Oleh: Ustadz Irfan S. Awwas
(Arrahmah.id) – Presiden AS Joe Biden memilih pendekatan berbeda terhadap Islam, dibanding presiden AS sebelumnya Donald Trump. Selama pemerintahannya, Donald dikenal sebagai dalang gerakan Islamofobia di seluruh dunia.
Pemerintah Amerika, pimpinan Joe Biden menganggap pentingnya kebijakan yang lebih bersahabat kepada Islam. Mereka menyadari, gerakan Islamofobia ternyata telah gagal untuk mampu “memberangus” Islam. Karena itu, sudah saatnya Islamofobia dihapus. Kebijakan dan tindakan anti Islam bukan saja kontraproduktif tetapi juga manipulatif.
Council on American-Islamic Relations (CAIR) telah merilis sikap politik masyarakat dan pemerintah AS yang anti Islam atau Islamofobia sepanjang tahun 2017-2020.
Rilis terbaru CAIR bertema “Islamophobia in the Mainstream” menginformasikan, terdapat 35 Yayasan dan lembaga amal yang menyalurkan 106 juta US Dollar kepada 26 kelompok anti Islam selama pemerintahan Donald Trump.
Setelah Joe Biden mencabut kebijakan anti Islam produk rezim Donald Trump, kemudian mengesahkan No Ban act atau UU anti diskriminasi agama, maka DPR AS setuju RUU Anti Islamofobia, yang di usulkan oleh anggota Partai Demokrat Ilham Omar untuk menjadi UU sebagai dasar pemberantasan Islamophobia di seluruh dunia.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, seharusnya pemerintahan Jokowi menyambut gembira sikap politik AS yang memberantas gerakan Islamofobia tersebut. Sekaligus, kesempatan untuk meninjau kebijakan pemerintah yang selama ini terkesan anti Islami. Seperti kriminalisasi ulama, tuduhan adanya anasir radikal Islam yang menyusup di ASN, BUMN, anggota TNI, dan Polri. Juga menuduh rohis siswa SLTA, dan santri pesantren sebagai calon-calon teroris.
Namun sangat disesalkan, gerakan Islamofobia di Indonesia justru dipelihara dan difasilitasi oleh rezim penguasa. Buzzer Islamofobia, terus saja menebarkan narasi kebencian, tanpa rasa bersalah, yang berpotensi memecah belah masyarakat.
Mereka menggaungkan stigma radikalisme, intolerasi, dan rasisme terhadap Islam dan umat Islam yang berseberangan dengan kepentingannya. Termasuk mempelopori maraknya tradisi dan budaya musyrik, dengan berlindung di balik isu pelestarian budaya lokal.
Merekalah yang mengatakan, bahwa membenci tradisi nenek moyang seperti sedekah bumi, adalah ciri radikalisme agama. Narasi kaum Islamofobia sangat menusuk dan menyakiti hati rakyat muslim di negeri ini. Tapi, perilaku jahat mereka seakan tak tersentuh hukum.
Indikasi semakin eksisnya gerakan Islamofobia di Indonesia, nampak adanya orang yang mengaku muslim tapi lebih enjoy membela pelaku kekafiran, kemurtadan, kemusyrikan dan kesesatan. Seperti membela pengamal sesajen, menghina Allah lemah, membuang agama dari pelajaran di sekolah. Sebaliknya, sangat garang permusuhannya terhadap sesama muslim yang memberantas kemusyrikan, hanya karena beda ormas, beda pilihan pemimpin.
Buang sampah sajen di lokasi musibah Semeru
Kasus yang kini tengah diramaikan medsos, tentang adanya video seorang pria yang membuang dan menendang sampah sesajen makanan di lokasi musibah Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur; sebagai contoh terkini.
Aksi membuang sampah sesajen yang terjadi pada, Sabtu 8 Januari 2022, sebenarnya hanyalah reaksi spontan dari salah seorang relawan kemanusiaan, bernama Hadfana Firdaus. Dia dikenal sebagai seorang Da’i bergelar sarjana agama, dan salah seorang pengajar di Pesantren Merapi Merbabu.
Harus disadari, budaya musyrik berupa sesajen tolak bala atau minta keselamatan pada jin, telah mengotori keikhlasan hati para relawan, yang seluruhnya datang untuk menunjukkan solidaritas iman pada saudara kita yang sedang ditimpa musibah.
Tidak ada motif kebencian ataupun menghina tradisi. Apa urgensinya jauh-jauh datang ke Semeru untuk membuang sampah sesajen, padahal hal serupa bisa ditemukan di banyak tempat di negeri ini? Hal itu terlihat jelas dalam unggahan video.
