JAKARTA (Arrahmah.com) – Pada Kamis (28/1) sekitar pukul 13.00 WIB hingga 16.30 WIB Gerakan Indonesia Bersih (GIB) melakukan demonstrasi besar-besaran di depan Istana Negara, Jakarta.
Menurut Biro Komunikasi GIB Yudi Latif, aksi tersebut merupakan bentuk kekuatan sipil yang mencerminkan ketidakpuasan atas kegagalan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
“GIB sendiri adalah kekuatan masyarakat sipil, bukan politik dan hukum. Gerakan ini bentuk kekecewaan atas kegagalan pemerintahan SBY” ujar Yudi ketika dihubungi Hidayatullah.com pada Kamis (28/1).
Meski bukan kekuatan politik dan hukum, dia mengatakan, Presiden memerlukan legitimasi moral dari masyarakat. Lebih jauh, secara moral SBY sudah tidak layak lagi menjabat sebagai Presiden.
Menurutnya, GIB sendiri meski belum lama berdiri –dan dengan jumlah pendiri sekitar 20 orang–, kini telah memperoleh basis dukungan dari berbagai elemen, mahasiswa, buruh dan petani.
“Ibarat bola salju, jumlah elemen yang bergabung terus menggelinding,” terangnya. Dan ini indikasi bahwa masyarakat memiliki rasa kekecewaan yang sama. Untuk aksi GIB hari ini telah terdata sekitar 66 elemen.
“Sedikitnya, yang tergabung dalam GIB dalam aksi demo hari ini ada 66 elemen,” tambahnya.
Kekecewaan tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Direktur Eksekutif Reform Insitute ini, kegagalan SBY dalam memerintah bukan hanya dalam 100 hari masa pemerintahannya kali ini. Melainkan, sejak kali pertama menjabat dari tahun 2004.
“Kalau 100 hari sih masih punya kesabaran! Ini sudah lebih dari itu,” tegasnya. Dia mengatakan, kemarahan ini bukan personal, melainkan kemarahan publik atas dasar fakta-fakta objektif.
Menurut Yudi, setidaknya ada lima fakta objektif mengapa masyarakat begitu kecewa dengan pemerintahan SBY. Di antaranya, kegagalan menjalankan mandat konstitusi, kedaulatan pangan dan ekonomi, hukum dan demokrasi. Tak hanya itu, SBY juga gagal dalam hal pemberantasan korupsi, gagal dalam melindungi petani, nelayan dan buruh migran, serta gagal dalam pendidikan dan kesehatan.
Dalam bidang hukum misalnya, adanya konflik antarpenegak hukum KPK dan Kepolisian. Begitu juga kasus Susno Duaji, adalah contoh bukti adanya friksi-friksi di tubuh internal polisi. Begitu juga kejaksaan yang mengalami demoralisasi dan kriminalisasi KPK.
Sementara dalam pemberantasan korupsi, SBY memang terkesan berhasil dalam menangani kasus-kasus kelas teri, Tetapi tak menyentuh kasus berskala besar. Buktinya BLBI, dan kasus Bank Century. Dalam kasus-kasus besar itu, justru menjadi alat tawar menawar politik.
“Kasus-kasus besar seperti BLBI dan Century justru menjadi alat tawar politik,” tegasnya.
Tak hanya itu, dalam bidang perlindungan petani, nelayan, dan buruh migrant juga gagal. Banyak TKI dan TKW yang mati di luar negeri yang tak tertangani. (hdytlh/arrahmah.com)