SEMARANG (Arrahmah.com) – Setelah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) menyuarakan kritiknya atas kinerja presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan memberikan julukan “King of Lip Service”, kini giliran BEM Universitas Negeri Semarang (Unnes) memberi julukan kepada beberapa pejabat yang duduk di kursi pemerintahan.
BEM Unnes memberikan julukan kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai “King of Silent”, karena mereka menilai Wapres tidak dapat mengisi kekosongan peran yang tidak dapat dijalankan oleh presiden.
Hal tersebut semakin terlihat jelas ketika masa pandemi, di mana Ma’ruf nihil eksistensi untuk tampil dimuka publik. Terlebih, Ma’ruf juga tidak pernah memberikan jawaban yang lugas, gamblang, dan jelas dalam merespons problem multidimensional di masa pandemi.
“Secara umum, masyarakat menilai Wakil Presiden Ma’ruf Amin terlihat absen dan diam,” bunyi keterangan dalam sebuah foto yang diunggah di akun Instagram resmi BEM Unnes @bemkmunnes pada Rabu (7/7).
Mereka juga mengungkapkan bahwa Ma’ruf selama ini hanya tampil sebagai legitimator kebijakan pemerintah. Terlebih lagi, argumentasi dan klaim yang dikemukakan Ma’ruf amat bias agama dan identitas, yakni agama Islam.
“Hal ini tampak pada statement politiknya tentang halalnya BPJS dan hukum Fardlu Kifayyah melaksanakan vaksinasi Covid-19,” kata BEM Unnes.
Tak hanya Ma’ruf Amin, BEM Unnes juga memberi julukan bagi Ketua DPR Puan Maharani sebagai “Queen of Ghosting”. Mereka menilai Undang-Undang yang disahkan oleh DPR di tengah pandemi sangat tidak berparadigma kerakyatan dan tidak berpihak pada kalangan yang rentan.
“Contohnya UU KPK, UU Minerba, UU Omnibus Law Ciptaker dan seterusnya, serta tidak kunjung disahkannya RUU PKS yang sebetulnya cukup mendesak dan dibutuhkan pengesahannya,” ungkap BEM Unnes.
Mereka juga turut menjuluki Presiden Jokowi sebagai “King of Lip Service”, sama seperti julukan yang diberikan oleh BEM UI.
BEM Unnes menilai Jokowi kurang becus dalam melaksanakan tugasnya sebagai presiden dan mengingkari janji politiknya. Hal tersebut dikarenakan perbandingan antara janji dan fakta yang dikemukakan Presiden Jokowi kontradiktif satu sama lain.
“Misalnya perihal utang negara, komitmen terhadap demokrasi dan penanganan pandemi. Meskipun tampak pemerintah melaksanakan tugas dengan semaksimal mungkin, akan tetapi fakta menunjukan hal-hal yang seringkali kontradiktif dan paradoksal,” ujar mereka.
Presiden Jokowi sendiri sebelumnya telah mempersilakan mahasiswa dan pihak manapun mengkritik pemerintah termasuk dirinya.
Jokowi berkata kritik adalah bagian dari dinamika demokrasi. Meski demikian Presiden mengingatkan dalam kritik, ada hal yang perlu diperhatikan, terutama sopan santun dalam cara menyampaikan. (rafa/arrahmah.com)