TRIPOLI (Arrahmah.com) – Kepala pemerintah Libya yang diakui secara internasional telah meminta pasukan saingan untuk meletakkan senjata mereka, memperingatkan bahwa mereka berisiko membahayakan gencatan senjata yang rapuh di negara yang dilanda perang itu.
Dalam pidato video di Majelis Umum PBB tahunan pada hari Kamis (24/9/2020), Perdana Menteri Fayez al-Serraj menyambut baik komitmen para pemimpin politik di Libya timur untuk menghentikan kekerasan dan melanjutkan produksi minyak.
“Namun, kami belum melihat kerja sama dari kelompok bersenjata dan milisi yang agresif,” katanya.
“Faktanya, kami hanya melihat komentar bermusuhan dari juru bicara mereka dan pelanggaran oleh pasukan mereka,” tambah Serraj, yang mengepalai Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA).
“Oleh karena itu, kami akan menganggap mereka bertanggung jawab atas setiap konfrontasi militer dan setiap korban serta kehancuran yang diakibatkannya.”
Serraj menyampaikan pidato yang direkam sebelumnya kepada sidang umum virtual pertama badan dunia itu dari Tripoli, tempat kedudukan GNA.
Ia memimpin GNA sejak pembentukannya pada akhir 2015 sebagai hasil dari perjanjian politik yang ditengahi PBB yang bertujuan untuk menyatukan dan menstabilkan Libya setelah kekacauan yang terjadi setelah penggulingan pemimpin lama Muammar Gaddafi pada tahun 2011.
Dukungan militer Turki untuk GNA pada bulan Juni memungkinkannya untuk mengusir serangan 14 bulan oleh pasukan yang setia kepada komandan militer pemberontak yang berbasis di timur Khalifa Haftar, yang didukung oleh Uni Emirat Arab, Mesir dan Rusia.
Serraj mengecam upaya Haftar untuk mengambil alih ibu kota, menyebutnya sebagai “serangan tirani” yang berisiko mengembalikan negara ke kediktatoran.
Meski begitu, dia menyambut baik dialog politik dengan semua faksi dan wilayah Libya, kecuali mereka yang telah “menumpahkan darah Libya”.
GNA dan parlemen di kota timur Tobruk yang secara longgar bersekutu dengan Haftar bulan lalu menyetujui gencatan senjata dan pemilihan umum pada Maret tahun depan.
Setelah pembicaraan baru-baru ini antara kedua belah pihak di Maroko, Serraj mengatakan dia bersedia untuk mundur saat pemerintahan baru bersatu.
Pada hari Kamis (24/9), Serraj meminta dukungan PBB dalam menyelenggarakan pemungutan suara yang akan datang.
“Rakyat Libya telah menunggu terlalu lama untuk pemilihan ini, yang akan mengakhiri krisis legitimasi,” katanya. (Althaf/arrahmah.com)