Tidak bisa dipungkiri, penundaan hukuman mati bagi terpidana mati kasus Poso –Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu– berkait dengan tekanan-tekanan kaum Katolik (juga Protestan) kepada pemerintah RI. Usai sidang kabinet di Istana Presiden Jakarta, Jumat (11/8) malam, Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto mengatakan, pelaksanaan hukuman mati yang rencananya dilakukan Jumat (11/8) malam ditunda setelah 17 Agustus 2006. Waktunya belum ditentukan.
Pada 12 Agustus 2006, Wapres Jusuf Kalla mengakui, memang ada surat dari Paus Benediktus XVI dan surat dari sejumlah uskup yang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam menunda pelaksanaan eksekusi Tibo dan kawan-kawan (dkk).
Tibo dkk, oleh Pengadilan Negeri Palu, telah diputuskan sebagai pelaku kasus penyerangan terhadap kaum Muslim pada 23 Mei 2000, yang menewaskan ratusan jiwa. Banyak saksi yang menyebutkan bahwa tindakan Tibo dkk terhadap kaum Muslim Poso sangatlah di luar batas kemanusiaan. Mereka bukan hanya mencincang tubuh korban, tetapi juga membunuh wanita dan anak-anak serta melakukan pelecehan seksual terhadap kaum Muslimat.
Tetapi, dalam hal ini, kaum Kristen melakukan aksi solidaritas untuk Tibo dkk, tanpa menimbang perasaan kaum Muslim, khususnya korban Tragedi Poso. Harusnya, jika dimaksudkan untuk kemaslahatan bangsa, dalam kasus Tibo dkk, tokoh-tokoh Kristen melakukan dialog intensif dengan para tokoh Muslim. Upaya ‘eksploitasi opini’ yang sepihak bisa berdampak buruk terhadap hubungan antaragama di Indonesia.
Dalam situs Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), 12 Agustus 2006, masih bisa dibaca surat KWI kepada Presiden RI. Surat itu antara lain berbunyi: “Oleh karena itu, perkenankanlah kami, Presidium Konferensi Waligereja Indonesia, dengan tulus memohon ditundanya pelaksanaan hukuman mati terhadap siapapun, dan semoga hukuman mati di Indonesia dihapuskan untuk selanjutnya.”
Kepada Presiden SBY, KWI menyatakan, bahwa ada masalah yang dalam beberapa hari terakhir ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, yaitu masalah hukuman mati. Dengan hukuman mati, hidup seseorang diakhiri dan tidak bisa dikembalikan lagi, kendati di kemudian hari kebenaran yang sesungguhnya dapat mengungkapkan yang berbeda.
Di situs KWI www.mirifica.net , juga bisa dibaca surat Paus Benediktus XVI kepada Presiden SBY. Dengan jelas surat itu menyebutkan permintaan Paus agar presiden melakukan intervensi terhadap kasus Tibo atas nama kemanusiaan dan agar presiden memberikan pengampunan terhadap tiga warga Katolik tersebut.
Jika dicermati, dalam soal hukuman mati di Indonesia, sikap KWI sendiri tidak begitu tegas. Menyusul kasus Tibo dkk, dengan tegas KWI meminta agar hukuman mati dihapuskan dari Indonesia. Tapi, dalam buku ‘Iman Katolik’ (1996) yang juga diterbitkan KWI, ditulis bahwa gereja tidak mendukung adanya hukuman mati, namun tidak melarangnya juga. Gereja mempertahankan, bahwa kuasa negara yang sah berhak menjatuhkan hukuman mati dalam kasus yang amat berat. (hal. 67).
Perubahan hukum
Terlepas dari kasus Tibo dkk, sikap Paus dan KWI dalam soal hukuman mati cukup menarik dicermati. Sebab, ini adalah sikap resmi sebuah agama. Dalam sejarahnya, gereja tidak bisa dilepaskan dari masalah hukuman mati. Dalam Bibel sendiri bertebaran ayat dengan perintah menjalankan hukuman mati. Pezina, penyembah berhala, dan sebagainya, harus dijatuhi hukuman mati. (Ulangan 17:2-5, 20-22, dsb).
