, sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana, secara tegas mengkritik sekeras-kerasnya indikasi yang dilakukan Gories dalam menghalang-halangi kasus rekayasa narkoba yang menimpa diri Aan diselesaikan secara baik dan benar.
Di mata umat Islam, nama Gories Mere penuh kenangan pahit. Penembakan dan serangan brutal ke Pondok Pesantren Al Amanah, Tebang Rejo, Poso, Sulawesi Tengah yang dipimpin oleh Ustadz Adnan Arsal tepat pada malam takbiran tahun 2006, adalah perintah dari Gories sebagai Komandan Tim Anti Teror. Alasanya, untuk mencari buronan-buronan terorisme yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Tapi ternyata yang dicari tidak ada. Karena tindakannya itu, Gories tidak berani menghadap kepala BIN Sjamsir Siregar yang mendatangi Poso di hari lebaran pertama.
Meski berada di Washington DC, Gories juga memerintahkan penembakan brutal di Tanah Runtuh, Poso, pada tanggal 22 Januari 2007. Alasannya sama, mencari buronan terorisme yang masuk dalam DPO. Penembakan brutal yang membabi buta dari Tim Anti Teror Polri ini menewaskan 13 orang umat Islam di Tanah Runtuh, Poso yang tidak bersalah. Dari korban tewas sebanyak 13 orang itu, tidak ada satupun yang masuk dalam DPO terorisme versi Polri. Nyawa umat Islam poso kembali melayang sia-sia akibat kebrutalan Gories.
Gories juga pernah memfitnah dan mengejek Jenderal (Purn) Riyamizard Riyacudu. Tapi ia sangat ketakutan setelah dimarahi dan ditelpon langsung oleh mantan KSAD itu. Dalam institusinya sendiri, Gories juga pernah mengejek Polda Jawa Barat sebagai polisi-polisi yang goblok dan sangat tolol sehingga tidak bisa menangkap buronan teroris Hambali. Di dalam kaset rekaman itu anak buah Gories, Brigjen (Pol) Surya Darma, dengan pongahnya mengancam dengan kalimat:
“Lihat saja ya, kalau saya dan Pak Gories Mere mogok, lihat saja, akan kami doakan agar di Indonesia ini terjadi banyak peledakan bom karena di negara ini hanya kami berdua saja yang mampu menangani masalah terorisme. Yang lain tidak bisa!”
Memang kasus terorisme penuh rekayasa, pantas saja hanya mereka berdua yang bisa menangani. Jangan-jangan, maling teriak maling! (suara-islam/arrahmah.com)