Pelaku mengatakan: “Ini yang membuat murka Allah, jarang sekali disadari bahwa inilah yang mengundang murka Allah hingga menurunkan adzabnya,” ucapnya dalam video.
Para relawan kemanusiaan di Indonesia, tentu saja tidak akan melupakan “hukuman Allah” dalam peristiwa gempa dahsyat yang meluluh lantakkan Kota Palu, Sulawesi Tengah tahun 2018.
Ketika itu pemerintah Kota Palu menggelar acara mistis, 17 Oktober 2018, yang disebut festival Nomoni di pinggir pantai. Tidak lama sebelum gempa mengguncang wilayah itu, Festival Nomoni, yang oleh masyarakat setempat diyakini adanya praktik syirik, menyekutukan Allah, di dalamnya.
Terhadap aksi buang sampah sajen di lokasi erupsi Semeru, jujur saja, reaksi dan komentar pihak-pihak yang berseberangan dengan aksi buang sampah sajen tersebut, bukannya meluruskan pemahaman masyarakat, “Sia-sia minta tolong pada jin, bukan mustahil mereka pun sudah lari terbirit-birit, mengungsi saat terjadi erupsi”.
Tapi malah melindungi budaya musyrik, hal yang bertentangan dengan keyakinan tauhid Ahlu Sunnah wal jamaah. Secara sadar, atas nama toleransi, mendukung dan melestarikan budaya musyrik, tapi mendorong, bahkan memaksa aparat keamanan untuk mempidana pelaku pemberantasan kemusyrikan. Tindakan mempidana pemberantasan budaya musyrik, yang dilakukan dengan motif kemarahan dan kebencian warga, adalah rekayasa kezaliman yang menghina keyakinan dan akal sehat.
Melanggar Putusan Muktamar NU 1930
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sesajen, sesaji, sajen, sajian, semah, atau semahan adalah makanan dan benda lain (seperti bunga dan dupa) yang dipersembahkan dalam upacara bersaji. Yaitu upacara yang dilakukan dengan tujuan berkomunikasi atau berinteraksi dengan makhluk halus/jin.
Sesajen dianggap sarana komunikasi masyarakat kepada kekuatan selain Allah, yang dianggap telah memberi kehidupan dan yang menjadi pusat harapan atas berbagai keinginan, yang menurut pemahaman masyarakat telah melindungi mereka selama ini.
Testimoni Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH. Makruf Khazin memperjelas siapa yang melakukan acara sajen yang memicu kontroversi itu. Ternyata, bukan dilakukan oleh penganut agama Hindu, Budha, atau non Islam lainnya. Tapi dipasang oleh warga muslim yang ada di sekitar Dusun Sumbersari.
Di bawah ini penjelasan KH. Ma’ruf Khazin terkait tradisi musyrik, yang kemudian viral di medsos.
“Tuan Abdul Hanan, teman bermain saat di Raudlatul Ulum 1 Ganjaran Gondanglegi Malang yang asli kelahiran Pronojiwo Lumajang ini, menelpon saya pada Sabtu kemarin dan mengirim video ada orang yang menendang sesajen yang dikatakan syirik dan justru mengundang murka Allah,” kata Kyai Khazin.
Lalu beredar dialog Kyai Khazin dan Kyai Hanan. Di WA beliau tulis begini: “Video di atas adalah suatu ritual, dimana setelah 40 hari meletusnya gunung Semeru bakda Magrib kami membaca tolak bala, yasin, dll. Sesuai petunjuk salah satu kyai. Pagi harinya kami memasang semacam sesajen (petek’an: madura). Namun ada kelompok minhum yang membuang dan mengupload di medsos. Masyarakat kami sangat tidak terima dengan perilaku mereka, bagaimana cara menyikapinya kyai?” tanya kyai Hanan.
Kyai Khazin menjawab: “Saya mengikuti beberapa kali Bahtsul Masail di PWNU yang berkaitan dengan tradisi, baik seperti bersih-bersih kampung, larung laut, nyadran dan sebagainya, para Musyawirin selalu memberi perincian dari kitab Fathul Mu’in yang bersumber dari Kitab Tuhfah Ibnu Hajar:
(فَائِدَةٌ) مَنْ ذَبَحَ تَقَرُّبًا للهِ تَعَالَى لِدَفْعِ شَرِّ الْجِنِّ عَنْهُ لَمْ يَحْرُمْ، أَوْ بِقَصْدِهِمْ حَرُمَ… وَصَارَتْ ذَبِيْحَتُهُ مَيْتَةً. بَلْ إِنْ قَصَدَ التَّقَرُّبَ وَالْعِبَادَةَ لِلْجِنِّ كَفَرَ (إعانة الطالبين – ج 2 / ص 397)
“Barangsiapa menyembelih hewan (atau makanan) sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah untuk menghindari petaka dari Jin, maka tidak haram. Jika bertujuan untuk Jin (bukan karena Allah), maka haram… Sebab sembelihannya menjadi bangkai. Bahkan jika bertujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada Jin, maka ia telah berbuat kufur” (Syaikh Abu Bakar Syatha, Ianat ath-Thalibin, 2/397)
Saya yakin kyai tadi saat menyembelih ayam tetap membaca Bismillah, bukan “sesembahan” yang ada di gunung, karena yang melakukan memang jelas-jelas Islam.
