PARIS (Arrahmah.id) – Parlemen Prancis mengecam “genosida” atau pembersihan etnis oleh Cina terhadap penduduk Muslim Uighur. Kecaman itu tampaknya akan memperlemah hubungan Paris dan Beijing, hanya dua minggu sebelum Olimpiade Musim Dingin dimulai.
Resolusi yang tidak mengikat, diadopsi dengan 169 suara mendukung dan hanya satu menentang.
Dilansir AFP pada Kamis (20/1/2022), resolusi diusulkan oleh oposisi Sosialis di majelis rendah parlemen. Tetapi juga didukung oleh Partai Republic on the Move (LREM) pimpinan Presiden Emmanuel Macron.
Bunyinya, Majelis Nasional secara resmi mengakui kekerasan yang dilakukan oleh Republik Rakyat Cina terhadap Uighur sebagai kejahatan kemanusiaan dan genosida.
Parlemen juga menyerukan kepada pemerintah Prancis untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi minoritas Uighur di Provinsi Xinjiang
“Cina adalah kekuatan besar dan Kami mencintai orang-orang Cina,” kata ketua partai Sosialis Olivier Faure.
“Tetapi kami menolak tunduk pada propaganda dari rezim yang mengandalkan kepengecutan dan ketamakan untuk melakukan genosida di depan mata,” tambahnya.
Dia menceritakan kesaksian kepada parlemen dari para penyintas Uighur yang menceritakan kondisi di dalam kamp-kamp interniran. Di mana pria dan wanita tidak dapat berbaring di sel, menjadi sasaran pemerkosaan dan penyiksaan, serta transplantasi organ paksa.
Resolusi tersebut mengikuti langkah serupa di Inggris pada April 2021 yang menyebabkan kecaman dari Cina.
Parlemen Belanda dan Kanada sama-sama menyebut perlakuan Cina terhadap Uighur sebagai genosida pada Februari 2021. Sedangkan pemerintah Amerika Serikat (AS) juga menyebutnya genosida di bawah mantan presiden Donald Trump.
AS, Inggris, Australia, dan Kanada telah mengumumkan boikot diplomatik terhadap Olimpiade Musim Dingin Beijing, yang dimulai pada 4 Februari 2022.
Cina menyangkal genosida atau keberadaan kamp kerja paksa di Xinjiang. Sebaliknya, Cina menuduh warga Uighur bersaksi di luar negeri tentang kondisi di dalam wilayah barat laut itu sebagai pembohong.
Resolusi parlemen Prancis muncul saat Uni Eropa mempertimbangkan menanggapi blokade China terhadap ekspor Lituania. Serta penghancuran kebebasan demokratis oleh Beijing di Hong Kong.
Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang berusaha menghindari terseret ke dalam konfrontatif dengan Cina ditanya tentang Uighur.
“Anda benar untuk mengingatkan kami tentang pembantaian, deportasi besar-besaran, dan kerja paksa,” katanya.
“Prancis mengangkat ini dengan cara yang sangat jelas dalam semua pembicaraan bilateral kami dengan Beijing,” tambahnya.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan telah menemukan bukti penahanan massal, kerja paksa, indoktrinasi politik, penyiksaan dan sterilisasi paksa di Xinjiang.
Setelah awalnya menyangkal keberadaan kamp Xinjiang, Cina kemudian membela sebagai pusat pelatihan kejuruan untuk mengurangi daya tarik ekstremisme Islam.
AS telah menjatuhkan sanksi pada daftar politisi dan perusahaan Cina yang terus bertambah atas perlakuan terhadap Uighur. Tetapi, mengarah ke tindakan balas dendam dari Beijing.
Cina juga telah memberikan sanksi kepada anggota parlemen Eropa, Inggris dan AS. Termasuk akademisi yang mempelajari Xinjiang dan sebuah firma hukum London. (hanoum/arrahmah.id)