Oleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis di Indonesia)
(Arrahmah.com) – Dipicu oleh statement Ketua KPU Husni Kamil Manik yang menegaskan, pihaknya akan bersikap tegas bagi pihak manapun yang mengkampanyekan golput dalam pemilu 2014. Ketegasan tersebut, akan diwujudkan dengan menjerat pelaku kampanye golput dengan pidana, sebagaimana tertera dalam UU Pemilu. Hal senada disampaikan oleh anggota DPR-RI Teras Narang, bahwa dalam RUU Pemilu terdapat pasal yang menyebut ancaman pidana bagi seseorang yang mengajak orang lain agar bersikap golput. Muncul banyak kontroversi bisakah mereka yang mengkampanyekan golput dijerat pidanakan UU Pemilu. Secara umum beragam parpol terutama yang menjadi kontestan pemilu sangat mendukung pernyataan tersebut. Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap parpol-parpol. Kecuali PKS sebagai satu-satunya parpol yang menolak pernyataan bahwa kampanye golput bisa dijerat pidana oleh UU Pemilu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq. Menurut dia, hak politik warga negara tidak boleh diancam dengan hukuman pidana. “Tingkat partisipasi memilih cenderung menurun karena ketidakpercayaan masyarakat meluas,” kata Wakil Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera itu kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/2).
Yang menarik dicermati adalah motivasi di balik pernyataan Husni Kamil Manik sebagai representasi KPU. Pernyataan itu menyiratkan 2 pertanyaan besar. Pertama, apakah benar-benar sebagai bentuk ekspressi murni berkaitan dengan tanggung jawab sukses penyelenggaraan pemilu. Kedua, ataukah sebagai wujud arogansi kekuasaan sebagai penterjemahan kerangka legislasi (legal of frame) untuk menekan kelompok-kelompok masyarakat terutama ormas-ormas Islam tertentu yang sejak awal memilih golput karena alasan ideologis. Karena pemilu dianggap sebagai piranti kufur/thogut dalam sistem pemerintahan kufur/thogut Demokrasi buatan manusia. Sebuah sistem yang menempatkan kewenangan legislasi (baca : membuat aturan/undang-undang) diserahkan pada manusia melalui mekanisme proses politik legislatif. Meski ada juga yang memahami bahwa pemilu bisa digunakan sebagai instrumen perjuangan islam. Jika pertanyaan kedua itu yang menjadi motivasinya maka KPU harusnya mendorong pemerintah melakukan kajian serius untuk mengidentifikasi sebab rendahnya partisipasi masyarakat pada pemilu. Lebih didorong oleh faktor ekspresi ketidakpercayaan terhadap parpol-parpol, ataukah koreksi terhadap sistem Demokrasi yang menjadi payung kehidupan politik parpol-parpol.
Identifikasi secara mendalam sebab rendahnya partisipasi politik masyarakat harusnya menjadi bahan rekomendasi merekonstruksi ulang sistem yang mengatur tata cara kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Karena sesungguhnya kehadiran kekuasaan negara adalah untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan umum masyarakat. Dan trend meningkatnya golput menunjukkan bahwa masyarakat luas menghendaki sebuah perubahan yang mendasar dan komprehensif. Bukan perubahan yang sifatnya lipstik dan diplomatis. Pemidanaan terhadap kampanye golput akan menambah deretan panjang legal of frame yang represif. Di tengah represifitas regulasi-regulasi yang lain. Ini akan menjadi beban masyarakat di tengah deraan tekanan ekonomi, sosial dan budaya yang kompleks. Ini akan menjadi semacam alat tekanan politis.
Tafsir arogan UU Pemilu
Pemidanaan kampanye golput adalah penafsiran secara berlebihan terhadap pasal 292 dan 308 UU 8/2012. Yang pada intinya menyebut tindakan sengaja menghilangkan hak memilih, penggunaan kekerasan, menghalangi serta kegiatan yang mengganggu penggunaan hak pilih orang lain masuk kategori pidana. Sebagaimana yang disampaikan oleh pengamat politik Ray Rangkuti, yang menilai sikap KPU itu salah besar, karena salah menafsirkan.
Hal yang sama juga diungkap oleh Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, menilai, tidak tepat pendapat yang mengatakan orang yang tidak memilih atau memilih golongan putih (Golput) dalam pemilu dan mengkampanyekannya, bisa dikenakan pasal pidana Pemilu. Pendapat tersebut menurutnya harus ditolak, sebab suatu perbuatan baru bisa dikenakan sanksi pidana pemilu jika diatur dalam pasal pidana UU Pemilu. “Faktanya, dalam UU Pemilu yang mengatur tentang ketentuan pidana pada Bab XXII, mulai pasal 273 sampai pasal 321 (Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012), tidak kita temukan adanya ancaman sanksi pidana kepada seseorang yang memilih menjadi golput atau kepada orang yang mengampanyekan golput,” kata Said di Jakarta, Senin (17/2). Menurut Said, Jika rujukannnya pasal 292, ketentuan tersebut menurut Said, lebih ditujukan pada orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih. Begitu juga pendapat yang mengatakan Golput dapat dipidana dengan menggunakan rujukan pasal 308, Said bahkan menyebutnya lebih ngawur lagi. Karena pasal tersebut hanya mengatur sanksi pidana kepada seseorang yang menggunakan kekerasan, menghalangi pemilih, mengganggu keamanan dan ketertiban di TPS, atau menggagalkan pemungutan suara. “Jadi kalau ada pemilih yang golput atau mengampanyekan golput, tidak bisa dikenakan pasal ini,” katanya.