Tapi tetap saya tekankan lebih baik makanan itu disedekahkan, dimakan bersama. Tapi Bang Hanan ini bilang bahwa makanan itu sengaja dibiarkan supaya dimakan oleh burung atau hewan apapun yang ada di sekitar Semeru. Kalau seperti itu jutsru tidak apa-apa. Seperti dijelaskan oleh Imam Ar-Ramli:
ﻓﻤﺎ ﻳﻘﻊ اﻵﻥ ﻣﻦ ﺭﻣﻲ اﻟﺨﺒﺰ ﻓﻲ اﻟﺒﺤﺮ ﻟﻄﻴﺮ اﻟﻤﺎء ﻭاﻟﺴﻤﻚ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻗﻴﻤﺔ؛ ﻷﻧﻪ ﻗﺮﺑﺔ
Apa yang terjadi saat ini dengan melempar roti ke laut untuk binatang laut dan ikan adalah tidak haram meskipun memiliki harga sebab hal itu termasuk sedekah kepada hewan (Nihayatul Muhtaj, 7/367)
Lalu dari sisi mana Syirik dan mendatangkan murka Allah?” tanya Kyai Khazin.
Jika benar inilah kesimpulan dari dialog antara Kyai Khazin dan Hanan, tentulah kurang tepat. Pendapat demikian menggunakan analogi sinkretisme yang menyesatkan.
Pendapat ini, juga bertentangan dengan putusan Muktamar NU ke -5 tahun 1930.
Keputusan Muktamar NU ke-5 di Pekalongan, 13 Rabiuts Tsani 1349 H/ 7 September 1930 M, terkait perayaan untuk memperingati Jin Penjaga Desa yang dikenal dengan Sedekah Bumi, dalam rangka menjawab pertanyaan:
“Bagaimana hukumnya mengadakan pesta dan perayaan guna memperingati jin penjaga desa (mbahu rekso, Jawa) untuk mengharapkan kebahagiaan dan keselamatan, dan kadang terdapat hal-hal yang mungkar. Perayaan tersebut dinamakan “sedekah bumi” yang biasa dikerjakan penduduk desa (kampung), karena telah menjadi adat kebiasaan sejak dahulu kala?
Jawaban atas pertanyaan tersebut yang termaktub dalam putusan Muktama sebagai berikut: “Adat kebiasaan seperti tersebut hukumnya haram”.
Kemudian menukil keterangan dalam kitab Futuhat al-Ilahiyah: “Orang yang pertama meminta perlindungan kepada jin adalah kaum dari Bani Hanifah di Yaman, kemudian hal tersebut menyebar di Arab. Setelah Islam datang, maka berlindung kepada Allah menggantikan berlindung kepada jin”.
Dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din: “Maka tidak boleh mencampurkan kebenaran murni dengan perkara yang dianggap sebagai suatu permainan oleh kalangan orang awam, sementara bentuk permainan tersebut bagi kalangan khusus, walaupun mereka tidak menilainya sebagai suatu permainan.”
Maka, bila masing-masing pihak sungguh ikhlas ingin menciptakan perdamaian, mengedepankan toleransi. Terutama demi memperlancar misi relawan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan saudara kita yang tertimpa musibah akibat erupsi gunung Semeru. Alangkah bijaksana bila kasus ini dicukupkan melalui penyelesaian secara musyawarah.
Perbedaan sikap dan pemahaman, tidak perlu digiring ke ranah hukum. Apalagi, pelaku telah dimintai keterangan oleh aparat kepolisian, dan sudah pula menyampaikan permohonan maaf, seperti kita lihat lewat tayangan video. Kita tidak ingin ada kesan, “hal kecil dibesarkan, problem bangsa yang lebih besar diabaikan.”
Semoga Allah Malikur Rahman berkenan menunjukkan solusi yang adil dan penuh hikmah. Amin…!
*Yogyakarta, Sabtu 15 /1/2022
(ameera/arrahmah.id)