LONDON (Arrahmah.com) – Google meluncurkan perangkat Dengue Trends untuk mendeteksi penyebaran demam berdarah dengue. Peranti tersebut memiliki metodologi yang sama dengan perangkat Google yang digunakan untuk mendeteksi penyebaran flu, Google Flu Trends.
Dengue Trends diharapkan menjadi sistem peringatan dini untuk para ahli kesehatan guna mengantisipasi wabah demam berdarah dengue. Peranti ini dianggap cocok digunakan di Indonesia, Bolivia, Brasil, India, dan Singapura.
Google menngungkapkan hasil dari Dengue Trends dikumpulkan secara real-time. Dengue Trends sangat membantu karena selama ini data-data resmi manual butuh waktu berminggu-minggu untuk dianalisis. Sementara, hasil Dengue Trends bisa dilihat secara real-time.
Sebelumnya pada 2009, Google menggunakan pendekatan yang sama untuk melacak penyebaran flu. Piranti yang digunakan Google saat itu Google Flu Trends.
“Dengan menggunakan data kasus dengue dari Kementerian Kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kami bisa menciptakan sebuah model yang menyediakan perkiraan nyaris secara real-time aktivitas dengue berdasarkan popularitas beberapa terma pencari,” ujar teknisi software Google, Vikram Sahai, dalam sebuah blog.
“Google Dengue Trends secara otomatis diperbarui setiap hari. Oleh karena itu, peralatan itu menyediakan indikator aktivitas dengue secara dini,” tambah Sahai.
Proyek tersebut dikembangkan bersama Children’s Hospital di Boston dan Harvard Medical School. Metodologi proyek tersebut disebar dalam sebuah artikel di jurnal Public Library of Science. Peranti tersebut merupakan bagian dari Google Correlate, yang merupakan layanan baru yang menghubungkan analisa pencarian dengan data yang dikumpulkan dalam kehidupan nyata.
Dengan hasil Google Dengue Trends, para petugas kesehatan publik bisa menggunakannya untuk mendistribusikan vaksin dan membuat penyembuhan lebih efektif.
Hal tersebut didukung oleh seorang ahli pencegahan penyebaran penyakit dari Imperial College London, Profesor Peter Sever, mengatakan perangkat itu sangat berguna untuk para peneliti yang sebelumnya mengumpulkan data dengan metode yang lebih lambat. (TI/rasularasy/arrahmah.com)