Said menilai, memilih untuk golput atau menyampaikan pandangan tentang golput berbeda maknanya dengan perbuatan menghalangi atau membatasi orang untuk menggunakan hak pilih. Ia menilai, dalam mengampanyekan golput tidak ada unsur paksaan dan sifatnya tidak mengikat. Setiap orang tetap memiliki kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti kampanye golput tersebut. “Perlu diingat, dalam ketentuan pidana, seluruh unsur yang disebutkan dalam bunyi pasal itu harus terpenuhi secara kumulatif. Satu saja tidak terpenuhi, sesorang tidak bisa dikenakan sanksi pidana,” katanya. Selain itu, memilih dalam pemilu menurut konstitusi Indonesia, kata Said, adalah hak dan bukan kewajiban. Sehingga tidak boleh orang dihukum karena tidak menggunakan haknya. Demikian pula dengan golput, harus dimaknai sebagai bentuk kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Bukan hanya Said dan Rangkuti saja yang berpendapat menolak, beberapa pakar hukum menegaskan hal itu sangat berbahaya bagi demokrasi di Indonesia. ”Kalau pasal itu tetap diberlakukan, akan membahayakan dan membunuh demokrasi di Indonesia. Jadi, itu harus dicabut,” kata pakar hukum tatanegara dari UGM, Prof Dr Muchsan SH. Pakar hukum-politik Prof Dr Mahfud MD SH juga menegaskan, golput adalah hak dan bukan merupakan kewajiban. ”Memilih dalam pemilu juga merupakan hak, dan bukan kewajiban. ”Karena itu, keliru kalau hukumnya dimasukkan ke dalam pidana.” Kalau pasal tentang golput dimasukkan, itu sangat berbahaya, karena berpotensi jadi ”pasal karet”. Sulit dibedakan antara mengajak dan memberi pengertian tentang golput. Bisa saja orang membicarakan golput sebatas wacana, sedangkan implikasinya tergantung orang yang diajak berbicara: apakah mengambil langkah golput atau tidak, pungkasnya.
Fenomena menyeruaknya golput akhirnya harus dilihat dan dikaji secara obyektif dan jernih. Bagi ormas-ormas islam yang menjadi sasaran bidik, hendaknya memahami kerangka legislasi sebagai bagian pemahaman peta perjuangan sebagai sebuah keniscayaan. Sehingga tidak muncul penafsiran berlebihan atas pengertian serangan balik yang menggigit dan mengancam eksistensi sebuah entitas. Atau terlalu berani tanpa pemahaman yang detil peta medan perjuangan yang dihadapi. Ini seharusnya menjadi momentum penyatuan visi perjuangan seluruh komponen umat dari beragam latar belakang manhaj untuk merumuskan agenda besar bersama menuju ke arah perubahan islam yang mendasar dan komprehensif. Bagi penguasa, maka responsif arogan dalam bentuk pemidanaan kampanye golput justru memunculkan kesan kuat bahwa benar-benar telah hadir Rezim Tirani Demokratik. Yakni sebuah rezim yang selalu menggunakan pendekatan represif atas nama law of enforcement. Semakin tingginya ketidak percayaan masyarakat terhadap parpol-parpol adalah wujud tingginya ketidak percayaan masyarakat terhadap institusi negara dan pemerintahan. Yakni institusi negara dan pemerintahan sebagai sebuah entitas rezim. Yang menjalankan sistem negara dan pemerintahan demokratis berbasiskan ideologi kapitalis liberalis. Perlu perenungan sekaligus tobat nasional untuk merekontruksi ulang sistem ketatanegaraan dan kepemerintahan sesuai dengan aspirasi ideologi mayoritas masyarakat negeri ini -Al Islam-. Dimana Islam memuat ajaran agung dalam kesatuan tidak terpisah syareah, jihad dan khilafah yang teruji secara empiris, historis dan konseptual. Marilah kita renungkan seruan Alloh Subhanahu Wa Ta’alla : “Pada hari ini Aku telah menjadikan Islam agama yang sempurna untuk kalian, Aku telah berikan hidayah-Ku kepada kalian dengan sempurna. Aku meridhai Islam menjadi agama kalian” (QS Al Maidah (5): 3). Wallahu a’lam bis shawab.
(arrahmah.com)