Berdasar sejarah, jangankan dalam konsep hukum, dalam konsep teologi pun, kaum Kristen mengalami banyak perubahan penting. Selama ratusan tahun, gereja menganut prinsip extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). Konsili Vatikan II mengubah konsep eksklusif tersebut menjadi inklusif untuk membendung arus besar pluralisme agama dalam Kristen. Dalam perjalanannya, Nicene Creed (diterjemahkan oleh kalangan Kristen dan Katolik di Indonesia sebagai ‘Syahadat Nicea’) mengalami sejumlah perubahan.
Bahkan, sejak awal perkembangan ke-Kristenan, telah terjadi perubahan-perubahan penting dalam tradisi Kristen. Contohnya, perubahan hari suci dari Hari Sabat menjadi Hari Minggu (Sunday/Hari Matahari) dan tanggal peringatan Natal ke 25 Desember, mengikuti tradisi Romawi yang bertuhan Sol Invictus (Dewa Matahari). Karena itu, dalam tradisi ke-Kristenan, tidaklah aneh jika dijumpai begitu banyak agama dan sekte, yang masing-masing mempunyai konsep teologis dan ritual yang berbeda-beda. Masing-masing agama atau sekte tidak bisa bersembahyang di gereja agama atau sekte lainnya, meskipun sama-sama mengakui Ketuhanan Yesus.
Kini di era modern, kaum Katolik juga mengubah pendapatnya tentang hukuman mati. Sebagai sebuah ‘evolving religion’, hal seperti ini bisa terjadi. Hukum-hukum agama yang sudah tetap kemudian disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam istilah Paus Paulus VI, ‘Gereja Baru’ (The New Church) adalah gereja yang lebih terbuka, gentle, dan akomodatif. Dengan ungkapan lain, Gereja Baru harus more acceptable, lovable, dan free from medieval rigorism. (Lihat, Rama P Coomaraswamy, The Destruction of The Christian Tradition, (London: Perennial Books, 1981), hal. 237).
Menarik mencermati diskusi tentang peran hukum gereja dalam situs www.mirifica.com Dalam satu tulisan tertanggal 24 Juli 2006 berjudul ‘Peran Hukum Gereja yang Amat Terbatas’ disebutkan tentang perlunya revisi Kitab Hukum Kanonik. Disebutkan, bahwa sesudah Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam gereja Katolik timbul kontroversi. Yang satu kubu meminta hukum gereja dihapus karena bertentangan dengan cinta kasih. Yang lain menyeru hukum gereja dipertahankan karena justru dibutuhkan dalam keadaan pembaruan yang membingungkan. Paus Paulus VI meminta revisi Kitab Hukum Kanonik dari tahun 1917 yang sudah dicanangkan oleh Paus Yohanes XXIII 25 Januari 1959 bersama dengan pemakluman Konsili Vatikan II diteruskan.
Konsep Islam
Itulah pendapat resmi gereja Katolik Indonesia tentang hukum-hukum Gereja. Sebagian kaum Muslim ada yang –sadar atau tidak– berusaha mengikuti tradisi gereja dengan upaya mengubah hukum-hukum Islam secara totalitas, tanpa pandang bulu, mana aspek yang yang ‘tetap’ (tsawabit) dan mana yang ‘berubah’ (mutaghayyirat). Berbagai metode ‘modern’ digunakan untuk mengubah hukum Islam. Dengan metode kontekstualisasi sejarah, misalnya, mereka mengubah keharaman hukum perkawinan antara Muslimah dan pria non-Muslim.
Padahal, ada perbedaan yang fundamental antara konsep hukum dalam Islam dan hukum dalam Kristen. Sebagai agama yang kebenarannya bersifat final dan paripurna, (bukan ‘historical and evolving’ religion) (QS 5:3), Islam tidak menganut perubahan hukum yang mengikuti kondisi zaman dan tempat. Meskipun mayoritas manusia mendukung perjudian, hukum Islam tentang judi tidak berubah. Konsep Islam tentang ‘teks wahyu’ (Alquran) juga bersifat universal, tetap, dan tidak berubah.
Babi diharamkan di mana pun dan sampai kapan pun, karena ‘teks’-nya jelas dan tidak berubah. Homoseksual haram hukumnya di mana pun dan kapan pun. Zina dan khamr adalah haram, apakah di Arab, Amerika, atau di Tangerang. Konsep hukuman mati (qishas) juga tidak berubah di dalam Islam, meskipun banyak di antara kaum Muslim sendiri yang mencaci dan enggan menerapkannya. (RioL)
Oleh : H. Adian Husaini, MA.
(Penulis adalah pengurus Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)